KITAB AL FAROIDL (PEMBAGIAN HARTA WARIS) DAN
WASIYAT
Ahli waris golongan laki-laki ada sepuluh orang: (1)
anak lelaki, (2) anak lelaki dari anak lelaki
(cucu laki-laki) sampai ke bawah, (3) ayah, (4) kakek sampai ke atas,
(5) saudara lelaki, (6) anak laki-laki dari saudara lelaki sampai yang jauh,(1) (7) paman, (8) anak laki-laki paman
sampai yang jauh, (9) suami, dan (10) maulal mu’tiq (tuan yang
memerdekakan dirinya dari perbudakan).
Ahli waris dari golongan wanaita ada tujuh golongan:
(1) anak perempuan, (2) anak perempuan dari anak laki-laki, (3) ibu, (4) nenek,
(5) saudara perempuan, (6) isteri, dan (7) maulaatul mu’tiqah (wanita
yang telah memerdekakan dirinya dari perbudakan).
Ahli waris yang tidak gugur haknya dalam keadaan
apapun ada lima orang: dua suami isteri,
dua orang tua, dan anak kandung.(2)
Orang yang tidak berhak menerima waris karena
sesuatu sebab ada tujuh; budak, mudabbar,(3)
ummul walad,(4) mukatab,(5) pembunuh,(6)
murtad, berbeda agama agama.(7).
Ashobah yang paling dekat:(8)
sampai yang jauh: anak laki-laki, lalu anaknya, lalu ayah, lalu ayahnya ayah (kakek),
lalu saudara seibu bapak, lalu saudara sebapak, lalu anak saudara seibu bapak,
lalu anak saudara sebapak, lalu paman sesuai dengan tertib di atas, lalu
anaknya, apabila sudah tidak ada ashobah, maka maulal mu’tiq (tuan
yang memerdekakannya).
(Fasal): Hak pembagian waris sebagaimana yang
dijelaskan dala Kitabullah Ta’alaa ada enam kategori:(9)
seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.
Adapun yang mendapatkan seperdua harta warisan ada
lima orang: anak perempuan,(10) anak
perempuan anak laki-laki,(11)
saudara perempuan seibu seayah, saudara perempuan seayah,(12) suami, apabila tidak bersama-sama
dengan anak.(13)
Yang mendapatkan seperempat ada dua golongan:
suami bersama anak, atau anaknya anak laki-laki, dan isteri satu atau lebih
tanpa anak, atau anak dari anak laki-laki.(14)
Yang mendapatkan seperdelapan adalah isteri satu
atau lebih dengan adanya anak atau anak dari anak laki-laki.(15)
Dua pertiga adalah bagin dari empat golongan: dua
anak perempuan atau dua anak perempuan dari anak laki-laki,(16) dua orang saudara perempuan seibu
sebapak, atau dua saudara perempuan sebapak saja.(17)
Sepertiga adalah bagian dari dua golongan: ibu
apabila tidak mahjub (tertutup),(18) dua
orang atau lebih saudara perempuan seibu.(19)
Seperenam adalah bagian dari tujuh golongan: ibu
bersama dengan anak atau anak dari anak
laki-laki, atau dua orang atau lebih saudara perempuan,(20) bagian nenek apabila tidak ada ibu,(21) untuk anak perempuan anak laki-laki
bersama dengan anak kandung perempuan,(22)
untuk saudara perempuan seayah bersama dengan saudara perempuan seayah seibu,(23) untuk ayah bersama anak atau bersama
anaknya anak laki-laki,(24)
untuk kakek apabila tidak ada ayah,(25)
untuk seorang anak dari ibu.(26)
Hak menerima harta waris nenek menjadi gugur
karena ada ibu, begitu pula hak kakek menjadi gugur sebab ada ayah.(27) Anak ibu menjadi gugur haknya bila
bersama dengan empat golongan: anak, anak dari anak laki-laki, ayah, dan kakek.(28) Gugur hak saudara seayah seibu
dengan adanya tiga: anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, dan
ayah. Gugur hak saudara seayah karena adanya tiga orang di atas dan adanya
sudara seayah seibu.(29)
Ada empat golongan yang mengangkat saudaranya
menjadi ashobah: anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, saudara
laki-laki seayah seibu, dan saudara laki-laki seayah.(30)
Ada empat orang yang berhak menerima waris, tetapi
tidak untuk saudara perempuannya, mereka itu adalah: paman, anak laki-laki dari
paman, anak laki-laki saudara, dan ashobah karena sebagai maulal mu’tiq (tuan
yang memerdekakan).(31)
(Fasal): Diperbolehkan di dalam Islam untuk
berwasiyat,(32) baik berupa benda
yang diketahui atau tidak diketahui,(33)
sudah ada barangnya atau belum ada.(34)
Wasiyat itu hanya boleh sepertiga harta,(35)
apabila wasiyat tersebut melebihi dari sepertiga, maka harus mendapatkan izin
terlebih dahulu dari ahli waris,(36) dan
tidak diperbolehkan berwasiyat kepada ahli waris, kecuali setelah mendapatkan
izin dari ahli waris yang lain.(37)
Hukumnya shah wasiyat yang dilakukan oleh orang
yang sudah baligh dan berakal sehat, pemilih harta, dan untuk sabilillah
Ta’alaa.
Hukumnya shah wasiyat(38) kepada orang yang memiliki lima hal:
Islam, sudah baligh, berakal sehat, merdeka, dan amanah (dapat dipercaya).
(1) Yang jauh, seperti anak laki-laki dari anak
laki-lakinya saudara laki-laki.
(2) Anak kandung baik laki-laki atau wanita.
(3) Budak yang diberi janji oleh tuannya menjadi merdeka setelah tuannya
maninggal dunia.
(4) Budak wanita yang disetubuhi tuannya dan hamil
mengandung anak tuannya.
(5) Budak yang sudah mengadakan perjanjian dengan
taunnya untuk memerdekakan dirinya dengan cara mengangsur, dan setelah dia
lunas membayar angsurannya, maka menjdai merdeka, dia tidak berhak menerima
waris begitu pula orang sebelumnya, karena pada dasarnya tidak memiliki hak kepemilikan harta.
(6) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Pembunuh
tidak berhak emwarisi harta yang dibunuh”, diriwayatkan oleh at Tirmidzy
(2110).
(7) Artinya antara muslim dan kafir, berdasarkan
hadits riwayat al Bukahry (6383), dan Muslim (1614), dari Usamah bin Zaid ra.,
bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Orang Islam tidak berhak mewarisi harta orang kafir,
dan orang akfir tidak berhak mewarisi ahrta orang Islam”, murtad sama dengan kafir.
(8) Ashobah adalah ahli waris yang mewarisi
seluruh sisa dari harta, sesudah diambil oleh ahli waris yang berhak menerima
waris sesuai dengan kadar bagian masing-masing. Hadits riwayat al Bukahry (6351)
dan Muslim (1615), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Sampaikan harta warisan kepada yang berhak, sisanya adalah bagi ahli waris
lelaki (ashobah)”.
(9) Dijelaskan dalam ayat: 11, 12 dan 176 surat an
Nisak, dan akan dijelaskan pada saatnya.
(10) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Apabila dia
sendirian, maka baginya separoh harta warisan”. (an Nisak:11)
(11) Diqiyaskan kepada anak perempuan, berdasarkan
kesepakatan ulama.
(12) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Apabila
seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak laki-laki, dan dia
mempunyai saudara perempuan, maka baginya mendapatkan separoh harta
peninggalannya”. (an Nisak: 176). Yang dimaksudkan adalah saudara perempuan
seayah seibu, atau saudara perempuan seayah saja.
(13) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Bagi kamu
(suami) separoh dari yang ditnggalkan oleh isterimu, apabila dia tidak
mempunyai anak”. (an Nisak: 12).
(14) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Apabila ia mempunyai
anak, maka bagiamu seperempat dari harta peninggalannya, sesudah diselesaikan
wasiyatnya, atau hutangnya, dan bagi isteri mendapatkan seperempat apabila kamu
tidak meninggalkan anak”. (an Nisak: 12).
(15) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Apabila
kamu punya anak, maka bagian isteri seperdelapan dari harta peninggalanmu” (an
Nisak: 12).
(16) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Allah
mensyari’atkan begimu tentang pembagian pusaka anak-anakmu, yaitu: bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta
peninggalanmu” (an Nisak:11).
(17) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan jika
tidak mempunyai anak tetapi mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi
keduanya mendapatkan dua pertiga dari harta peninggalanmu. (an nisak:176).
(18) Apabila tertutup, maka bagiannya hanya
seperenam, sebagaimana yang akan dijelaskan, firman Allah Ta’alaa: “Apabila
tidak mempunyai anak, maka bgaian orang tuanya, untuk ibu sepertiga. (an Nisak:
12).
(19) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Apabila
saudara seibu lebih dari seorang, maka bagian bagian mereka bersekutu adalah
sepertiga” (an Nisak: 12).
(20) Allah berfirman: “Dan untuk dua orang ibu
bapak, masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal mempunyai anak” (an Niasak: 11). Allah berfirman: “Jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara , maka bagi ibunya seperenam” (an
Nisak: 11).
(21) Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2895),
dari Buraidah ra., bahwasanya Nabi saw. menetapkan bagian nenek seperenam,
apabila tidak ada ibu.
(22) Berdasarkan keputusan Rasulullah saw. demikian
itu, sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhary (6355) dari Ibnu Mas’ud ra.
(23) Diqiyaskan kepada anak peremuan anak laki-laki
bersama anak perempuan.
(24) Perhatikan CK. No:20.
(25) Diqiyaskan kepada ayah, berdasarkan ijmak
ulama’.
(26) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Jika
seseorang mati , baik laki-laki atau wanita yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mepunyai seorang saudara laki-laki seibu, atau
seorang saudara perempuan seibu, maka masing-masing dari keduanya mendapatkan
seperenam” (an Nisak: 12). Kalaalah: adalah orang yang tidak memiliki
ahli waris, dan tidak ada ahli waris yang mewarisi hartanya, atau tidak
memiliki ahli waris yang aseli.
(27) Karena dia adalah orang yang lebih dekat
kepada mayit dengan perantara, maka menjadi tertutup dengan sebab adanya
perantara.
(28) Oleh karena hak warisnya atas dasar kalalah,
yakni sebutan bagi orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris yang aseli,
dan tidak pula mempunyai ahli waris dari cabang, sebagaiama yang telah kiat
ketahui, maka dia tidak mendapatkan warisan ketika adanya ahli waris yang aseli
atau cabangnya.
(29) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Adapun
sisanya adalah hak bagi lelaki (ashobah) yang peling prioritas (dekat).
Perhatikan CK. No: 27.
(30) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa; “Allah
mensyari’atkan bagimu tentang pembagian harta wris untuk anak-anakmu, yaitu:
bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagia dua anak perempuan”. (an
Nisak: 11). Dan firman Allah Ta’alaa: “Dan jika mereka ahli waris yang terdiri
dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sama dengan bahagian dua orang saudara permpuan”. (an Nisak: 176).
(31) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Untuk kaum
lelaki yang terdekat”, oleh karena wanita menjadi ashobah sebab mendapatkan
pertolongan, dan wanita tidak berhak menolong.
(32) Dasar diperbolehkannya adalah firman Allah
Ta’alaa: “Sesudah terpenuhinya wasiyat yang ia buat atau sesudah dibayar
hutang-hutangnya”, (an Nisak: 11). Dan banyak hadits, antara lain: hadits
riwayat al Bukhary (2587) dan Muslim (1627), dari Ibnu Umar ra., bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada hak seseorang muslim yang diwasiyatkan,
yang sudah berlangusng selama dua malam, kecuali wasiyat itu sesuatu yang wajib
dipenuhinya”. Artinya sesuatu yang patut bagi orang Islam, untuk bersikap
hati-hati, hendaknya segera dicatat wasiyat tersebut, dan dilaksanakan kalau
bisa pada saat masih dalam keadaan sehat.
(33) Misalnya orang berwasiyat dengan obyek
sepotong baju yang tidak ditentukan.
(34) Misalnya berwasiyat dengan obyek buah-buahan
yang akan dihasilkan dari sebatang pohon.
(35) Berdasarkan hadits riwayat al Bukhary (2591)
dan Muslim (1628), dari Sa’ad bin Abi Waqosh ra. ia berkata: Nabi saw,
menjenguk saya, lalu saya bertanya: Apakah boleh saya berwasiyat semua hartaku?
Beliau menajwab: Tidak. Saya bertanya lagi: Kalau seperduanya? Beliau menajwab:
Tidak. Saya bertanya lagi: Kalau
sepertiga? Beliau menjawab: “Ya, sepertiga sudah banyak”.
(36) Artinya harus disepakati oleh mereka, karena
hak mereka tergantung kepada kelebihan dari sepertiga itu.
(37) Hadits riwayat Abu Dawud (2870), dan at
Tirmidzy (2121), dinyatakan hadits hasan shohih, dan lainnya, dari Abi Umamah
ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah
telah memberikan kepada pemilik hak akan haknya, maka dari itu janganlah
berwasiyat kepada ahli waris”. Fan hadits riwayat ad Daroquthnie (IV/152) dari
Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak diperbolehkan
berwasiyat untuk ahli waris, kecuali bila dikehendaki oleh ahli waris lainnya”.
(38) Berwasiyat untuk mengelola suatu harta, serta
bimbingan terhadap anak-anak dan sebagainya.