KITAB NIKAH
DAN HAL-HAL YANG BERSANGKUT PAUT DENGAN NIKAH
BAIK HUKUM MAUPUN KETENTUAN LAINNYA.
Nikah itu hukumnya sunnat bagi orang yang sudah
membutuhkannya. (1)
Diperbolehkan bagi lelaki merdeka mengumpulkan empat
wanita merdeka sebagai isteri,(2) sedangkan bagi seorang
budak laki-laki antara dua wanita.
Tidak boleh seorang yang merdeka menikahi wanita
budak, kecuali dengan dua syarat: tidak memiliki harta untuk membiayai wanita
meredeka dan takut terjerumus ke dalam kekekjian perzinaan.(3)
Seorang lelaki melihat wanita hukumnya ada tujuh
macam:
Pertama: melihat kepada wanita ajnabiyah (bukan
mahrom) tanpa adanya keperluan, tidak diperbolehkan.(4)
Kedua: melihat kepada isterinya sendiri atau budak
wanaitanya sendiri, diperbolehkan hanya pada selain farji (kemaluan).(5)
Ketiga: Melihat kepada wanita mahromnya, atau wanita budak
miliknya yang sudah menjadi isteri orang lain, diperbolehkan pada selain bagian
antara pusat dan dua lutut.(6)
Keempat: Melihat karena hendak dinikahinya, maka
diperbolehkan pada bagian wajah dan dua telapak tangan.(7)
Kelima: melihat untuk pengobatan, diperbolehkan pada
bagian yang diperlukan untuk diobati.(8)
Keenam: Melihat untuk sebagai saksi atau untuk kegiatan
sehari-hari (mu’amalah), diperbolehkan hanya terbatas pada bagian wajah saja.(9)
Ketujuh: Melihat kepada wanita budak ketika
terjadinya transaksi jual beli, maka yang boleh dilihat hanya bagian tubuh yang
diperlukan untuk dibolak-balik (dilihat dari sisi-sisinya).(10)
(Fasal): Tidak shah nikah kecuali ada dengan wali dan
dua orang saksi yang adil.(11) Wali dan dua orang saksi
nikah memerlukan enam macam syarat: Islam,(12) sudah balgih, berakal sehat, merdeka, laki-laki,
adil,(13) kecuali pernikahan seorang kafir
dzimmi, dalam pernikahan ini walinya tidak perlu harus bergama Islam, dan
begitu pula untuk pernikahan seorang amat (budak wanita) tidak memerlukan
keadilan tuannya.
Yang harus diutamakan/prioritaskan sebagai wali
adalah: ayah, lalu ayahnya ayah, lalu saudara seayah seibu, lalu saudara
seayah, lalu anak laki-laki saudara kaki-laki seayah seibu, lalu anak laki-laki
saudara laki-laki seayah, lalu paman, lalu anak laki-laki paman, berdasarkan
urutan sebagaimana disebutkan di atas. Apabila tidak didapat ashobah, maka
walinya adalah maulal mu’tiq, lalu ashobah maulal mu’tiq, lalu hakim.(14)
Tidak secara terang-terangan melamar wanita yang
masih dalam iddah, tetapi diperbolehkan
bila hanya sekedar memberikan isyarat (sindiran) bahwa dia akan melamarnya, dan
menikahinya setelah wanita janda tersebut habis masa iddahnya.(15)
Wanita itu ada dua golongan: janda dan perawan.
Terhadap wanita perawan, bagi ayah atau kakek untuk ijbar (memaksanya)
untuk nikah, sedang terhadap wanita janda, ayah atau kakek tidak boleh
menikahkannya kecuali sesudah baligh atau mendapatkan persetujuan yang
bersangkutan.(16)
(Fasal): Mahrom menurut nash(17) ada 14 orang: tujuh orang karena hubungan nasab
(keturunan) yakni: ibu keatas, anak perempuan ke bawah, saudara perempuan, bibi
dari ayah, bibi dari ibu, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan
saudara perempuan.(18) Dua orang disebabkan adanya
hubungan persusuan: ibu yang menyusui, sudara perempuan sepersusuan.(19) Empat orang akrena adanya hubungan perkawinan:
ibunya isteri, anak perempuan bawaan isteri yang sudah disetubuhi, isterinya
ayah, dan isterinya anak laki-laki.(20) Satu wanita sebab
berkumpul: yakni saudara perempuan isteri.(21) Dan haram menghimpun dalam perkawainan antara
seorang wanita dengan bibinya dari ayah atau bibi dari ibu.(22) Keharaman sebab hubungan persusuan sebagaimana
keharaman dalam hubungan nasab.(23)
Wanita menjadi tertolak dengan sebab adanya lima
cacat: gila, judzam, barosh, rotqu, dan qoron.(24) Sedangkan seorang pria bisa menajdi tertolak
disebabkan lima cacat pula: gila, judzam, barosh, jabbu, dan ‘unah.(25)
(Fasal): Disunnatkan untuk menamakan (menyebutkan)
mahar di dalam akad nikah,(26) apabila tidak disebutkan
secara pasti, akad nikahnya tetap shah.(27) Maskawin wajib dibayarkan
adanya tiga kemungkinan sebab: karena difardlukan oleh suami atas dirinya
sendiri, atau difardlukan oleh keputusan hakim, atau sebab dia menyetubuhinya,
maka wajib dibayar mahar mitsil (maskawin secara untuh).
Tidak ada ketentuan berapa paling sedikit atau
berapa paling banyak ketentuan maskawin.(28) Diperbolehkan memberiakn maskawin
dalam bentuk manfaat (jasa) tertentu.(29) Maskawin itu bisa menjadi
gugur disebabkan terjadinya perceraian sebelum menyetubuhi isterinya, maka yang
wajib hanya seperdua dari yang telah ditentukan.(30)
(Fasal): Walimatul urus (upacara
perkawinan) hukumnya sunnat,(31) memenuhi undangan walimatul
urus hukumnya wajib,(32) kecuali apabila ada udzur.(33)
(Fasal): Kesamaan dalam pembagian giliran antara
isteri yang satu dengan lainnya hukumnya wajib,(34) tidak boleh masuk kerumah yang tidak berhak menerima
giliran, tanpa adanay suatu keperluan, apabila hendak bepergian, maka diadakan
undian untuk semua isteri, dan keluar bersama isteri yang tepat mendapatkan
undian.(35)
Apabila beristerikan yang baru, maka mendapatkan
prioritas khusus selama tujuh malam, apabila masih perawan, tetapi bila sudah
janda selama tiga malam.(36)
Apabila khawatir isterinya nusyuz (menyeleweng),
maka suami harus memberikan nasehat kepaadnya, apabila membangkang hendaklah
berpisah tidur, apabila sudah pisah tidur tetap membangkang, maka dipukul,(37) dan gugurlah hak-hak isteri untuk menerima giliran,
dan nafkah dari suami karena dia nusyuz.
(Fasal): Khulu’ (thalak tebus)
diperbolahkan dalam Islam dengan tebusan tertentu,(38) dan selanjutnya wanita (isteri) berhak atas dirinya
sendiri,(39) dan tidak boleh bagi mantan
suami untuk merujuk kembali, kecuali dengan nikah baru. Khulu’ itu daapt
dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan suci atau haid, dan tholak
mempengaruhi terhadap wanita yang melakukan khulu’.(40)
(Fasal): Tholak itu ada dua macam: shorih (dengan
ikrar yang jelas) dan kinayah (sindiran):
Adapun yang shorih ada tiga macam lafadh (kosa
kata): tholaq (talak/cerai), dan firoq (pisah/cerai),
dan saroh (lepas/cerai), dan pada tholak shorih tidak memerlukan
adanya niyat.(41)
Sedangkan kinayah (sindiran): semua lafadh (ucapan)
yang mengandung pengertia tholak dan atau lainnya, dan dalam hal dibutuhkan
adanya niyat dari yang mengucapkannya.(42)
Wanita ada dua kategori:
Pertama: dalam hal perceraian yakni: sunnat dan
bid’ah, di mana kondisi wanita masih subur (masih bisa haid).
Adapun perceraian yang sunnah: apabila talak dijatuhkan ketika wanita dalam
keadaan suci dan belum disetubuhi selama suci tersebtu, sedangkan yang bid’ah:
apabila tholak dijatuhkan pada saat wanita sedang haid, atau dalam keadaan suci
tetapi sudah disetubuhi dalam saat suci tersebut.(43)
Kedua: dalam hal perceraian tidak terdapat istilah sunnah
atau bid’ah, yakni ada empat macam wanita: masih kecil, wanita sudah tua yang
sudah tidak haid lagi, hamil, dan perceraian dengan cara khulu’ (talak tebus)
ayng belum disetubuhi pada saat suci.
(Fasal): Bagi orang merdeka mempunyai hak tholak
tiga kali,(44) sedang bagi budak hanya dua
kali tholak.(45)
Hshah hukumnya adanya pengecualian di dalam kalimat
tholak asalkan kalimat tersebut bersambung,(46) dan shah pula apabila tohlak itu digantungkan
dengan suatu sifat atau syarat tertentu.(47)
Tholak tidak akan jatuh sebelum pernikahan,(48) dan ada empat orang ayng tidak bisa jatuh
tholaknya: anak-anak, orang gila, orang sedang tidur, dana orang yang dipaksa
pihak lain.(49)
(Fasal): Apabila seorang menceraikan isterinya
dengan talak satu atau dua, maka dia masih berhak untuk rujuk kembali selama
belum habis masa iddahnya,(50) apabila iddahnya sudah
ahbis, dihalalkan untuk menikahinya kembali dengan akad nikah yang baru, dan
padanya berlaku sisa tholak yang masih ada.(51)
Apabila menceraikan isterinya dengan talak tiga,
maka tidak halal bagi manta suami, kecuali adanya lima macam syarat: iddahnya
sudah habis, sudah pernah menikah dengan lelaki lain, dan sudah disetubuhi oleh
suami kedua dan mengenainya,(52) sudah dicerai oleh suami
kedua,(53) dan sudah habis iddahnya
dari suami kedua.
(Fasal): Apabila seorang suami bersumpah untuk tidak
menyetubuhi isterinya secara mutlak, atau dalam waktu lebih dari empat bulan
lamanya, maka berarti dia melakukan sumpah ilak. Apabila terjadi
demikian, maka ditunggu selama empat bulan lamanya. setelah itu dia disuruh
memilih antara: (a) kembali (mencabut sumpahnya) dengan membayar kafarat (denda
sumpah), atau (b) bercerai.(54) Apabila dia tidak mau
menceraikan isterinya, maka dia diceraikan dengan isterinya oleh hakim.(55)
(Fasal): Dhihar: apabila suami menyatakan kepada
isterinay: “Engkau seperti punggung ibuku”.(56) Apabila suami menyatakan demikian dan dia tidak
menindak lanjuti dengan perceraian, berarti dia menarik kembali sumpahnya,(57) dan dia wajib membayar kafarat.
Adapun kafarat dhihar adalah: memerdekakan waniat
budak yang mukminah, tanpa cacat yang mengganggu aktivitas dan kerjanya,
apabila tidak mendapataknya, maka dia wajib berpausa selama dua bulan
berturut-turut, apabila tidak mampu, maka dia wajib memberi makanan kepada 60
orang miskin, setiap orang sebanyak satu mud (bahan makanan). Tidak halal bagi
suami yang mendhihar isterinya melakukan persetubuhan dengan siterinya tersebut
sampai dia membayar kafarat.(58)
(Fasal): Apabila seorang suami menuduh isterinya
berzina, maka dia mendapatkan hukuman tuduhan, kecuali bila dia mampu
mengemukakan bukti-bukti atau berani mengucapkan sumpah (li’an),(59) dia mengucapkan di depan hakim, di atas mimbar
sebuah masjid jamik, di tengah kumpulan orang banyak:(60) “Aku bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya
adalah di pihak yang benar, tentang tuduhan saya terhadap isteri saya “si
Fulanah” berbuat zina, dan anak yang akn dilahirkan adalah anak zina, bukan
dariku”, sebanyak empat kali, setelah mendapatkan pengarahan atau wejangan
dari hakim: maka sebagai ucapan yang kelima: “Dan semoga laknat Allah
menimpa saya apabila saya berbohong”.(61) Dan akibat dari sumpah
li’an oleh suami ada lima macam hukum: terbebas dari hukuman tuduhan, hukuman
wajib dijatuhkan kepada yang tertuduh, hilangnya hak tidur bersama, penafian
anak bagi suami, dan haram berhubungan suami isteri selamanya.(62)
Hukuman bisa gugur atas isteri (tertuduh) dengan
cara bersumpah li’an, dengan ucapan: “Aku
bersaksi kepada Allah, bahwa si Fulan (suami) ini adalah berdusta, terhadap
tuduhan bahwa saya berzina”, sebanyak empat kali, setelah mendapatkan
nasehat dari hakim, dia mengucapkan sumpah yang kelima dengan ucapan: “Murka
Allah akan menimpaku, bila dia (suami) benar”.(63)
(Fasal): Wanita yang dalam keadaan iddah itu ada dua
macam: karena ditinggal mati suaminya, dan bukan karena ditinggal mati
suaminya.
Karena ditinggal mati suaminya: apabila dalam
keadaan hamil, maka iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya,(64) apabila wanita tersebut tidak hamil, maka iddahnya
selama empat bulan sepuluh hari.(65)
Adapun yang bukan karena kematian suaminya:(66) apabila dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai
melahirkan kandungannya,(67) apabila tidak hamil – bagi
mereka yang masih haid – maka iddahnya selama tiga kali suci,(68) dan itu sangat jelas, apabila wanita masih kecil
atau sudah tidak haid lagi, maka iddahnya selama tiga bulan. (69)
Wanita yang diceraikan suaminya sebelum
disetubuhinya, maka tidak ada waktu iddah atasnya.(70)
Iddah bagi amat (budak wanita),
apabila dalam keadan hamil iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya, apabila
menggunakan ukuran “aqrok” (berapa kali suci), maka iddahnya dua
kali suci,(71) apabila menggunakan
hitungan bulan, apabila karena kamatian suaminya, iddahnay dua bulan lima hari,
dan apaila karena ditholak (dicerai), maka iddahnya dua setengah bulan,(72) apabila iddahnya diperpanjang menjadi dua bulan
lebih baik.(73)
(Fasal): Wajib bagi mantan suami terhadap wanita
(mantan isteri) yang masih dalam iddah untuk memberikan perumahan dan nafkah,
dan wajib bagi suami terhadap mantan isteri yang sudah ditalak tiga memberikan
perumahan tanpa nafkah, kecuali bila mantan isteri tersebut dalam keadaan
hamil.(74)
Wajib bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
untuk ihdaad, yakni menahan diri dari berhias dan memakai wewangian (bermake
up).(75) Dan bagi wanita yang
ditinggal mati suaminya diharuskan tetap tinggal dalam rumah kecuali apabila
ada keperluan penting.(76)
(Fasal); Barang siapa yang memiliki amat (budak
wanita) yang baru, diharamkan baginya untuk bermesraan dengannya sampai
betul-bertul dia bebas: apabila dia masih bisa haid supaya ditunggu sesudah
haid satu kali, apabila dia waniat yang iddahnya dihitung dengan bulan, maka
cukup ditunggu sampai satu bulan saja, apabila dia wanita yang sedang hamil,
ditunggu sampai dia melahirkan kandungannya.(77)
Apabila tuan dari ummil walad, maka dia harus membebaskan
dirinya sebagaimana amat.(78)
(Fasal): Apabila seorang wanita menyusui anak
laki-laki dengan air susunya, maka anak tersebut menjadi anak susuan bagi wnita
menyusuinya dengan dua syarat: pertama: anak dimaksud umurnya di bawah
dua tahun,(79) kedua: dia
menyusuinya sebanyak lima kali secara terpisah,(80) dan jadilah suami dari wanita yang menyusi menjadi
ayah bayi yang disusuinya.(81
Diharamkan orang yang disusui menikahi wanita yang
telah menyusui dirinya, dan haram pula orang yang dinasabkan kepadanya,(82) dan diharamkan atas wanita yang menyusui kepada
yang disusui dan anak dari lelaki yang disusuinya,(83) tidak termasuk orang yang setingkat dengannya,(84) atau tingkat yang lebih tinggi dari padanya.(85)
(Fasal): Nafkah terhadap pangkal pokok keluarga
hukumnya wajib untuk kedua orang ibu bapak,(86) dan anak-anaknya.(87)
Adapun terhadap dua orang tua: wajib untuk diberi
nafkah dengan dua syarat: karena fakir dalam keadaan cacat, atau fakir dalam
keadaan gila. Sedangkan untuk anak-anak: wajib diberi nafkah dengan tiag
syarat: fakir dalam keadaan masih kecil, fakir dalam keadaan cacat, dan fakir
dalam keadaan gila.
Nafkah bagi budak, dan hewan piaraan hukumnya wajib,
dan tidak diperbolehkan memberikan beban tugas yang di luar kemampuannya.(88)
Memberi nafkah kepada isteri demi kesehatan dirinya
adalah wajib,(89) dengan pertimbangan sebagai
berikut: apabila suami kondisinya mampu, maka jatahnya dua mud bahan makanan
pokok yang dkonsumsi amsyarakata setempat,_90) wajib memberikan bahan lauk pauk dan pakaian yang
berlaku bagi adat kebiasan, apabila suami dalam kondisi kurang mampu, maka
cukup satu mud dari bahan makanan pokok masyarakat umum, dan yang biasa
dikonsumsi dan ditempati oleh masyarakat kurang mampu. Apabila kondisi suami
cukupan, maka satu setengah mud, dan dengan lauk pauk serta perumahan yang
kelas menengah.(91)
Apabial seorang yang melayani dirinya sesuai dengan
ketentuan, maka wajib mendapatkan imbalan sesuai dengan pelayanannya.(92)
Apabila seorang suami tidak mampu meberikan nafkah
kepada isterinya, maka isteri berhak melakukan fasah (pemabatalan)
nikahnya,(93) demikian pula bila suami
tidak mampu membayar maskawin sebelum menyetubuhi isterinya.
(Fasal): Apabila seorang suami meceraikan isterinya
dan dia mempunyai anak (masih kecil), maka isteri lebih memiliki hak
asuh terhadap anaknya sampai umur tujuh tahun,(94) lalu ia disuruh memilih antara kedua orang tuanya,
dan dia harus diserahkan kepada siapa yang dipilihnya.(95)
Persyaratan hadlonah (hak asuh) ada
tujuh: berakal sehat, merdeka, beragama Islam,(96) perwira (terhormat), terpercaya, bertanggung jawab,
dan tidak mempunyai suami,(97)
(1) Dalil yang menunjukkan demikian adalah
ayat-ayat al Qur’an, antara lain: firman Allah Ta’alaa: “Dan nikahkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak nikah,
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya”. (an Nuur:32).
Dan banyak hadits Nabi saw. antara lain: hadits riwayat al Bukahry (4779), dan
Muslim (1400), dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: Kami bersama Nabi saw.
sebagai pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Maka Rasulullah saw. bersabda
kepada kami: “Wahai anak muda, barang siapa yang sudah mampu membina rumah
tangga, maka hendaklah segera kawin, karena yang demikian itu akan menutup
pandangan mata, dan terpeliharanya farji, barang siapa yang belum mampu, maka
hendaklah dia berpuasa, sesungguhnya dengan berpuasa itu sebagai peredam
gejolak syahwat”.
(2) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Maka
nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, atau tiga atau empat”. (an
Nisak:3). Dan hadits riwayat Abu Dawud (2241) dan lainnya, dari Wahbin al
Asadie ra. ia berkata: Saya telah masuk agama Islam dan saya mempunyai delapan
orang isteri, maka saya ceritakan hal itu kepada Nabi saw., maka Nabi saw. bersabda: “Pilihlah empat orang
dari mereka”.
(3) Dalil yang menunjukan demikian adalah firman
Allah Ta’alaa: “Dan barang siapa di natar kamu yang tidak cukup belanja (mampu)
untuk mengawaini wanita merdeka yang beriman, ia boleh mengawini wanita budak
ayng beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. (an Niasak: 25).
(4) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Katakanlah
kepada orang mukmin laki-laki hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, yang demikian adalah lebih baik bagi mereka”. (an Nuur: 30).
(5) Adapun farji hukumnya makruh untuk dilihat,
tanpa adanya suatu keperluan, oleh karena bertentangan dengan sopan santun. Dan
telah diriwayatkan dari A’isyah ra. bahwa dia berkata: Saya tidak pernah
melihat dari beliau dan beliau tidak pernah melihat dariku.
(6) Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan
janganlah memperlihatkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau anak-anak mereka, anak-anak suami
mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak saudara perempuan mereka”. (an
Nuur:31). Dan hadits riwayat Abu Dawud (4113), dari Amru bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya ra. dari Nabi saw.beliau bersabda: “Apabial seorang di
antara kamu menikahkan budakmu dengan budak wanita miliknya, maka janganlah
melihat kepada aurat wanita budak tersebut”. Dalam salah satu riwayat: “Maka
janganlah melihat ke bagian di bawah pusat dan di atas lutut”.
(7) Hadits riwayat al Bukahry (4833), dan Muslim
(1425), dari Sahal bin Sa’ad ra., bahwasanya ada seorang wanita datang kepada
Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, saya datang untuk menyerahkan
diriku kepada tuan, maka Rasulullah saw. melihat kepada wanita tersebut, lalu
melihat ke arah bagian atas serta memastikan pendangan beliau, lalu beliau
menundukkan kepala. Pengertian memastikan pandangan: beliau melihat ke bagian
atas dan bawah serta mempertimbangkannya. Hadits riwayat Muslim (1424), dari
Abi Hurairoh ra. ia berkata: Saya di dekat Nabi saw. kemudian datang seorang
laki-laki kepada beliau, dia memberitahukan bahwa menikahi seorang wanita dari
kaum Anshor, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah
melihat dia?” Ia menjawab: Belum. Beliau
bersabda: “Pergilah dan lihatlah dia, sesungguhnya di mata kaum Anshor ada
sesuatu”. Artinya berbeda dengan mata orang lainnya, boleh jadi tidak menarik
bagimu. Dan ahdits riwayat at Tirmidzy (1187), dinyatakan hasan, dari al
Mughiroh bin Syu’bah ra., bahwa dia
telah melamar seorang wanita, maka Nabi saw. bersabda kepadanya: “Lihatlah dia,
sesungguhnya lebih pantas untuk diajak makan roti bersama antara kamu berdua”.
Artinya dia lebih tepat untuk menumbuhkan saling cinta, saling sepakat dan
saling menjaga kelangsungan perkawinan. Hadits-hadits ini mengandung pengertian
dieprbolehkannya melihat wajah dan dua telapak tangan, oleh karena tidak
diperlukan untuk melihat bagian tubuh yang lain.
(8) Hadits riwayat Muslim (2206), dari Jabir ra.
bahwasanya Ummi Salamah ra. meminta izin Rasulullah saw.untuk berbekam (cantuk
Jawa), maka Nabi saw. memerintahkan Abu Thoibah untuk mebekamnya.
Dipersyaratkan pelaksanaan pengobatan harus ditunggui oleh mahrom atau
suaminya, dan tidak ada wanita yang berprofesei sebagai tukang bekam, dan apabila
masih didapatkan tukang bekam dari kalangan Islam, janganlah mencari di luar
Islam.
(9) Apabila ada keperlkuan untuk mengetahui wanita
tertentu, danorang tidak akan tahu
keculai dengan melihat padanya.
(10) Selain bagian antara pust dan lutut, karena
tidak boleh melihat bagian tersebut.
(11) Berdasarkan sabda Nabi saw. Tidak shah nikah
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, dan apabila ada nikah yang
tidak dilakukan seperti itu, maka nikahnya batal”, diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban (1247), ia menyatakan: Tidak shah dalam hal menjelaskan dua saksi selain
yang bersangkutan. Hadits riwayat Abu Dawud (2085), dan at Tirmidzy (1101),
dari abi Musa al Asy’arie ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidk shah
nikah kecuali dengan wali”. Dan hadits riwayat ad Daroquthny (III/227), dari
Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw.bersabda: “Janganlah seorang wanita
menikahkan wanita, dan jangan seorang wanita menikahkan dirinya sendiri”. Kami
berpendapat: Wanita yang menikahkan dirinya adalah pezina”.
(12) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Orang-orang
yang beriman baik laki-laki atau permpuan, sebagian mereka adalah menjadi
penolong bagi yang lain”. (at Taubah:71). Tidak dapat diterima persaksian bukan
orang Islam terhadap orang Islam.
(13) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Tidak shah
nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”, diriwayatkan oleh as
Syafi’ie rohimahullah di dalam Musnadnya. Imam Ahmad menyatakan: Ini yang
paling benar dalam bab ini (al Mughnie al Muhtaj: III/155), dan perhatikan CK.
No:11.
(14) Berdasarkan sabda Rasulullah saw. “Sultan
(hakim) sebagai wali bagi orang yang tidak memiliki wali”, diriwayatkan oelh
Abu Dawud (2073), dan at tirmidzy (1102), dan lainnya, dari A’isyah ra.
(15) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan
tidaklah berdosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan keinginanmu dia dalam hatimu. Allah Maha Tahu bahwa kamu akan senantiasa menyebut mereka,
dalam pada itu janganlah mengadakan janji untuk kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang baik. Dan janganlah kamu
berazam untuk melakukan akad nikah, sebelum habis iddahnya”. (al Baqoroh:235).
Pengertian berazam menikah: memastikan niyat untuk mengikat perkawinan. Haits
riwayat Muslim (1480), bahwasanya Fathimah binti Qois dithlak (dicerai) oleh
suaminya dengan talak tiga. Maka Nabi saw. bersabda kepadanya: “Apabila engkau sudah halal (selesai iddah)
beritahulah saya”.
(16) Hadits riwayat Muslim (1421), dari Ibnu Abbas
ra., bahwasanya Nabi saw.bersabda: “Wanita janda lebih berhak terhadap dirinya
sendiri dari pada walinya, sedang wanita perawan hendaknya dimintai izin, dan
izinnya adalah diamnya”, dalam satu riwayat: “Izinnya adalah diam dirinya”.
Memusyawarakan kepada wanita perawan tidak wajib.
(17) Yakni berdasarkan nash al Qur’an, surat an
Nisak: 22 – 23, akan dijelaskan secara terperinci di tempatnya.
(18) Allah berfirman: “Diharamkan bagimu
(mengawini) ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara perempuanmu, saudara
perempuan bapakmu, sudara perempuan ibumu, anak perempuan dari saudara
laki-lakimu, anak perempuan dari saudara perempuanmu”. (an Nisak:23).
(19) Friam Allah Ta’alaa: “Dan (diharamkan untuk
dinakahi) ibu yang menyusukan kamu, dan saudara perempuan sepersusuan”. (an Nisak:
23).
(20) Tetapnya keharaman isteri ayah adalah
berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Janganlah kamu menikahi wanita yang telah
dinikahi ayahmu”. (an Nisak: 22). Sedangkan keharaman yang lainnya, adalah
berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan ibu isterimu, anak perempuan dari isteri
kamu yang sudah kamu cerai sesudah kamu setubuhinya, dan apabila sudah kamu
cerai dan belum kamu setubuhinya, maka tidak berdosa bagi kamu untuk
mengawininya, dan isteri dari anak kandungmu sendiri”. (an Niasak: 23).
(21) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan
diharamkan bagimu menghimpun dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali
perbutan yang telah lampau”. (anNiasak: 23).
(22) Hadits riwayat al Bukahry (4820) dan Muslim
(1408), dari Abi Hurairoh ra. Rasulullah saw. bersabda: Tidak boleh
mengumpulkan dalam perkawinan antara wanita dengan bibi dari ayah, dan antara
wanita dengan bibi dari ibu”.
(23) Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
hubungan persusuan diharamkan seperti keharaman dari hubungan keturunan”. Dala
riwayat al Bukhary (2502), dan Muslim (1447), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
Nabi saw. bersabda: “Tidak halal saya nikahi, keharaman karena hubungan
persusuan, seperti keharaman dalam hubungan nasab, aykni anak perempuan dari
saudara spersusuan”.
(24) Yang dimaksud dengan tertolak, bahwa suami mempunyai
hak untuk memilih apakah meneruskan perkawinan atau membatalkannya (fasakh),
tanpa berkewajiban membayar mahar ketika itu. Judzam: penyakit yang
tampak merah pada jaringan kulit lalu menghitam, dan bisa terlepas anggota
tubuh dari badan. (lepra). Barosh: kulit menjadi putih kuat dan hilang
pigmennya (bule). Rotqu: farjinya tertutup dengan daging. Qoron:
farjinya tertutup dengan tulang. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw.
menikahi seorang wanita dari suku Ghifar, ketika wanita itu masuk ke ruangan
beliau, beliau melihat kulit pinggangnya berwarna putih, maka beliau bersabda:
Kenakanlah pakaianmu, dan temuilah keluargamu” dan beliau bersabda kepada
keluarganya: “Kamu menyembunyikan cacat dari padaku”, hadits riwayat al Baihaqy
(VII/214) dari Ibnu Umar ra. Hadits ini
diperkuat dengan hadits riwayat Malik di dalam al Muwathok (II/526), dari Umar
ra. ia berkata: Lelaki mana saja yang menikhai wanita, ternyata dia gila, atau
judzam, atau barosh, - dalam satu riwayat: qoron – lalu disetubhinya, maka
wanita tersebut berhak menerima maskawin secara utuh, demikianitu sebagai
hutang atas suaminya terhadap walinya.
(25) Jabbu: dzakarnya putus. Unah: impoten. Bagi
isteri berhak memilih apakah tetap melanjutkan perkawinan dengan suami tersebut
ataukah membatalkan pernikahannya, dengan catatan agar memastikan selama satu
tahun, apabila ternyata selama satu tahun tetap impoten maka secara apsti dai
berhak menfasah (membatalkan nikahnya. Oleh karena impotensinya boleh jadi
dipengaruhi oleh faktor eksternal. Dan berdasarkan hadits riwayat al Baihaqy
(VII/226) dari Umar ra., bahwasanya ada seorang wanita datang kepadanya, dia
meberitahukan bahwa suaminya tidak mampu melayaninya, maka dia tunggu sampai
satu tahun, setelah ditinggu slama satu tahun juga tetap impoten, maka dia
diberi hak memilih, maka umar memisahkan antara keduanya dengan thalak bain
(talak tiga).
(26) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa; “Berikanlah
maskawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian wajib”. (an Nisak:
4). Hadits riwayat al Bukahry (4741), dan Muslim (1425), dari Sahal bin Sa’ad
ra. ia berkata: Datang seorang wanita kepada Nabi saw. dan berkata:
Sesungguhnya dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah dan Rasul-Nya saw. Maka
beliau bersabda: “Saya tidak membutuhkan wanita”, maka ada seorang lelaki
berkata: Nikahkanlah wanita itu denganku. Beliau bersabda: “Berilah dia baju.
Ia menajwab: Saya tidak mempunyainya. Beliau bersabda: “berilah dia sebuah
cincin walaupun terbuat dari besi”. Dia juga menyatakan tidak mampu. Maka
beliau bersabda: “Apa yang kamu mampui dari al Qur’an”. Dia menjawab: Demikian,
demikian … Maka beliau bersabda: “Sungguh aku nikahkan engkau dengan dia dengan
maskawin apa yang engkau mampu dari al Qur’an”.
(27) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Tidak ada
kewajiban membayar maharatasmu apabila kamu menceraikan isteri kamu sebelum
kamu bersetubuh dengannya, atau sebelum kamu menentukan maharnya”. (al
Baqoroh:236). Telah dijelaskan bahwa nikah tetap shah walaupun belum ditentukan
maharnya secara jelas, oleh karena tholak (cerai) itu tidak akan terjadi
sebelum shanya akad nikah.
(28) Hadits riwayat at Tirmidzy (1113), dari Amir
bin Robi’ah ra., bahwasanya ada seorang wanita dari Bani Fazaroh menikah dengan
maskawin sepasang sendal, maka Rasulullah saw. bertanya: “Apakah engkau rela
dalam hatimu dengan maskawin hanya sepasang sendal?”. Dia menajwab: Yaa. Maka
nikahnya shah. Perhatikan CK. No: 26 dan
31. Dan firman Allat ta’alaa: “Sedangkan kamu telah memberika kepada salah seorang
dari mereka harta yang banya”. (an Nisak: 20). Ini menunjukkan bahwa tidak ada
batas banyaknya maskawin. Disunnatkan maskawin itu tidak kurang dari lima
dirham, untuk menghindari perbedaan pendapat, sebab ada yang mewajibkan minimal
lima dirham, yakni madzhab Hanafie. Dan tidak lebih dari 500 dirham, karena
sekian maskawin puteri serta isteri-isteri beliau saw. Hadits riwayat al Khomsah dan dishohihkan
oleh at Tirmidzy (1114), dari Umar ibnul Khothob ra. ia berkata: Janganlah
membuat mahal maskawin wanita, sesungguhnya kalau karena demi kehormatan di
dunia dan berrtaqwa di akhirat, niscaya yang paling mulya di antara kamu adalah
beliau saw.. Rasulullah tidak pernah memberikan maskawin isteri beliau, atau
menrerima maskawin untuk puteri beliau, lebih dari 20 auqiyah, satu auqiyah
sama dengan (40 dirham), jadi total 480 dirham.
(29) Seperti jasa emngajarkan ayat-ayat al Qur’an,
atau mengerjakan sesuatu pekerjaan tertentu, perhatikan CK. No: 26.
(30) Firman Allah Ta’alaa: “Jika kamu menceraikan
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kemau
sudah menetukan maskawinnya, maka bayarlah seperdua dari maskawin yang telah
kamu tentukan itu”. (al Baqoroh:237). Dan maskawin tetap dibayar utuh
apabila suami meninggal dunia atau sudah
disetubhui: Dalil yang menunjukkan tetapnya maskawin karena mati
adalah hadits riwayat Abu Dawud (2114), dan at Tirmidzy (1145), dinyatakan
hasan shohih, dan lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud ra. bahwasanya dia ditanya
tentang lelaki yang menikahi seorang wanita yang belum ditentukan maskawinnya,
dan belum disetubuhinya sampai dia mati? Ibnu Mas’ud menajwab: Dia berhak
menerima maskawin sama dengan isteri lainnya, tanpa dikurangi dan didholimi,
dan isterinya wajib menjalani iddah dan berhak menrima harta warisannya. Maka
Ma’qil bin Sinan al Asyja’ie berdiri dan berkata: Rasulullah saw. menetapkan
terhadap Barwa’a binti Wasiq, salah seorang wanita dari kita, seperti yang
engkau putuskan, maka senanglah oelh karenanya Ibnu Mas’ud. Kesenangan Ibnu
Mas’ud disebabkan bahwa fatwa yang disampaikan sesuai dengan fatwa yang diberiathukan oleh Ma’qil
bin Sinan dari Rasulullah saw. dan ini sebagai tanda adanay taufiq dari Allah
ta’alaa. Adapun tetapnya maskawin dengan persetubuhan, adalah firman
Allah ta’alaa: “Apabila kamu menceraikan isteri kamu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maskawinnya, maka
bayarlah seperdua dari maskawin yang telah kamu tentukan”. (al Baqoroh:237).
Sungguh sebagai dalil bahwa apabila perceraian terjadi sesudah persetubuhan,
maka tidak akan gugur sebagian maskawin. Umar ra. berkata: Mana saja lelaki
yang menikahi seorang waniat …… lalu dia menyetubuhinya maka wanita tersebut
berhak menerima amskawai secara penuh …. Perhatikan CK. No: 24.
(31) Hadits riwayat al Bukhary (4860), dan Muslim
(1427), dari Annas bin Malik ra., bahwasanya Nabi saw. melihat kepada Abdur
Rohman bin Auf mencelup (mewarnai) bajunya. Beliau bertanya: Apakah ini? Ia
menjawab: Saya telah menikahi seorang wanita dengan maskawin emas seberat biji
kurma. Beliau bersabda: Semoga Allah memberkatimu, dan buatlah walimah walaupun
hanya dengan seekor kambing”. Walimah adalah menyediakan makanan serat mengundang manusia untuk ahdir kepadanya,
acara ini pada umunya khusus untuh perkawinan.
(32) Hadits riwayat al Bukahry (4878), dan Muslim
(1429), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu
diundang ke walimah hendaklah menghadirinya”. Dalam riwayat Muslim (1421):
“Barang siapa yang tidak menghadiri undangan, maka sungguh bermaksiyat kepada
Allah dan Rasul-Nya”.
(33) Misalnya: karena didapti adanya kemungkaran
yang tidak dapat dirubahnya, yang terjadi di dalam acara akad nikah atau
upacaranya, misalnya adanya pengambilan gambar, atau bunyi-bunyian piano dan
sebagainya.
(34) Hadits riwayat Abu Dawud (2133), dan at
Tirmidzy (1141) dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda: “Barang siapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu dia hanya
memperhatikan salah satunya saja – meurut at Tirmidzy tidak berbuat adil antara
keduanya – maka dia datang nanti pada hari qiyamat badannya yang sebelah akan
runtuh”. Hadits riwayat Abu Dawud (2134) dan at Tirmidzy (1140), dari A’isyah
ra. ia brrkata: Rasulullah saw. membagi giliran terhadap isteri beliau secara
adil, dan beliau berdo’a: “Ya Allah, ini adalah pembagianku terhadap apa yang
aku miliki, maka janganlah Engkau mencela dalam hal yang aku miliki dan yang
tidak aku miliki, kata Abu Dawud: yakni Hati.
(35) Hadits riwayat al Bukhary (3910), dan Muslim
(2770), dari A’isyah ra. bahwasanya dia berkata: Rasulullah saw. apabila hendak
bepergian, beliau mengundi antara isteri-isteri beliau, mana yang mendapatkan
undian, maka beliau keluar bersamanya.
(36) Hadits riwayat al Bukhary (4916), dan Muslim
(1461), dari Annas ra. ia berkata: menureut sunnah: Apabila menikah dengan
perawan maka bermalam selama tujuh malam, lalu membagi gilirannya, apabila
menikah dengan janda, maka bermalam tiga malam, lalu membagi gilirannya. Abu
Qilabah berkata: Bila aku mau nisacaya aku katakannya. Sesungguhnya Annas ra.
menyatakan bahwa hadist ini marfu’ sampai kepada Rasulullah saw.
(37) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Wanita yang
kamu khawatirkan nusyuz, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian apabila mereka taat
kepadamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”. (an
Niasak: 34). Nusyuz adalah bermaksiyat atau melawan suami.
(38) Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka
(isteri), kecuali kalau dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Apabila kamu khawatir tidak dapat menjalankan hukum Allah,
maka tidak berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
guna menebus dirinya”. (al Baqoroh: 229). Hadits riwayat al Bukahry (4971),
dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya isteri Tsabit bin Qois datang kepaad Nabi saw.
dan berkata: Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qois, saya tidak keberatan tenatng
akhlaknya, atau soal hutang, tetapi saya benci kekufuran di dalam Islam. Maka
Nabi saw. bertanya: “Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Ia
menjawab: Ya Nabi. Maka Rasulullah saw. bersabda kepada Tsabit bin Qois:
“Terimalah kebun iutu, dan ceraikanlah dia dengan sekali thalak”.
(39) Artinya suami tidak berhak menguasai isterinya
lagi, karena khulu’ itu kedudukannya adalah tholak bain (talak tiga).
(40) Oleh karena wanita tersebut menjadi wanita ajnabiyah
bagi manta suami setelah terjadinya khulu’..
(41) Karena
dijelaskannya beberapa lafadh tersebut di dalam syari’at Islam, dan
berkali kali disebutkan di dalam al Qur’an, yang maksudnya adalah thalak
(cerai). Frman Allah ta’alaa: "يآ
أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن"(Wahai
Nabi, apabila kamu mentholak (menceraikan) isteri-isteri kamu, maka
tholaklah mereka pada waktu mereka dapat
menghadapi iddah mereka secara wajar). (at Tholaq: 1). Dan firman Allah
Ta’alaa: "وأسرّحكنّ سراحا جميلا" (Dan
aku ceraikan kamu dengan cara yang baik), (al Ahzab: 28). Dan firman Allah
Ta’alaa: "أو
فرقوهن بمعروف"(Aatau lepaskanlah mereka
dengan baik) (at Tholaq:2).
(42) Sebagaimana sabda beliau: “Temuilah/kembalilah
kepada keluargamu, engkau sudah bukan wanitaku, dan engkau hanya sekededar hiasan”,
apabila kalimat Nabi ini diniyati talak, maka terjadilah talak (cerai),
berdasarkan hadits riwayat al Bukahry (4955), dari A’isyah ra. bahwasanya anak
perempuan al Jun, ketika dimasukkan ke dalam ruangan Rasulullah saw. dan beliau
mendekatinya, wanita itu berkata: Aku berlindung kepada Allah dari padamu. Maka
beliuau bersabda: “Engkau telah berlindung kepada Yang Maha Besar, kembalilah
kepada keluargamu”. Apabila tidak berniyat
untuk meceraikan, maka tidak jadi cerai, dalil yang menunjukkan demikian
adalah hadits riwayat al Bukhary (4152) dan Muslim (2769), hadits tentang
keterlambatan Ka’ab bin Malik ra. dari peperangan Tabuk, ia berkata: Setelah
berusia 45 tahun wahyu terlambat turun, ketika Rasulullah saw. mendatangi saya
beliau bersabda: “Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintahkan engkau untuk
menjauhkan diri dari siterimu”, maka saya bertanya: Apakah saya harus
menceraikannya atau saya harus berbuat apa? Beliau bersabda: “Bahkan jauhilah
isterimu dan jangan engaku mendekatinya”. Saya berkata kepada isteriku:
Kembalilah kepada keluargamu. Dia berbuat demikian karena merasa takut
menentang Rasulullah saw. dan dia tetap mempergaulinya ketika isterinya berada
di dekatnya, ketikan turun wahyu lagi, maka kembalilah isterinya kepadanya, dan
beliau tidak memerintahkan untuk menceraikannya, atau memperbaharui akad
nikahnya. Hal ini menunjukkan, bahwa kalimat: “kembalilah kepada keluargamu”,
bukanlah lafadh cerai.
(43) Dalil yang menunjukkan demikian adalah hadist
riwayat al Bukhary (4953), dan Muslim (1471), dari Abdullah bin Umar ra.,
bahwasanya dia menceraikan isterinya yang sedang haid, pada zaman Rasulullah
saw. Kemudian Umar Ibnul Khothob bertanya kepada Rasulullah saw. tenatng hal
itu. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Perintahkanlah dia merujuk kembali
isterinya, lalu mempertahankannya sampai dia suci, lalu haid, lalu suci lagi,
bila dia mau pertahankan pernikahan tersebut, dan bila tidak silakan
diceraiakan sebelum disetubuhinya. Dan itulah iddah yang dieprintahkan oleh
Allah ta’alaa, hila engkau menceraikan isterimu”. Atau berdasarkan firman Allah
ta’alaa: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan iasterimu, maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu di amna dia dapat menghadapi iddahnya secara wajar”
(at Tholaq:1). Oleh karena wanita tersebut memulai masa iddahnya pada saat dia dicerai suaminya, berbeda bila wanita
dicerai pada saat haid, dia mulai iddahnya sesudah suci dari haid ayng
dialaminya saat itu. Apabila dicerai sesudah distubuhi, maka boleh ajdi dia bisa
hamil, dan dia tidak berharap dicerai dalam keadaan hamil, dan itu akan
menimbulkan suatu penyesalan di kemudian hari.
(44) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Tholak
(yang dapat dirujuk) hanya dua kali, setelah itu boleh runjuk kembali secara
ma’ruf (baik) atau menceraikannya secara baik”. (al Baqoroh: 229), dan firman
Allah ta’alaa: “Apabila ia meceraikannya, maka tidak halal lagi baginya sesudah
itu, sampai dia dinikahi oleh orang lain”. (al Baqoroh: 230). Hadits riwayat
Abu Dawud (2195), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: “Wanita yang telah dicerai
itu harus menunggu iddahnya selama tiga kali suci, tidak halal bagi wanita itu
menyembunyikan apa yang telah dijadikan oleh Allah di dalam rahimnya, bila dia
benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan mantan suaminya yang lebih
berhak untuk merujuknya dalam masa iddah, apabila mereka benar-benar bermaksud
untuk kebaikan”. (al Baqoroh: 228). Ia berkata: Dari ayat ini, menjelaskan
bahwa manatan suami berhak merujuk kembali mantan isterinya, walaupun sudah
talak tiga, maka hal ini dinasakh (dihapus) dengan ayat yang menyatakan:
“Tholak itu ahnya dua kali”.
(45) Hadits riwayat ad Daroquthny (IV/39),
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “tholak budak itu hanya dua kali”.
(46) Misalnya suami menaytakan kepada isterinya:
“Engkau saya tholak tiga, kecuali dua”, maka ucapan itu shah dan jatuhlah
tholak satu kali. Nabi saw. bersabda: “Barang siapa yang memerdekakan budaknya
atau mentholak isterinya dan membuat pengecualian, maka baginya sesuai dengan
pengecualian tersebut, demikian dijelaksn oleh Ibnu Atsir di dalam kiatb an
Nihayah.
(47) Misal dari menggantungkan dengan sifat: Engkau
saya tholak pada bulan ini, atau engkau saya tholak apabila hari ini hujan.
Sedangkan contoh menggantungkan kepada syarat: bila suami menyatakan: Apabila
engkau masuk rumah, maka engkau saya tholak, maka tholak jatuh ketika isteri
memasuki rumah dimaksud. Hal in memperhatikan sabda Nabi saw. : “Orang Islam
itu sesuai dengan persyaratannya” (al Hakim II/49).
(48) Hadits riwayat Abu Dawud (2190), dan at
Tirmidzy (1181), di menyatakan: hadits hasan shohih, dari Amru bin Su’aib dari
ayahnya, dari kakeknya ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada
nadzar bagi anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimiliknya, dan tidak
memerdekakan budak yang bukan miliknya, dan tidak ada tholak terhadap wanita
yang tidak dimilikinya”. Artinya: terhadap wanita yang tidak ada pemiliknya,
dan tidak berhak memiliki terhadap wanita sebelum terjadinya pernikahan.
Menurut riwyat al hakim: “Tidak ada tholak sebelum pernikahan terjadi”.
(49) Berdasarkan hadits: "رفع القلم عن ثلاث …..", perhatikan CK. No: 10 Kitab Sholat. Dan berdasarkan hadits
riwayat Abu Dawud (2193), dan lainnya, dari A’isyah ra. ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak shah tholak, dan tidak shah pemerdekaan
budak dalam keadaan dipaksa. Hadits riwayat Ibnu Majah (2045) dengan lafadh: "إغلاقٍ" dia
menafsirkan: “dipaksa”, karena paksaan berarti menutup urusan serta
hak-hak pribadi seseorang. Dan berdasarkan sabda Rasulullah saw. :
“Sesunngguhnya Allah mengabaikan dari ummatku kesalahannya dan kelupaannya dan
hal-hal yang dipaksakan”, HR. Al Hakim, dari Ibnu Abbas ra.
(50) Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Dan
suaminya berhak untuk merujuknya kembali dalam keadaan iddah”. (al Baqoroh:
228).Dan berdasarkan sabda Nabi saw. kepada Umar ra.: “Perintahkanlah agar dia
rujuk kembali dengan isterinya”, perhatikan CK. No: 43. Dalam riwayat lain:
Abdullah menceraikan isterinya dengan satu kali tholak. Di dalam riwayat
Muslim: Ibnu Umar ketika ditanya tentang hal itu, maka dia berkata kepada salah
satu dari mereka: Adapun apabila engkau menceraikan isterimu satu kali atau dua
kali, maka sesungguhnay rasulullah saw. memerintahkan kepadaku demikian, yakni
agar rujuk kembali. Hadits riwayat Abu Dawud (2283), dari Umar ra. , bahwasanya
Rasulullah saw. menceraikan Hafshoh, lalu beliau rujuk kembali padanya.
(51) Diriwayat kan Umar ra., bahwasanya dia ditanya
tentang orang yang menceraikan isterinya dengan talak dua dan sudah habis
iddahnya, dan wanita itu sudah menikah dengan lelaki lain kemudan bercerai,
lalu dinikahi oleh suami yang pertama? Umar menjawab: Dia masih memiliki sisa
tholak (satu kali lagi) (al Muwathok: II/586).
(52) Berdasarkan firman allah Ta’alaaa: “Apabila ia
menceraikannya (talak tiga), maka tidak halal baginya sesudah itu sampai
dinikahi orang lain, apabila sudah diceraikan lagi dari suami kedua, maka tidak
berdosa untuk keduanya kembali mengikat
perkawinan, apabila kedau belah pihak yakin dapat menegakkan hukum Allah”. (al
Baqoroh: 230). Dan hadits riwayat al Bukhary (2496) dan Muslim (1433), dari
A’isyah ra.: Datang kepada Nabi saw. isteri
Rifa’ah al Quradhie, ia berkata: Saya sebagai isteri Rifa’ah, dia sudah
menceraikan saya dengan talak tiga, lalu saya menikah dengan Abdur Rohman ibnuz
Zubair, saya bersamanya terasa seperti pinggirnya baju. Beliau bertanya:
“Apakah engkau hendak kembali kepada Rifa’ah? Jangan. Sampai engkau menikmati
madunya dia, dan dia menikmati madumu. Pengertian pinggir baju di sini adalah
sebagai perumpamaan, bahwa Abdur Rohman tidak memiliki kemampuan sebagai
lelaki. Menikmati madu sebagai kiasan bahwa hendaknya melakukan persetubuhan
walalu sebentar dan sekedar memasukkan dzakar ke dalam farjinya.
(53) Sudah putus hubungan perkawinannya dengan
suami kedua, baik dengan tholak, atau fasah atau karena mati.
(54) Artinya di diminta untuk menarik sumpahnya,
lalu menyetubuhi isterinya dan membayar kafarat sebagai tebusan sumpah, apabila
dia tidak mau maka dia harus menceraikan isterinya. Berdasarkan firman Allah
Ta’alaa: “Kepada orang-orang yang meng-ilak (bersumpah tidak akan
menyetubuhinya), diberi tangguh selama empat bulan, kemudian jika mereka
kembali, makasesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika
mereka ber’azam untuk tholak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (al Baqoroh: 226 –227). Pengertian: "فاؤوا"artinya: kembali mencabut
sumpahnya dan menyetubuhi isterinya. Hadits riwayat Malik di dalam al Muwathok
(II/556), dari Ali ra. bahwasanya ia berkata: Apabila seorang lelaki bersumpah
tidak menyetubuhi isterinya, belum berarti tholaknya jatuh, sekalipun sudah
berjalan selama empat bulan, sampai dia dicegah: mungkin dia menceraikan
isterinya, atau mungkin mencabut sumpahnya. Diriwayatkan hadist seperti ini
dari Ibnu Umar ra.
(55) Untuk menghialngkan dlarurat (bahaya) dari
sang isteri, dan tidak ada jalan kecuali harus diceraikan oleh pihak yang
berwenang.
(56) Artinya: Engkau haram bagiku untuk saya gauli,
seperti keharaman ibuku bagiku untuk saya gauli sebagai suami isteri.
Pernyataan demikian ini hukumnya haram berdasarkan kesepakatan ummat Islam. Allah
Ta’alaa berfirman: “Orang-orang yang mendhihar isterinya (menganggap isterinya
sebagai ibunya, padahal) bukanlah isterinya itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang telah melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka telah mengucapkan sesuatu yang mungkar dan dusta, dan sesungguhnya Allah
Maha Pnegampun”. (al Mujadalah: 2).
(57) Artinya berlawanan dengan apa yang telah ia
ucapkan, yakin: mengharamkan isterinya bagi dirinya, oleh karena mempertahankan
isterinya dan tidak menceraikannya berarti berlawanan dengan pengaharaman
isterinya baginya.
(58) Allah Ta’alaa berfirman: “Orang-orang yang
mendhihar isterinya (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) bukanlah
isteri mereka itu ibu mereka. Ibu mereka tidak lain adalah wanita yang telah
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah mengucapkan suatu perkataan
yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang mendhihar isteri
mereka , kemudain mereka hendak menarik kembali apa ayng telah mereka ucapkan,
maka wajib atasnya memerdekakan budak, sebelum kedua suami isteri bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengtahui apa yang kamu kerjakan. Barang
siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa untuk
berpuasa, maka wajib memberi makan kepada 60 orang miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan itulah hukum-hukum Allah (yang
tidak boleh dilanggar), dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”.
(al Mujadalah: 2 – 4).
(59) Hadits riwayat al Bukahry (4470), dari Ibnu
abbas ra. bahwasanya Hilal bin Ummayah menuduh isterinya di hadapan Nabi saw.
berzina dengan Syarik bin Samhak. Maka Nabi saw. bersabda: “Datangkan bukti,
atau dicambuk punggungmu” …….. Hilal berkata: Demi Tuhan yang telah mengutusmu
dengan benar saya adalah di pihak yang benar. Maka Allah akan menurunkan aap
yang bisa menyelamatkan punggungku dari hukuman cambuk. Maka Jibril turun dan
menurunkan wahyu kepada Nabi saw. : "والذين
يرمون أزواجهم ….." (an Nuur:6).
(60) Hadits riwayat al Bukhary (5003), dan Muslim
(1492), dari Sahal bin Sa’ad ra. bahwa
ada seorang lelaki dari kaum Anshor datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Wahai
Rasulullah, bagaimanakah pendapat tuan apabila seorang suami melihat isterinay
bersama-sama dengan lelaki lain, apakah boleh membunuh laki-laki tersebut, atau
apa yang harus ia perbuat? Allah menurunkan wahyu sebagaimana tersebut di dalam
al Qur’an tentang urusan orang yang bersumpah li’an. Maka Nabi saw. bersabda:
“Allah telah memutuskan tentang engkau dan urusanmu”. Beliau bersabda:
Hendaklah keduanya melakukan sumpah li’an di masjid dan saya sebagai saksinya.
Di dalam satu riwayat: Agar kedua belah pihak sama-sama bersumpah li’an dan
saya bersama manusia banyak di hadapan
Rasulullah saw. Menurut riwayat Abu
Dawud (2250) Sahal berkata: Saya telah datang kepada Rasulullah saw. dan sunnah
sudah berjalan, bahwa sesudah sumpah li’an diucapkan: hendaknya hakim
memisahkan mereka dari ikatan suami isteri untuk selamanya.
(61) Allah Ta’alaa berfirman: “Orang-orang yang
menuduh isterinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain
dirinya sendiri, maka persaksiannya adalah dengan empat kali sumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya bahwa dia adalah termasuk orang yang benar. Dan sumpah yang
kelima: bahwa laknat Allah akan menimpanya, apabila dia termasuk orang-orang
yang berdusta”. (an Nuur: 6 – 7). Hadits riwayat al Bukhary (5001), dari Ibnu
abbas ra. bahwasanya Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina, maka dia
datang menghadap Nabi dan bersaksi, dan Nabi saw. bersabda: “Allah Maha Tahu
bahwa salah satu di antara kamu berdua ada yang berdusta, apakah ada salah
seorang dari kamu bertaubat”. Dalam satu riwayat al Bukhary (5006) dari Ibnu
Umar ra.”: Beliau mengulangi kalimta tersebut tiga kali, lalu isterinay berdiri
dan bersaksi. Hadits riwayat Abu Dawud (2263) dan lainnya dari Abi Hurairoh ra.
bahwa dia mendengar Rasululah saw. bersabda pada saat turunnya ayat tentang
sumpah li’an: “Siapapun wanita yang memasuki suatu kaum di mana wanita itu
bukan termasuk dalam kaum itu, maka dai tidak mendapat apa-apa dari Allah, dan
Allah tidak akan memasukkanya ke dalam surga-Nya Allah. Dan siapapun lelaki
mengingkari anaknya padahal ia tahu
(bahwa ia adalah anaknya), maka Allah akan menutup dia dari padanya, dan Allah
akan membuka aibnya kepada setiap kepala manusia sejak awal sampai akhir zaman.
(62) Hadits riwayat al Bukhary (5009), dan Muslim
(1494), dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Nabi saw. menyumpah li’an kepada seorang
lelaki dengan isterinya, menafikan hubungan nasab dengan suami terhadap anak
yang akan dilahirkan, memisahkan hubungan mereka, dan menjadikan nasab bayi
yang akan dilahirkan hanya kepada wanita yang melahirkannya. Dalam hadits
riwayat al Bukahry (5006) Nabi saw. bersabda kepada keduanya: Hisab kalian
berdua di tangan Allah, salah seorang dari kamu berdusta, tidak ada jalan bagi
kamu untuk mengikat hubungan suami isteri dengannya lagi. Artinya: Tidak ada
hak bagi untuk rujuk kembali dan beretmu antara kalian berdua, sekalipun dengan
akad nikah baru. Perhatikan CK. No: 61.
(63) Firman Allah Ta’alaa: “Isterinya itu terhindar
dari hukuman dengan sumpah empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya
termasuk orang-orang yang berdusta. Dan sumpah yang kelima: bahwa la’nat Allah
akan menimpanya, jika suaminya termasuk orang-orang yang benar”. (an Nuur: 8
–9). Menurut riawayat Muslim (1493): “Kemudian beliau memanggilnya dan menasehati
serta memperingatkannya, dan memberitahukan kepadanya, bahwa siksa dunia lebih
ringan dibandingkan dengan siksa di akhirat”.
(64) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai melahirkan
kandungan mereka”. (at Tholaq: 4). Hadits riwayat al Bukahry (5014), dari al
Miswar bin Makhromah ra. Bahwasanya Subai’ah al Asalamah melahirkan semalam
setelah suaminya meninggal dunia, dia datang kepada Nabi saw. untuk meminta
izin menikah lagi, maka beliau mengizinkannya, maka dia menikah.
(65) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Orang-orang
ayng meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka hendaklah isteri-isteri itu
menjaga diri (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari. Apabila sudah sampai
batas iddahnya, maak tidak berdosa atas kamu terhadap apa yang mereka lakukan
utnuk dirinya sendiri secara baik, dan Allah Maha Tahu apa yang kamu kerjakan”.
(al Baqoroh:234). Pengertian terhadap yang mereka lakukan: untuk berhias diri,
bertatap muka untuk berbicara, atau menikah, dan sebagainya.
(66) Misalnya bercerai dengan suaminya sebab li’an,
atau fasakh, setelah disetubuhi, dan sebagainya.
(67) Perhatikan CK. No: 64.
(68) Berdasarkan firman alah ta’alaa:
“Wanita-wanita yang dicerai, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quruk
(haid/suci), dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
oleh Allah dalam rahimnya, apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir”.
(al Baqoroh: 228). Pengertian “quruk” adalah satuan waktu antara dua haid, dan
secara mutlak diartikan dengan waktu haid.
(69) Al – ayisah: wanita yang sudah tua yang sudah terputus dari
haid, dan susah untuk mengembalikan lagi ke masa sebelumnya. Firman Allah
Ta’alaa: “Dan wanita-wanita yang putus haid, jika kamu ragu tentang masa iddah
mereka, maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula bagi wanita yang
tidak haid”. (at Tholaq: 4).
(70) Berdasarkan firman Allah ta’alaa; “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu setubuhinya,maka sekali-kali tidak
wajib atas mereka iddah bagimu yang akmu minta untuk menyempurnakannya, maka
berilah mereka itu mut’ah (hadiah) dan lepaskanlah mereka dengan baik”. (al
Ahzab: 49).
(71) Berdasarkan pernyataan Umar dan anaknya ra.:
Diperhitungkan iddah amat dua kali suci/haid, dan pendapat ini tidak ada ayng
menolaknya dari kalangan sahabat, maka pendapat
Umar ini menjadi ijmak ulama’. Karena budak itu hanya separoh dari
wanita merdeka dalam banyak hukum Islam. Dan diqiyaskan kepada budak laki-laki,
dalam hal hak tholak terhadap isterinya hanya dua kali. (Nihayah).
(72) Diqiyaskan kepada yang menggunakan hitungan
aqrok, dalam hal setengah dari wanita merdeka.
(73) Oleh karena bulan itu pengganti dari aqrok,
dan bagi wanita merdeka dibuat tiga bulan sebagai ganti tiga kali suci,
demikian pula yang lebih baik bagi amat bila dihitung iddahnya dua bulan
sebagai penganti dua kali suci/haid.
(74) Maka wajib diberi nafkah, berdasarkan firman
Allah Ta’alaa: “Tempatkanlah mantan isteri kamu di mana sesuai dengan
kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk mempersempit mereka, apabila mereka
sedang dalam keadaan hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hidupnya
hingga mereka melahirkan kandungannya. Apabila mereka menyusui anak-anak kamu
untukmu, maka berilah upahnya, dan musayawarahkanlah antara kamu segala sesuatu
dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan dalam hal penyusuan anak, maka
perempuan lain untuk menyusui anakmu itu”. (at Tholaq: 6). Hadits riwayat ad
Daroquthny dan an Nasaie (VI/144), tenatng kisah Fathimah binti Qois ra.,
ketika diceraikan oleh suaminya dengan talak tiga, dia tetap tinggal serumah
dengannya, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Sesungguhnya nafkah
dan perumahan itu hak bagi mantan isteri yang dapat dirujuk kembali”. Dalam
riwayat Abu Dawud (2290), beliau bersabda kepadanya: “Tidak ada hak mendapatkan
nafkah bagimu, kecuali bila engkau dalam keadaan hamil”.
(75) Hadits riwayat al Bukahry
95024) dan Muslim (1486, 1489), dari Ummi Habibah ra. ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal bagi wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk ihdad (berkabung) atas mayit lebih dari tiga
malam, kecuali atas kematian suami, yakni selama empat bulan sepuluh hari”. Dan
hadits riwayat al Bukhary (307) dan Muslim (938), dari Ummi Athiyah al Anshory
ra. ia berkata: Kami dilarang untuk ihdad terhadap mayit lebih dari tiga hari,
kecuali terhadap suami selama empat bulan sepuluh hari, dan kami tidak memakai
celak, tidak memakai wewangian, tidak memakai pakaian yang indah-indah, tetapi
kami memakai pakaian harian biasa, dan kami diberi keringan pada saat kami
bersuci, ketika di antara kami mandi dari haid, dalam hal memotong kuku, dan
kami dilarang untuk mengantarkan jenazah.
(76) Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan jangan diizinkan keluar kecuali
kalau mereka melakukan perbuatan keji yang terang-terangan. Itulah hukum Allah
dan barang siapa melanggar hukum Allah, maka sungguh telah berbuat dholim
terhadap dirinya sendiri”. (at Tholaq:1). Hadits riwayat Muslim (1483), dari
Jabir ra. ia berkata: Bibi saya diceraikan oleh suaminya, dia bermaksud untuk
memotong buah kurmanya, maka ada seorang lelaki yang melarang dia untuk keluar
rumah, maka dia datang melapor kepada Nabi saw.
maka beliau bersabda: “Potonglah kurmamu, sesungguhnya mudah-mudahan
akan bersedakah dengan kurma itu, atau engkau akan berbuat baik”.
(77) Dasar masalah ini adalah hadits riwayat Abu
dawud (2157), dari Abi Sa’id al Khudzrie ra. bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda dalam hal wanita tawanan perang dari orang kafir di lembah Authos
sesudah perang Khunain: “Janganlah disetubuhi wanita budak yang hamil sampai
dia melahirkan kandungannya, dan jangan pula terhadap wanita budak yang tidak
hamil sampai dia haid satu kali”, dan diqiyaskan selain wanita tawanan perang
tersebtu, karena hak kepemilikan.
(78) Diqiyaskan kepada amat, dan hadits riwayat
Malaik (II/592), dari Abdullah bin Umar ra. bahwa dia berkata: Iddah ummil
walad, apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah satu kali haid. Ummul walad
adalah amat (budak wanita) yang
disetubuhi oleh tuannya, lalu dia hamil karenanya dan memberikan anak.
(79) Hadits riwayat al Bukhary (4814), dari A’isyah
ra. bahwasanya Nabi saw.masuk kerumahnya dan di sampingnya ada seorang lelaki,
sepertinya beliau berobah air mukanya karena tidak suka terhadap hal itu, maka
A’isyah berkaat: Sesungguhnya dia adalah saudara lelakiku. Maka beliau
bersabda: “Perhatikanlah saudaramu, sesungguhnya yang disebut saudar rodlo’ah
(sepersusuan) karena kelaparan”,
artinya: Diharamkan saudara sepersusuan apabila disusui ketika pada saat
manusai sedang lapar untuk menghentikan kelaparan dan mengenyangkannya ketiak
disusui, dan hal itu tidak bisa terjadi kecuali ketika anak masih kecil. Hadits
riwayat at Tirmidzy (1152), dari Ummi Salamah ra. ia berkata: Rasulullah saw.
bersabda: “Tidak haram karena sepersusuan, kecuali susu tersebut mengenyangakn
bayinya, dan bay tersebut masih saat membutuhkan air susu ibu, dan bayi yang
belum waktunya disapih (belum umur dua tahun)”. Firman Allah Ta’alaa: “Dan
menyapihnya setelah umur dua tahun” (Luqman: 14). Dan firman Allah Ta’alaa:
“Dan bagi kaum ibu wajib menyusui anaknya selama dua tahun penuh, bagi orang
yang ingin menyempurkan penyusuan anaknya”. (al baqoroh: 233). Dan hadits
riwayat ad Daroquthny (IV/174), Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada rodlo’ah
kecuali dia masih dalam usia dua tahun”. Perhatikan CK. No: 19 dan 23.
(80) Hadits riwayat Muslim (1452), dari A’isyah ra.
Pada saat diturunkannya sebagian al Qur’an: sepuluh kali susuan yang ditentukan
maka menjadi haram, lalu di nasakh (diganti) menjadi lima kali susuan
yang ditentukan, kemudain Rasulullah saw. wafat, dan mereka memberlakukan apa
yang dibaca dalam al Qur’an. Artinya apabila hal itu dinasakh, maka datangnya
sudah akhir, sampai beliua wafat, dan sebagian manusia tetap berpegang apa yang
telah dibaca dalam al Qur’an. Oleh akrena nasakh tersebut belum sampai
kepadamereka. Yang dimaksudkan dengan tertentu adalah setiap satu kali menyusui
terpisah dengan penyusuan lainnya, yakni terpisah sampai bayi kenyang. Hadits
riwayat Muslim (1451), dari Ummi al Fadlel ra, bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Tidak menjadi haram apabila hanya satu atau dua kali penyusuan, atau hanya
satu atau dua kali isapan”.
(81 Hadits riwayat al Bukhary (4518), Muslim
(1445), bahwasanya A’isyah ra. berkata: Aflah meminta izi kepada saya , saudara
Abul Qu’ais, sesudah turunnya ayat tenatng hijab, maka saya menjawab: Saya
tidak akan mengizinkan padanya sampai dia meminta izin tenatgn hal itu kepada
Nabi saw.. Sesungguhnya saudaranya Abul Qu’ais tidak menyusui aku, dan yang
menyusui aku adalahisteri Abul Qu’ais. Maka Nabi saw. masuk ke rumah saya dan
saya berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah, saudara Abul
Qu’ais meminta izin, dan saya menolak untuk memberikan izin kepaadnya sampai
dia meminta izin kepada tuan. Maka Nabi saw. bersabda: “Apa yang menghalangimu
untuk memberi izin pamanmu?”. Saya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya
seorang lelaki tidak menyusui aku, tetapi yang menyusui aku adalah isteri Abul
Qu’ais, maka beliau bersabda: “Berilah dia izin, sesungguhnya dia adalah
pamanmu, maka tangan kanamu akan diberkati Allah”. Arti dari kata: "تربت يمينكِ" adalah: “engkau akan menang dan beruntung”, sedangkan
arti sebenarnya adalah: “engkau menjadi sulit, dan tanganmu penuh dengan
debu”.
(82) Artinya orang yang dinasabkan kepadanya baik
sebagai nasab sesungguhnya atau karena melalui rodlo’ah (penyusuan), seperti
anak perempuannya, atau saudara perempuannya dan sebagainya.
(83) Perhatikan CK. No: 19 dan 23.
(84) Seperti saudaranya atau anak laki-laki
pamannya.
(85) Seperti ayahnya atau pamannya.
(86) Berdasarkan firman A;lla Ta’alaa: “Dan pergaulilah
kedua orang tuamu di dunia ini dengan baik”, (Lukman: 15), memberikan nafkah
kepada keduanya dengan baik pula. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang
paling baik untuk dimakan oleh seorang lelaki adalah dar hasil karjanya
sendiri, dan anak-anaknya dari dari hasil kerjanya sendiri”, diriwayatkan oleh
Abu dawud (3528), dan at tirmidzy (1358), dan lainnya, dari A’isayah ra. Dan dari Abu dawud (3530): “Engkau dan
hartamu adalah milik orang tuamu, sesungguhnya anak-anak kamu adalah dari hasil
kerjamu yang terbaik, makanlah dari hasil karya anakmu”. Dan hadits riwayat an
Nasaie (V/61), dari Thoriq al Muharibie ra. ia berkata: Saya tiba di Madinah,
ketika itu Rasulullah saw. sedang berdiri di atas mimbar untuk ebrkhotbah
kepada manusia, beliau bersabda: “Tangan pemberi yang di tinggi, dan utamakan
orang ayng terdekat, ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu,
lalu yang dekat padamu, dan ayng dekat denganmu”, artinay: kerabatmu. Hadits
riwayat Abu Dawud (1540), dari Kulaib bin Manfa’ah dari kakeknya ra. bahwasanya
dia datang kepaad Nabi saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, siapakah orang di
amna aku harus berbuat paling baik? Belaiu menajwab: “Ibumu dan ayahmu, saudara
perempuanmu dan saudara laki-lakimu, budakmua yang mengurusi urusanmu, suatu
hak dan kewajiban dan kasih sayang yang tak terputus”.
(87) Allah berfirman: “Dan para
ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian
dengan cara yang baik”. (al Baqoroh: 233). Dan firman Allah Ta’alaa: “Dan jika
mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”.
(at tholaq: 6). Dua ayat tersebut memjelaskan bahwa ayah wajib memberi nafkah
kepada wanita yang menyusui anaknya, dan ini sabagai adlil bahwa kewajiban
memberikan nafkah kepada anak lebih penting. Hadits riwayat al Bukhary (5049),
dan Muslim (1714), dari A’isyah ra. bahwasanya Hindun binti Utbah berkata:
Wahai Rasulullah, bahwa Abu Sufyan seorang lelaki yang kikir, dia tidak pernah
memberi belanja kepadaku yang dapat mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku,
kecuali saya harus mengambil dari padanya tanpa dia ketahui, maka beliau
bersabda: “Ambillah secukup kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang baik”,
artinya: sebagaimana yang diketahui manusia dan dengan nafkah yang sesuai
dengan kamu, dengan menyesuaikan kondisi suami tidak boros dan kikir.
(88) Hadits riwayat Muslim (1662), dari Abi
Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Bagi budak mempunyai ahk
untuk mendapatkan makanan dan pakaian, dan tidak dibebani pekerjaan, kecuali
seuai dengan kekuatannya”. Hadits riwayat al Bukahry (30), dan Muslim (1661),
dari Abi Dzar ra., Rasulullah saw. bersabda: “Saudaramu, pamanmu, yang
ditakdirkan oleh Allah berada di abwah
atnganmu, barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya, hendaklah
memberinya makan sama dengan apa yang ia makan, dan memberinya pakaian seperti
yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka pekerjaan yang membuat dia lemah
dan tidak kuat, apabila kamu membebani tugas berat, hendaklah pastikan bahwa
mereka mampu”. Hadits riwayat al Bukahry (3295), dan Muslim 2242), dari Ibnu
Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Disiksa seorang wanita
disebabkan oleh seekor kucing, dia mengurungnya sampai mati, maka dia akan
diamsukkan ke dalam neraka, dia tidak memberinya makan dan minuman, ketika dia
mengurungnya, dan tidak juga membiarkan dia memakan seranga bumi”. Ini
menunjukkan atas wajibnya memberi nafkah kepada hewan yang dikurung, termasuk
bila memberi pekerjaan budak mereka itu sibuk untuk melakukan demi kabaikan
tuannya.
(89) Firman Allah ta’alaa: “Kaum lelaki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena kaum lelaki telah
menafkahkan harta mereka”. (an Nisak: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa suami
dituntut untuk memberi nafkah isteri. Dalam hadits Jabir ra. yang diriwayatkan
oleh Msulim (1218): “Takutlah kepada Allah tentang wanita, sesungguhnya kamu
mengambilnya berdasarkan amanat dair Allah, dan dihalalkan bagimu farjinya
dengan kalimat Allah, hak kamu terhadap mereka agar tidak akan ditiduri tempat
tidur kamu oleh lelaki yang kamu benci, apabila isteri berbuat demikian, maak
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti pisik, dan kewajiban kamu
untuk meberi rizki mereka dan pakaian mereka dengan cara yang baik, dan saya
telah meninggalkan untuk kamu sesuatu yang kamu tidak akan sesat sesudahnya
apabila kamu berpegang teguh dengannya: yakni Kitabullah”. Di natra perbuatan
yang baik adalah memberikan makanan yang dimakan oleh masyarakat yang sebanding
dengannya dari penduduk setempat, dam memberi pakaian yang biasa diapkai oleh
masyarakat setempat. Perhatikan CK. No: 87.
_90) Artinya bahan makanan yang biasa dikonsumsi
oleh masyarakat setempat.
(91) Firman Allah Ta’alaa: “Hendaklah orang yang
mampu meberikan nafkah menurut kemapuannya. Dan orang ayng disempitkan rizkinya
hendaklah memberi nafkah dengan ahrta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepaadnya. Kelak Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
(at Tholaq: 7). Hadits riwayat Abu Dawud (2144), dari Mu’awiyah al Qusyairie
ra. ia berkata: Saya datang menghadap Rasulullah saw. dan saya menyampaikan apa
ayng dikatakan oleh isteri-isteri kami, beliau bersabda: “Berilah makanan dari
apa yang kamu makan, dan berilah pakaian dari apa yang kamu pakai, janganlah
kamu memukulnya dan janganlah kamu menjelek-jelekkannya”. Ini untuk diketahui
kejadian besar dalam hal batasan-batasan nafkah sesuai dengan zaman, tempat,
dan kondisi, dan kesemuanya ini bila suami tidak dalam keadaan miskin dan
isteri amkan bersamanya, apabila demikian (suami miskin) maka gugurlah
kewajiban memberi nafkah, perhatikan CK. No: 87 dan 90.
(92) Apabila ia memintanya demikian, sesungguhnya
terhapa keluarga harus berbuat dengan baik.
(93) Hadits riwayat ad Daroquthny (III/297), dari
Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda: tentang suami yang tidak
memiliki kemampuan memberi nafkah kepada siterinya: “Diceraikan antara
keduanya”.
(94) Hadits riwayat Abu Dawud (2276) dan lainnya,
dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ra., bahwasanya Rasulullah
saw. didatangi oleh seorang wanita lalu ia berkata: Wahai Rasulullah,
Sesungguhnya anaku ini, perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber
minumannya, kamar tidurku yang melindunginya, dan sesungguhnya ayahnya telah
menceraikanku, dan dia bermaksud untuk mencabutnya dari asuhanku. Maka
Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya, selama
engkau belum menikah kembali”.
(95) Hadits riwayat at Tirmidzy (1357), dan
lainnya, dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw. memberikan hak pilih kepada
seorang anak antara ayah atau ibunya. Dan di dalam satu riwayat Abu Dawud
(2277) dan lainnya, bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullh saw. dan
berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku ingin pergi bersama anakku,
sungguh dia telah memberi minum kepadaku dari sumur Abi Inabah, dan telah
memberikan manfaat kepadaku. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Undilah antara
kamu berdua terhadap dia”. Maka suaminya berkata: Siapakah yang memberikan hak
padaku terhadap anakku? Maka Nabi saw. bersabda: “Ini ayahmu, dan ini ibumu,
maka peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki (pilih)”. Maka anak tersebut
memegang tangan ibunya, maka ibunya meninggalkan tempat dengan anaknya. Yang
dimaksud dengan sumur Abi Inabah adalah: suatu sumur tertentu, jelasnya di tempat
yang jauh. Maksudnya adalah: bahwa anaknya sudah besar, sudah bisa mandiri dan
memberikan manfaat bagi ibunya, setelah dididik sejak kecil.
(96) Bahw orang yang mengasuh harus muslim, bila
yang diasuh muslim.
(97) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Selama
belum menikah lagi”, perhatikan CK. No: 94.