Rabu, 23 Desember 2015

KITAB AL AQDLIYAH WAS SYAHADAAT ( At-Tadzhib Fi Adillati Matni Ghayah Wa Taqrib )

KITAB AL AQDLIYAH WAS SYAHADAAT

(PERDILAN DAN PERSAKSIAN)(1)


Tidak diperbolehkan memegang kekuasaan peradilan,(2) kecuali bagi orang yang  dirinya memiliki lima belas macam syarat: Islam,(3) sudah balgh, berakal sehat, merdeka,(4) laki-laki,(5) adil,(6) mengetahui hukum-hukum dari al Qur’an dan hadits,(7) mengetahui hukum-hukum hasil ijmak (kesepakatan ummat),(8) mengetahui perbedaan ulama di kalangan ummat islam,(9) mengetahui jalan atau prosedur berijtihad yang benar,(10) mengetahui atau menguasai seluk beluk bahasa Arab,(11) mengetahui tafsir Kitabulllah Ta’alaa,(12) hakim itu harus baik pendengarannya, baik penglihatannya, dan mampu baca tulis, dan dalam keadaan sadar (jaga).(13)

Disunnatkan hakim duduk (bedomicili) di tengah kota, di tempat yang tampak dan mudah diketahui banyak orang(14) dan tidak terdinding (terhalang) oleh sesuatu.(15) Dan ketika melaksanakan tugas peradilan hakim tidak duduk di dalam masjid.(16)

Bersikap sama terhadap dua pihak yang berperkara dalam tiga hal: tempat duduk, ungkapan bertutur bahasa, dan perhatian.(17)

Tidak diperbolehkan menerima hadiah dari pihak yang ada hubungannya dengan tugasnya.(18)

Hakim pada saat mengadili hendaknya menjauhi sepuluh hal: ketika sedang marah, lapar, haus, ketika timbul syahwat yang kuat,(19) suasana sedih, gembira yang melampaui batas, keadaan sakit, pada saat menahan dua hadats (kebelet),(20) sedang ngantuk, kondisi udara sangat panas atau sangat dingin.(21)

Tidak diperbolehkan bertanya kepada tertuduh sebelum sempurnanya tuduhan,(22) dan tidak boleh menyumpahnya sebelum ada permintaan dari penuduh.(23) Dan tidak boleh mendektekan suatu alasan (argumentasi) kepada salah satu pihak berperkara, atau memberikan pemahaman suatu kalimat.(24) Dan tidak boleh mempersulit para saksi. (25)

Tidak diterima persaksian seseorang keculai dia benar-benar adil,(26) tidak dapat diterima kesaksian musuh terhadap lawannya, dan tidak dapat diterima   pula persaksian orang tua terhadap anaknya, atau anak terhadap orang tuanya.(27)

Tidak dapat diterima surat dari seorang hakim kepada hakim lainnya dalam hal ketetapan hukum, kecuali sesudah disaksikan oleh dua orang saksi apa isi dalam surat tersebut.(28)

(Fasal): Untuk petugas pembagi(29) diperlukan memiliki tujuh macam syarat: Islam, sudah baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, adil, dan pandai berhitung.(30) Apabila masing-masing pihak saling rela terhadap orang yang akan diberi hak membagi, maka tidak diperlukan persyaratan tersebut.(31)
Apabila di dalam pembagian tersebut diperlukan adanya penaksiran harga, maka tidak boleh kurang dari dua orang petugas penaksir.(32)
Apabila salah seorang anggota persekutuan meminta bagiannya dengan tanpa menimbulkan kesulitan,(33) maka pihak yang lain wajib mengabulkannya.(34)

(Fasal): Apabila bersama penuduh ada bayyinah (saksi),(35) maka hakim wajib mengdengarnya dan menetapkan hukum berdasarkan keterangan saksi, apabila tidak memiliki saksi, maka hak bebicara diberikan kepada tertuduh disertai dengan sumpah, apabila tertuduh tidak berani bersumpah, maka dikembalikan kepada penuduh, dan apabila penuduh berani bersumpah, maka penuduh berhak atas tuntutannya.(36)

(Fasal): Apabila ada dua orang sama-sama mengakui satu benda adalah miliknya, sedang benda tersebut berada pada salah satu pihak yang berebut, maka yang dimenangkan adalah pengakuan pihak shohibul yad (pemegang benda), disertai dengan sumpah.(37) Apabila benda itu berada di tangan kedua belah pihak, maka kedua belah pihak diminta untuk bersumpah.(38)

Barang siapa yang bersumpah atas perbuatannya sendiri, berarti dia bersumpah dengan pasti,(39) dan barang siapa yang bersumpah atas perbuatan orang lain: apabila benar-benar terjadi, maka sumpahnya   harus dengan pasti,(40) apabila tidak terjadi, maka sumpah harus menyatakan bahwa dia tidak tahu.(41)

(Fasal): Tidak dapat diterima saksi, kecuali orang yang memenuhi lima macam syarat: Islam, sudah baligh, berakal sehat, merdeka, dan adil.(42)
Adil itu ada lima macam syarat: senantiasa menjauhi dosa besar, tidak membiasakan berbuat dosa kecil walaupn sedikit, hatinya selamat, tetap terpercaya walaupun sedang marah, dan menjaga keperwiraan atau sikap kesatria.(43)

(Fasal): Hak itu ada dua macam: (a) hak Allah Ta’alaa, dan (b) hak adamie (sesama manusia). Adapun hak adamie ada tiga kategori:
Pertama: Tidak dapat diterima di dalamnya, kacuali dengan dua orang saksi laki-laki semua, yakni hak yang tidak berkaitan dengan harta, dan diketahui oleh kaumm lelaki.(44)
Kedua: Dapat diterima dengan dua orang saksi laki-laki, atau seorang saksi laki-laki dan dua orang wanita, atau seorang saksi laki-laki dengan dperkuat oleh sumpah dari penuduh, yakni dalam perkara yang bersangkut paut dengan harta.(45)
Ketiga: Dapat diterima dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang wanita, atau empat orang wanita, yakni dalam urusan yang tidak diketahui oleh kaum lelaki.(46)
Adapun hak Allah Ta’alaa, maka tidak dapat diterima persaksian wanita,(47) dalam hal ini ada tiga kategori:
Pertama: Tidak dapat diterima persaksian kurang dari empat orang laki-laki, yakni dalam urusan perzinaan.(48)
Kedua: Dapat diterima dengan dua orang saksi, yakni had (hukuman) selain perzinaan.(49)
Ketiga: Dapat diterima satu orang saksi saja, yakni tentang hilal  (bulan sabit) awal bulan Romadlon.(50)

Tidak dapat diterima persaksian seorang buta, kecuali dalam lima hal: kematian, nasab (keturunan), kepemilikan secara mutlak,(51) terjemahan dalam bahasa,(52) dan apa yang disaksikan sebelum dia buta,(53) dan yang sudah dihafalkannya (dipegangnya).(54)

Tidak dapat diterima persaksian seorang terhadap perkara yang mengharapkan memberikan manfaat pada dirinya sendiri, dan tidak pula persaksian orang yang berusaha menolak bahaya (kesulitan).(55)
  


(1)  Kata:  "الأقضية" adalah  jamak (plural) dari kata:  "قضاء" yang menurut bahasa artinya bermacam-macam, antara lain: “hukum”. Allah Ta’alaa berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar supaya kamu tidak menyembah kepada selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak”, (al Isrok: 23), artinya Allah menetapkan hukum. Arti menurut syara’: Menyelesaikan perkera antara dua pihak yang berselisih atau lebih dengan hukum Allah Ta’alaa. Banyak ayat al Qur’an, di antaranya firman Allah Ta’alaa: “Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, maka hendaklah kamu menetaknannya dengan adil”, (an Niasak: 58), dan firman Allah Ta’alaa: “Dan hendaklah memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”, (al Maidah: 49). Banyak   hadits di antaranya hadits riwayat Abu Dawud (3582), dan lainnya, dari Ali ra. ia berkata: Rasulullah saw. mengutus saya ke Yaman untuk menjadi qodlie (hakim), maka saya berkata: Wahai Rasulullah, tuan menyruruh saya, sedangkan saya masih muda usia – menurut      riwayat al Hakim (IV/93): Tuan menyuruh saya kepada suatu kaum yang sudah cukup usia, sedangkan saya masih muda belia – tidak ada ilmu pada saya untuk memutuskan hukum?. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah akan memberikan petunjuk hatimu, dan memberikan kekuatan pada lisanmu”. Ia berkata: Saya terus menjadi qodlie, atau saya tidak argu menjadi qodie untuk selanjutnya. Kata:  "الشهادات" bentuk jamak (plural) dari kata:  "شهادة" (saksi) dari kata:  "المشاهدة" (menyaksikan), yakni mengungkapkan sesuatu secara jelas, yakni pemberitahuan tentang apa yang hal-hal disaksikan, atau memberitahukan menggunakan lafadh tertentu. Arti menurut  syara’: Pemberitahuan untuk memperkuat kebenaran pihak lain atas yang lain dengan lafadh tertentu. Dasr disyari’atkannya persaksian adalah ayat-ayat al Qur’an, antara lain firman Allah Ta’alaa; “Hendaklah kamu menjadi orang yang selalau menegakkan kebenaran karena Allah”, al Maidah: 8), dan firman Allah Ta’alaa: “Dan janganlah kamu menyembunyikan persaksian” (al baqoroh:283). Dan banyak hadits, akan dijelaskan pada tempatnya nanti.
(2)  Artinya tidak shah pengusaannya, dan tidak berhak Sultan (raja) memegang kekuasaan peradilan, dan berdosa menerima kekuasaan peradilan tersebut.
(3)  Tidak shah penguasan peradilan oleh orang kafir di negeri Islam, walaupn untuk mengdili orang perkara antara orang kafir. Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir memusnahkan orang-orang beriman”, (an Nisak: 141). Tidak memberi jalan lebih besar dibandingkan dengan memberikan hak perdilan terhadap ummat Islam, atau di negeri Islam.
(4)  Karena merupakan suatu kekurangan bagi orang yang kehilangan salah satu dari sifat-sifat ini.
(5)  Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Tidak akan mendapatkan kemenangan suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum wanita”, diriwyatkan oleh al Bukhary (4163), dari Abu Bakroh, ra.
(6)  Oleh karena tidak kuat dengan perkataan (keputusan) orang yang tidak adil, dan negara tidak akan aman dari kesewenang-wenangan (kedholiman).
(7)  Hukum-hukum yang sudah tetap (baku) dari al Qur’an dan hadits Nabi saw., tahu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat yang mansukh, mengetahui hukum-hukum kemasyarakatan dari al Qur’an dan hadits dengan jalan mengisthinbathkan hukum (mengambil kesimpulan hukum) furu’iyah (fiqih), sebagaimana kemampuannya untuk memilih di antara dalil-dalil hukum apabila terjadi saling bertentangan.
(8)  Hukum yang sudah disepakati , sehingga tidak akan terjadi perbedan dalam pengambilan keputusan hukum. Ijmak menurut istilah ahli fiqih dan ahli ushul (tauhid) adalah kesepakatan seluruh mujtahid ummah (ahli ijtihad) pada suatu zaman tertentu, terhadap satu hukum syara’, yang terjadi dan tidak ditetapkan hukumnya oleh al Qur’an dan Hadits. Apabila dihasilkan suatu kesepakatan mujtahid, maka hukum dimaksud menjadi hukum yang disepakati secara syar’ie dan berlaku tetap, dan tidak boleh seorangpun dari ummat Islam untuk menentangnya, termasuk para mujtahid berikutnya sampai mujtahid modern nanti, sehingga akan menetukan hukum baru berdasarkan ijtihad mereka.
(9)  Hal yang terjadi pada zaman sahabat, atau sesudah sahabat dari kalangan Tabiian dan para tokoh mujtahid, tentang permasalahan yang mereka putuskan hukumnya, agar lebih arif dalam hal mengambil keputusan hukum atas masalah yang dihadapinya.
(10)  Atau jalan untuk beristhinbath hukum berdasarkan dalil-dalilnya, dan tatacara mengambil atau memilih dasar-dasar hukum yang ada.
(11)  Memahami bahasa Arab, asal-usual lafadhnya, tashrifnya, I’robnya, oleh karena bahasa Arab adalah bahasa Syari’ah Islam dari al Qur’an dan Hadits.
(12)  Dasar dari enam sayarat di atas adalah hadits riwayat Abu Dawud (3573), dan lainnya, dari Buraidah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Qodlie (hakim) itu ada tiga kategori: satu yang masuk surga dan dua masuk neraka. Adapun hakim ayng masuk surga adalah seorang  hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengan kebenaran itu. Sedangkan seorang yang tahu kebenaran tetapi dalam memutuskan perkara dengan melanggar hukum, maka dia itu amsuk neraka, dan seorang yang menghakimi manusia atas kebodohannya, maka dia masuk neraka”,. Pengertian atas kebodohannya: dia tidak memiliki alat yang dapat mengantarkan dia untuk mengambil keputusan  dengan benar yang diridloi oleh Allah Azza wa Jalla. Di dalam kitab al Iqnak ia menyatakan: Hakim yang hukumnya berlaku adalah hakim pertama, sedangkan hakim kedua dan ketiga tidak dapat dipegang keputusan hukumnya. Hadits riwayat al Bukhary (6919), dan Muslim (1716), dari Abdullah bin Amru ibnul Ash ra. , bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila hakim mengadilil suatu perkara dia berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Apabila mengadili perkara dan berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka dia mendapatkan satu pahala”. Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan diri untuk mengetahui tentang ketetapan hukum, serta mengetahui kebenaran di dalamnya. Hal ini menunjukan bahwa seorang hakim yang mengadili antara manusia dan dan ketetapan hukumnya harus merupakan hasil dari kemampuannya berijtihad dan tidak terkumpul kemampuan berijtihad keculai memiliki semua syarat ini. An Nawawie rohimahullah menyatakan di dalam Syarah Muslim (XII/13): Ulama berpendapat, bahwa ummat Islam telah sepakat bahwa hadits ini membahas tentang hakim yang berilmu dan ahli di bidang peradilan, apabila keputusannya benar, maka dia  mendapat dua pahala, satu pahala ijtihadnya dan satu pahala dari kebenaran keputusannya, apabila salah maka dia mendapat satu pahal dari ijtihadnya. Adapun orang yang tidak tidak ahli di bidang hukum, maka tidak halal abginya menjadi hakim, apabila dia menetapkan hukum, maka tidak mendapatkan pahala, bahkan dia berdosa, dan keputusan hukumnya tidak dapat diberlakukan, apakah keputusannya bertepatan dengan kebenaran atau tidak, oleh karena kebenarannya hanya sekedar kebetulan saja – bukan disengaja – tidak berdasarkan kepada dasar hukum syara’, berarti dia bermaksiyat di semua keputusan hukumnya, baik benar atau salah, hasilnya tertolak keseluruhannya, tanpa alasan apapun juga. Telah terdapat dalam hadits: “Hakim itu adatiga kategori ……”, kemudian kita hubungkan dengan hadits Abu Dawud di muka.
(13)  Tidak lupa, sehingga tidak mudah tertipu, ini syarat apabila terdapat cacat dalam bidang pemimikiran dan pendapat, bila rtidak demikian, maka hukumnya sunnat. Dipersyaratkannya baik pendengaran, agar mampu membedakan antara ikrar (pengakuan) dan inkar (penolakan). Baik penglihatan, agar mampu membedakan antara lawan dengan saksi, dan membedakan antara penuntut dengan yang dituntut, oleh karena orang yang buta tidak mampu mebedakan antara keduanya, kecuali hanya melalui suara, yang kadang-kadang hampir sama. Yang paling benar bahwa kemampuan menulis bukanlah sebagai syarat, kecuali apabila tidak didapati pada persidangan itu juru tulis (panitera) yang mampu untuk melakukan tugas itu.
(14)  Memungkinkan diketahui secara mudah, baik bagi penduduk aseli atau orang asing.
(15)  Misalnya penjaga pintu dan sebagainya, yang menghalangi orang karenanya, ketika hakim sedang duduk  untuk mengadili perkara, dan menghalangi orang yang akan masuk/menuju kepadanya. Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2948), dan at Tirmidzy (1332), dan lainnya, dari Abi Maryam al Azdie ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang diberi kepercayaan suatu urusan ummat Islam, kemudian dia menutup kebutuhan mereka,  hajat mereka, kesusahan mereka, maka Allah akan menutup hajatnya, kebutuhannya, dan dan kesusahannya”. Hal ini apabila kondisinya tidak penuh sesah, sehingga membutuhkan pembatas untuk menertibkan urusan.
(16)  Untuk menjaga halhal yang tidak sepantasnya di masjid antara lain: terjadinya teriakan, kegaduhan serta pertengkaran, dan kadang-kadang diperlukan untuk menghadirkan ke majelis perdilan orang-orang yang tidak boleh tinggal diam di dalam masjid, misalnya orang yang sedang haid, dan orang-orang yang tidak patut masuk ke dalam masjid, misalnya anak kecil, orang gila, orang kafir dan lain-lain.
(17)   Yakni pandangan, jnganlah hakim hanya menujukan pandangannya hepada salah satu pihak  yang berperkara, atau menghadapkan wajah kepada satu [ihak lebih banyak dari pada kepada pihak ayng lain, sebagaimana halnya, bahwa dia tidak hanya mengkhususkan pembicaraan atau memberi salam hanya kepada salah satu pihak, dan semua bentuk penghormatan lainnya.  Dasar hal ini adalah hadits riwayat ad Daroquthny (IV/205), dari Ummi Salamah ra. ia berkata: Rasululah saw. bersabda: “Barang siapa yang diuji untuk mengadili di antara manusia, maka hendaklah berlaku adil antara mereka, dalam hal perhatian, isyarat, dan tempat duduk. Janganlah mengeraskan suara kepada salah satu dari dua pihak yang berperkara,  dan tidak demikian terhadap pihak lainnya.
(18)  Yakni orang-orang yang bertanggung jawab kepadanya dalam menyelesaikan permusuhanmereka, serta memutuskan hukum dalam hal pertengkaran mereka.. Dasar dari hal ini adalah hadits riwayat al Bukhary (6260), dan Muslim (1832), dari Abi Humaidie as Sa’idie ra. bahwasanya Rasulullah saw.  menugaskan seorang amil (pengumpul zakat). Kemudian amili tersebut datang  sesudah selesai melaksanakan tugasnya, dan berkata: Wahai Rasulullah, ini untuk tuan, dan ini hadiah untukku. Maka beliau bertanya kepadanya: “Apakah bila engkau duduk di rumah bapakmu dan ibumu: apakah orang tuamu memberimu hadiah atau tidak?” Lalu Rasulullah saw. berdiri pada malam hari sesudah sholat, beliau mengucapkan syahadat dan memuji kepada Allah, dengan pujian yang patut bagi Allah, lalu bersabda: “Amma ba’du: Bagaimanakah seorang amil kami tunjuk, dia datang kepada kami dan berkata: Ini hasil kerjamu, dan ini hadiah untukku, apakah bila dia duduk di rumah ayahnya dan ibunya, lalu memperhatikan: Apakah dia akan diberi hadiah atau tidak? Demi Dzat di mana diri Muhammad berada di genggaman-Nya, tidak seorangpun di antara kamu yang melakukan suatu penipuan, kecuali nanti akan datang pada  hari qiyamat membawa hasil penipuan itu pada lehernya : apabila itu berupa onta, maka dia akan datang dengannya dan dia bersuara seperti suara onta, apabila sapi, maka akan datang dengannya dan dia akan bersuara seperti suara sapi, dan apabila berupa kambing, maka akan datang dengannya dan dia akan bersuara seperti suara kambing, dan hal ini sudah saya sampaikan kepadamu”. Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangan beliau, sampai kami melihat putihnya kedua ketiak beliau. Dalam riwayat lain menurut Ahmad (V/424): “Tingkah laku para amil yang menjadi penipu”. Ini semua apabila hadiah berasal dari orang yang sedang berperkara, dan hakim mengetahui hal itu, atau berasal dari orang yang tidak biasanya memberikan hadiah sebelum dia menjadi hakim. Apabila hadiah berasal dari orang yang pada biasanya memberi dan tidak ada hubungannya dengan perkara, maka boleh diterima, selama tidak lebih dari kebiasaan jenis atau caranya. Apabila lebih, maka perlu diperhatikan: apabila hal itu akan menimbulkan dampak negatif, jangan diterima, bila tidak menimbulkan dampak negatif, maka boleh diterima.
(19)  Ingin melakukan hubungan seksual.
(20)  Menahan buang besar atau menahan buang air kecil.
(21)  Dan hal-hal lain yang mengakibatkan terganggunya stabilitas jiwa (emosi), atau jeleknya perilaku, atau hilangnya kemampuan berfikir sehat. Dasar hal ini adalah hadits riwayat al Bukhary (6739), dan Muslim (1717), dari Abi Bakroh ra. ia berkata: Saya mendengar Rasululah saw. bersabda: “Janganlah hakim mengdili dua orang yang berperkara ketika dia dalam keadaan marah”. Menurut riwayat Ibnu Majah (2316): “Hakim tidak boleh mengadili …..”. Dalam riwayat lain: “Tidak patut bagi hakim mengadili ketika …….” Marah akan membuat perobahan dalam berfikir, dan keluar dari tabiat profesionalisme dalam berfikir berijthad untuk mengetahui hukum sebenarnya. Larangan di sini menunjukan makruh, sebaba sekalipun dalam kondisi sepereti itu, keputusan hakim tetap berlaku.
(22)  Sesudah selesainya penuduh menjelaskan semua tuduhannya.
(23)  Artinya sesudah diminta oleh penuduh agar hakim menyumpah tertuduh. Oleh karena sumpah tertuduh adalah hak penuduh, maka harus melalui izin penuduh. Maka tergantung kepada izin atau pemintaan penuduh.
(24)  Sehingga orang tahu bagaimana cara untuk memperkuat dakwaan, atau memberikan jawaban, atau tahu bagaimana cara menyetujui atau menolak, karena adanya indikasi keberpihakan kepada salah satu pihak dan melawan pihak lainnya, yang demikian itu hukumnya haram.
(25)  Artinya janganlah mempersulit mereka serta menyakiti hati mereka, dan sebagainya, misalnya: mengejek, atau  menyerang pembicaraan mereka, atau menekan mereka dalam upayanya untuk mengetahui tatacara menyiapkan diri untuk menjadi saksi, padahal sebenarnya dia adalah benar serta sehat akalnya, oleh karena sikap hakim yang tidak kooperatif akibatnya mereka lari tidak mau menajdi saksi, padahal manusia sangat membutuhkan kesaksian mereka. Allah Ta’alaa berfirman: “dan janganlah saling mempersulit antara penulis (katib/panitera) dengan saksi, jika kamu lakukan yang demikian itu, maka sesungguhnya hal itu suatu kefasikan (dosa) pada dirimu sendiri”. (al Baqoroh: 282).
(26)  Keadilan yang pasti dengan pengetahauan hakim terhadap saksi, atau berdasarkan rekomendasi dua orang yang adil di dekat hakim, akan dijelaskan tenatng keadilan beserta dalilnya sesudah ini.
(27)  Adanya dugaan akan berbuat dholim terhadap musuhnya, dan karenba rasa cinta anak terhadap orang tuanya  atau sebaliknya. Dasarnya ditolaknya persaksian itu, sebab adanya dugaan tidak akan adil. Sebagaimana haits riwayat Abu Dawud (3601), dan lainnya, dari Abdullah bin Amru ibnul Ash ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh diterima kesaksian pengkhianat, dan begitu pula kesaksian pezina, dan kesaksian penipu terhadap saudaranya” Dalam satu riwayat: “Tidak dapat diterima kesaksian orang yang diduga tidak baik, dan tidak pula kesaksian kerabat”
(28)  Apabila hakim memutus perkara terhadap orang yang tidak ada di tempat (in absentia), lalu dia mengirim surat keputusan itu kepada hakim di mana terdakwa berada, untuk dilaksanakan ketetapan hukum tersebut, maka dipersyaratkan agar surat tersebut disaksikan oleh dua orang saksi, di hadapan hakim penerima surat tentang apa isi surat dimaksud.
(29)  Orang yang diberi tugas oleh hakim untuk membagi suatu benda milik bersama antara beberapa orang, serta memisahkan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dasar disayri’atkannya pembagian adalah firman Allah Ta’alaa tentang harta waris: “Apabila pada waktu pembagian waris hadir sanak kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka itu dari harta waris sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka dengan ucapan yang baik” (an Niasak: 8). Dan sabda Rasulullah saw.: “Hak syuf’ah itu terhadap harta yang belum dibagi”, perhatikan CK. no: 55 Kitab Jual beli. Dan sudah ada ketetapan dari Rasulullah saw. dalam hal membagi ghonimah kepada yang berhak, perhatikan CJ‎K. no: 12 Kitab Jihad.
(30)  Adapun enam syarat yang pertama: sebab seorang pembagi adalah memiliki kekuasaan terhadap orang yang berhak menerima bagian, oleh karena pembagian itu merupakan suatu keharusan, dan orang yang tidak memiliki secara lengkap enam persyaratan tersebut, maka tidak berhak memegang suatu kekuasaan. Adapun kemampuan berhitung, demikian pula di bidang ukur mengukur, dan semua kemampuan yang diperlukan untuk menghitung pembagian harta. Oleha karena kesemuanya itu merupakan alat (sarana) untuk pembagian, sebagaimana kemampuan di bidang hukum syar’ie sebagai sarana untuk menjabat sebagai hakim.
(31)  Atau semua persyaratan di atas, karena cukup dengan syarat sudah mukallaf, yakni: Islam, baligh, dan berakal sehat. Oleh karena dia tidak memegang kekuasaan dalam hal ini, tetapi bertindak sebagai wakil dari masing-masing pihak.
(32)  Oleh karena penaksiran tersebut merupakan perkiraan harga barang yang dibagi, diperlukan adanya saksi dalam nilai harganya, oleh karenanya diperlukan penaksir lebih dari satu orang.
(33)   Dalam hal harganya, seperti sebuah rumah besar, atau sejumlah pakaian, dan sebagainya.
(34)  Sepakat untuk membaginya, sebab dimungkinkan dengan diteruskannya persekutuan tersebut akan membuat kerugian baginya. Tetapi apabila dengan pembagian itu akan menimbulkan kerugian atau masalah), maka dia pihak kedua tidak wajib mengabulkannya. Dasar permasalahan ini adalah sabda Rasulullah saw. (Janganlah menyulitkan orang dan jangan dipersulit oleh orang”, riwayat Ibnu Majah (2340), dan Malik dalam al Muwathok: (II/745, 805).
(35)  "البينة" adalah saksi yang menyaksikan apa yang dituduhkannya, maka pernyataan saksi ahrus didengar dan diterima. Dasar masalah ini adalah banyak ahdits, antara lain: hadits riwayat al Baukahry (4277), dan Muslim (1711), lafadh Muslim, dari Ibnu abbas ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Kalau manusia dipenuhi tuntutannya, niscaya akan menuntut darah  dan harta manusia lain, tetapi sumpah adalah hak orang yang dituduh. Hadits riwayat Muslim (138), dari al Asy’ats bin Qois ra. ia berkata: Nabi saw. dengan seorang lelaki di Yaman, Saya memperkarakan dia kepada Nabi saw., maka beliau bertanya: “Apakah engkau mempunayi saksi”, saya jawab: Tidak. Beliau bersabda: “Maka minta dia bersumpah”. Dalam riwayat lain: “Dua orang saksimu ataukah sumpah dia”.
(36)  Dia berhak atas apa ia tuntut. Berdasarkan hadits riwayat al Hakim (IV/100), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw. mengembalikan sumpah kepada pihak penuntut hak. Ia menyatakan: Hadits ini shohih sanadnya.
(37)  Berpengan kepada dasar, dan  berdasarkan realitas, apabila keberadaannya di tangannya, maka bahwa benda itu miliknya, selama tidak ada saksi yang menyatakan lain, oleh karena pada dasarnya tidak mungkin benda itu berada di tangannya kecuali adanya sebab-sebab yang sah sesuai dengan syri’at.
(38)  Kata:  "تحالفا" artimya masing-masing pihak bersumpah, yang menyatakan bahwa benda itu bukan milik pihak lain tetapi miliknya. Hadits riwayat Abu dawud (3613), dan lainnya, dari Abi Musa al Asy’ary ra. bahwasanya ada dua orang laki-lakisaling berebut hak terhadap seekor onta atau hewan, kepada Nabi saw.  masing-masing tidak memiliki saksi, maka Nabi saw.  menjadikan onta tersebut milik berdua. Al Hakim menyatakan: hadits ini shohih.
(39)  Oleh karena dirinya lebih tahu terhadap dirinya sendiri serta menguasai hal ihwal dirinya sendiri.
(40)  Karena mudahnya untuk membuktikan kejadian tersebut dan mudah diketahui kejadian itu. Sebagaimana bila seorang yang mendakwa harta warisannya berada di tangan si Fulan demikian, maka si Fulan mengingkarinya, tetapi dia tidak berani bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada pendakwa.
(41)  Apabila sumpah itu menunjukkan sesuatu yang tidak terjadi pada orang lain, maka jangan bersumpah dengan kalimat pasti, oleh karena tidak ada jalan baginya untuk memastikannya terhadap sesuatu yang tidak ada pada orang lain, tetapi hendaklah dia menyatakan dalam sumpahnya: “Demi Allah saya tidak tahu, bahwa Fulan melakukan demikian”.
(42)  Adapun syarat Islam berdasarkan firman Allahj Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kamu” (al Baqoroh: 282). Orang kafir tidak termasuk orang laki-laki di antara kita, dan berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (at Tholaq: 2). Orang kafir tidak termasuk orang adil di antara kita. Juga perlu dikathui, bahwa persaksian itu suatu kekuasaan, dan tidak ada kekuasaan bagi orang kafir, sebagaimana telah anda ketahui, perhatikan CK. no: 4). Adapun baligh dan sehat akal dan merdeka ; karena anak-anak, orang gila, dan budak tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya sendiri, maka tidak pula memiliki kekuasan terhadap orang lain. Oleh karena itu tidak dapat diterima persaksiaanya. Adapun tenatng adil, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (at Tholaq: 2). Dan ayat ini cukup jelas   tentang dipersyaratkannya saksi harus adil.Dan firman Allah Ta’alaa: “dari saksi-saksi yang kamu ridloi” (al Baqoroh: 282). Tidak dianggap adil orang yang tidak diridloi.
(43)   "الكبائر" kata jamak (plural) dari: "كبيرة" (dosa besar), yakni semua yang dijelaskan dengan ancaman siksa yang berat di dalam al Qur’an dan hadits, pelanggaran tersebut menunjukkan sikap meremehkan agama, seperti minum khomer, bergelimang dalam usaha riba, menuduh orang mukmin berbuat zina. Allah Ta’alaa berfirman: “Tidak dapat diterima persaksian mereka selamanya, mereka itu adalah orang-orang fasiq” (an Nuur: 4).  "الصغائر" kata jamak (plural) dari:  "صغيرة" (dosa kecil), yakni dosa yang tidak termasuk ke dalam dosa besar, seperti melihat sesuatu yang haram, berseteru dengan sesama muslim lebih dari tiga hari, dan sebagainya.  "سليم السريرة" (hatinya selamat) artinya aqidahnya benar. Tidak dapat diterima persaksian orang yang berkeyakinan bahwa diperbolehkan memaki-maki sahabat Nabi ra.  "مأمونا" (aman, terpercaya), aman dari sikap melampaui batas di dalam mengelola sesuatu, serta aman dari terjatuh ke dalam kebatilan dan hal-hal kotor.  "مروءة مثله" (perwira), artinya berakhlaq dengan akhlaq yang sesuai dengan masyarakat setempat pada zamannya, yang senantiasa menjaga sopan santun sesuai dengan syari’at Islam dan semua prosedurnya, di segala zaman dan tempat, dan kesemuanya itu tetap dipadukan dengan uruf (adat kebiasaan masyarakat setempat.
(44)  Seperti persoalan pernikahan, perceraian, wasiyat dan lain-lain, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiyat disaksikan oleh dua orang saksi yang adil di antara kamu” (al Maidah: 106). Dan firman Allah Ta’alaa: “maka rujukilah mereka   dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik pula, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (at Tholaq: 2). Dan Sabda Rasulullah saw.: “Tidak shah nikah, kecuali dengan wali yang pandai dan dua orang saksi yang adil”, perhatikan CK.no: 13 Kitab Nikah). Di dalam ketentuan nash tiga (dua ayat dan satu hadits), menjelaskan bahwa saki itu kaum lelaki, dan diqiyaskan hak-hak sejenis yang tidak disebutkan di sini.
(45)  Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya. Dasar masalah ini adalah firman Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kamu, jka tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridloi, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya” (al Baqoroh: 282). Hadits riwayat Muslim (1712), dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw. memutuskan perkara dengan sumpah dan seorang saksi. Di dalam kitab Musnad as Syafi’ie: Amru – Ibnu Dinar meriwayatkan dari Ibnu Abbas – dia berkata dalam urusan harta. (al Um: VI/156) Hamasy). Bahwasanya Rasulullah saw. memutuskan perkara dengan sumpah dan seorang saksi dalam urusan harta.
(46)  Pada umumnya; dari hal-hal yang berkaitan dengan rahasia wanita. Demikian puila dalam hal persusuan anak, persalinan dan sebagainya. Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abi Saibah, dari az Zuhrie rohimahullah Ta’alaa, ia berkata: Telah berjalan sunnah, bahwa diperbolehkan kesaksian wanita dalam urusan yang tidak diketahui oelh kaum lelaki, antara lain urusan wiladah (persalinan), rahasia wanita dan sebagainya (al Iqnak: II/297). Seperti pendapat ini terdapat pendapat dari Tabiin sebagai hujjah (dasar hukum), karena dianggap hadits marfu’, selamatidak dianggap pendapat ahli rokyu dan bukan pula hasil ijtihad. Dan diqiyaskan apa yang tidak disebutkan di sini kepada apa yang sudah dijelaskan. Dipersyaratkannya saksi lebih dari satu, oleh karena Pembuat syara’ (Allah) menjadikan dua saksi wanita sama dengan satu saksi laki-laki. Apabila dapat diterima persaksian hanya dari wanita tentang urusan kewanitaan, maka dapat diterimanya kesaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita lebih tepat, oleh karena pada asalnya saksi itu harus laki-laki, demikian pula apabila saksi hanya dari laki-lakai saja.
(47)  Karena persaksian wanita dalam hal ini adalah dianggap syubhat (meragukan), dan hak Allah ini harus dilakukan secara hati-hati. Demikian pula penerimaan saksi hanya untuk kaum lelaki saja, tertutup bagi wanita. Hadits riwayat Malik dari az Zuhry, ia berkata: Telah berlaku sunnah, bahwasanya tidak diperbolehkan persaksian dari kaum wanita dalam hal hudud (hukuman zina) (al Iqnak: II/296).
(48)  Dasar yang menunjukkan demikian adalah banyak Ayat, antara lain firman Allah Ta’alaa: ‘Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (cambuklah) mereka delapan puluh kali dera” (an Nuur: 4). Telah ditetapkan bahwa wajibnya cambuk adalah karena tidak adanya saksi empat orang, hal ini menunjukkan bahwa perzinaan tidak dianggap terbukti terjadi, kecuali dengan empat saksi. Allah Ta’alaa berfirman: “Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu “ ( an Nisak: 15). Rasulullah saw. bersabda  dalam hadits ifqi (kebohongan), suatu tuduhan terhadap A’isyah ra. berbuat keji; Allah berfirman: Mengapa mereka tidak menghadirkan empat orang saksi, apabila tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, meka mereka itu di sisi Allah sebagai  pendusta” (an Nur: 13). Ayat-ayat ini kesemuanya menunjukkan bahwa nisab (batas minimal) saksi dalam urusan perzinan harus empat orang laki-laki. Dan dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim (1498), bahwsanya Sa’id bin Ubadah ra. berkata: Ya Rasulullah, kalau saya menjumpai isteri saya bersma dengan seorang laki-laki. Saya tidak terburu-buru, sampai saya dapat mendatangkan empat orang saksi? Rasulullah saw. menjawab: “Ya benar”. Ia berkata: Tidak demikian, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan benar, apabila saya mendahului dengan pedang sebelum itu.  Rasulullah saw. bersabda: “oleh kalian semua apa yang dikatakan oleh tuanmu: Sesungguhnya itu adalah karena rasa cemburu, dan saya lebih cemburu dari dia, dan Allah lebih dari saya”. Hadits ini terjadi ketika turunnya ayat:  "والذين يرمون المحصنات ……."  Lalu turun ayat tentang sumpah li’an, sebagai kelonggaran bagi suami, perhattikan CK. no: 59 dan 60 Kitab Nikah).
(49)  
(50)  Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2342), dan lainnya, dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Manusia sama-sama melihat hilal, maka saya memberitahukan kepada Rasulullah saw. bahwa saya telah melihat hilal, maka beliau langsung berpuasa dan memerintahkan manusia  agar melaksanakan puasa Romadlon. Hikmah dari penerimaan satu saksi dalam hal hilal ini, adalah sebagai sikap berhati-hati terhadap urusan puasa. Apabila ternyata salah dalam melakukan ibadah, maka sedikit sekali mafsadahnya, bila dibandingkan dengan kerusakan karena  meninggalkannya. Oleh karena itu tidak dapat diterima perseksian hilal pada bulan syawal kurang dari dua orang saksi.
(51)  Misalnya seorang mengakui benda itu miliknya, dan tidak ada pihak lain yang mengakuinya, lalu orang buta menjadi saksi: bahwa barang itu ada pemiliknya, tanpa menyandarkan kepemilikan kepada seseorang tertentu. Maka persaksiannya  dapat diterima dalam urusan ini, oleh karena tidak emmerlukan penglihatan serta pendengaran secara khusus, oleh karena hal itu sudah tersebur luas sejak waktu yang lama, yang sulit untuk mendatangkan saksi permulaanm karena sudah tidak adanya yang mengetahui apda umumnya. 
(52)  Yakni penjelasan tenatng kalimat yang dipertentangkan, serta menyaksikan serta menjelaskannya, oleh karena yang demikian itu berkaitan erat dengan bentuk lafadh (penuturan), yang tidak memerlukan penglihatan.
(53)  Dia membawakan persaksian terhadap apa yang dilihat sebelum dia buta, apabila yang dipersaksikan itu dia ketahui nama dan nasabnya.
(54)  Sudah dipegangnya, misalnya seorang menyatakan tentang diizinkannya orang buta menjadi saksi berupa pendapat, dalam kaitnannya dengan penetapan atau tholak dan sebagainya, dan kesemuanya itu sangat tergantung kepada hakim, dia bersaksi berdasarkan pernyataannya tentang diizinkannya menjadi saksi.
(55)  Contah kepentingan pertama: bila seorang ahli waris bersaksi, bahwa orang yang berhak diwarisi hartanya meninggal sebelum sembuh dari lukanya, agar dia berhak menerima diyat atas kematian pewarisnya. Contoh kedua: Orang yang berkewajiban membayar diyat bersaksi dalam hal pembunuhan khotho’ (tak sengaja), bahwa pembunuhan adalah orang fasiq, sehingga tidak mengakibatkan kewajiban membayar diyat pembunuhan. Dasar penolakan saksi yang demikian adalah adanya kecurigaan.