KITAB AL AQDLIYAH WAS SYAHADAAT
(PERDILAN DAN PERSAKSIAN)(1)
Tidak diperbolehkan memegang kekuasaan peradilan,(2)
kecuali bagi orang yang dirinya memiliki
lima belas macam syarat: Islam,(3) sudah
balgh, berakal sehat, merdeka,(4)
laki-laki,(5) adil,(6)
mengetahui hukum-hukum dari al Qur’an dan hadits,(7)
mengetahui hukum-hukum hasil ijmak (kesepakatan ummat),(8)
mengetahui perbedaan ulama di kalangan ummat islam,(9)
mengetahui jalan atau prosedur berijtihad yang benar,(10) mengetahui atau menguasai seluk
beluk bahasa Arab,(11) mengetahui
tafsir Kitabulllah Ta’alaa,(12)
hakim itu harus baik pendengarannya, baik penglihatannya, dan mampu baca tulis,
dan dalam keadaan sadar (jaga).(13)
Bersikap sama terhadap dua pihak yang berperkara dalam tiga hal: tempat
duduk, ungkapan bertutur bahasa, dan perhatian.(17)
Tidak diperbolehkan menerima hadiah dari pihak yang ada hubungannya
dengan tugasnya.(18)
Tidak diperbolehkan bertanya kepada tertuduh sebelum sempurnanya
tuduhan,(22) dan tidak boleh
menyumpahnya sebelum ada permintaan dari penuduh.(23) Dan tidak boleh mendektekan suatu
alasan (argumentasi) kepada salah satu pihak berperkara, atau memberikan
pemahaman suatu kalimat.(24) Dan
tidak boleh mempersulit para saksi. (25)
Tidak dapat diterima surat dari seorang hakim kepada hakim lainnya
dalam hal ketetapan hukum, kecuali sesudah disaksikan oleh dua orang saksi apa
isi dalam surat tersebut.(28)
Apabila di dalam pembagian tersebut diperlukan adanya penaksiran harga,
maka tidak boleh kurang dari dua orang petugas penaksir.(32)
(Fasal): Apabila bersama penuduh ada bayyinah (saksi),(35) maka hakim wajib mengdengarnya dan
menetapkan hukum berdasarkan keterangan saksi, apabila tidak memiliki saksi,
maka hak bebicara diberikan kepada tertuduh disertai dengan sumpah, apabila
tertuduh tidak berani bersumpah, maka dikembalikan kepada penuduh, dan apabila penuduh
berani bersumpah, maka penuduh berhak atas tuntutannya.(36)
(Fasal): Apabila ada dua orang sama-sama mengakui satu benda adalah
miliknya, sedang benda tersebut berada pada salah satu pihak yang berebut, maka
yang dimenangkan adalah pengakuan pihak shohibul yad (pemegang benda),
disertai dengan sumpah.(37)
Apabila benda itu berada di tangan kedua belah pihak, maka kedua belah pihak
diminta untuk bersumpah.(38)
(Fasal): Tidak dapat diterima saksi, kecuali orang yang memenuhi lima
macam syarat: Islam, sudah baligh, berakal sehat, merdeka, dan adil.(42)
Adil itu ada lima macam syarat: senantiasa menjauhi dosa besar, tidak
membiasakan berbuat dosa kecil walaupn sedikit, hatinya selamat, tetap
terpercaya walaupun sedang marah, dan menjaga keperwiraan atau sikap kesatria.(43)
(Fasal): Hak itu ada dua macam: (a) hak Allah Ta’alaa, dan (b) hak
adamie (sesama manusia). Adapun hak adamie ada tiga kategori:
Pertama: Tidak dapat diterima di dalamnya, kacuali dengan
dua orang saksi laki-laki semua, yakni hak yang tidak berkaitan dengan harta,
dan diketahui oleh kaumm lelaki.(44)
Kedua: Dapat diterima dengan dua orang saksi laki-laki,
atau seorang saksi laki-laki dan dua orang wanita, atau seorang saksi laki-laki
dengan dperkuat oleh sumpah dari penuduh, yakni dalam perkara yang bersangkut
paut dengan harta.(45)
Ketiga: Dapat diterima dua orang saksi laki-laki, atau
seorang laki-laki dan dua orang wanita, atau empat orang wanita, yakni dalam
urusan yang tidak diketahui oleh kaum lelaki.(46)
Adapun hak Allah Ta’alaa, maka tidak dapat diterima persaksian wanita,(47) dalam hal ini ada tiga kategori:
Pertama: Tidak dapat diterima persaksian kurang dari empat
orang laki-laki, yakni dalam urusan perzinaan.(48)
Kedua: Dapat diterima dengan dua orang saksi, yakni had
(hukuman) selain perzinaan.(49)
Ketiga: Dapat diterima satu orang saksi saja, yakni
tentang hilal (bulan sabit)
awal bulan Romadlon.(50)
Tidak dapat diterima persaksian seorang terhadap perkara yang
mengharapkan memberikan manfaat pada dirinya sendiri, dan tidak pula persaksian
orang yang berusaha menolak bahaya (kesulitan).(55)
(1) Kata: "الأقضية"
adalah jamak (plural) dari kata: "قضاء" yang
menurut bahasa artinya bermacam-macam, antara lain: “hukum”. Allah Ta’alaa
berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar supaya kamu tidak menyembah
kepada selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak”, (al Isrok:
23), artinya Allah menetapkan hukum. Arti menurut syara’: Menyelesaikan perkera
antara dua pihak yang berselisih atau lebih dengan hukum Allah Ta’alaa. Banyak
ayat al Qur’an, di antaranya firman Allah Ta’alaa: “Apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia, maka hendaklah kamu menetaknannya dengan adil”, (an
Niasak: 58), dan firman Allah Ta’alaa: “Dan hendaklah memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”, (al Maidah: 49). Banyak hadits di antaranya hadits riwayat Abu Dawud
(3582), dan lainnya, dari Ali ra. ia berkata: Rasulullah saw. mengutus saya ke
Yaman untuk menjadi qodlie (hakim), maka saya berkata: Wahai Rasulullah, tuan
menyruruh saya, sedangkan saya masih muda usia – menurut riwayat al Hakim (IV/93): Tuan menyuruh
saya kepada suatu kaum yang sudah cukup usia, sedangkan saya masih muda belia –
tidak ada ilmu pada saya untuk memutuskan hukum?. Maka beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah akan memberikan petunjuk hatimu, dan memberikan kekuatan
pada lisanmu”. Ia berkata: Saya terus menjadi qodlie, atau saya tidak argu
menjadi qodie untuk selanjutnya. Kata: "الشهادات" bentuk jamak (plural) dari kata: "شهادة"
(saksi) dari kata: "المشاهدة" (menyaksikan), yakni mengungkapkan sesuatu secara jelas, yakni
pemberitahuan tentang apa yang hal-hal disaksikan, atau memberitahukan
menggunakan lafadh tertentu. Arti menurut
syara’: Pemberitahuan untuk memperkuat kebenaran pihak lain atas yang
lain dengan lafadh tertentu. Dasr disyari’atkannya persaksian adalah ayat-ayat
al Qur’an, antara lain firman Allah Ta’alaa; “Hendaklah kamu menjadi orang yang
selalau menegakkan kebenaran karena Allah”, al Maidah: 8), dan firman Allah
Ta’alaa: “Dan janganlah kamu menyembunyikan persaksian” (al baqoroh:283). Dan banyak
hadits, akan dijelaskan pada tempatnya nanti.
(2) Artinya tidak shah pengusaannya, dan tidak
berhak Sultan (raja) memegang kekuasaan peradilan, dan berdosa menerima
kekuasaan peradilan tersebut.
(3) Tidak shah penguasan peradilan oleh orang
kafir di negeri Islam, walaupn untuk mengdili orang perkara antara orang kafir.
Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan
jalan kepada orang-orang kafir memusnahkan orang-orang beriman”, (an Nisak:
141). Tidak memberi jalan lebih besar dibandingkan dengan memberikan hak
perdilan terhadap ummat Islam, atau di negeri Islam.
(4) Karena merupakan suatu kekurangan bagi orang
yang kehilangan salah satu dari sifat-sifat ini.
(5) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Tidak akan
mendapatkan kemenangan suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum
wanita”, diriwyatkan oleh al Bukhary (4163), dari Abu Bakroh, ra.
(6) Oleh karena tidak kuat dengan perkataan
(keputusan) orang yang tidak adil, dan negara tidak akan aman dari kesewenang-wenangan
(kedholiman).
(7) Hukum-hukum yang sudah tetap (baku) dari al
Qur’an dan hadits Nabi saw., tahu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat yang
mansukh, mengetahui hukum-hukum kemasyarakatan dari al Qur’an dan hadits dengan
jalan mengisthinbathkan hukum (mengambil kesimpulan hukum) furu’iyah
(fiqih), sebagaimana kemampuannya untuk memilih di antara dalil-dalil hukum
apabila terjadi saling bertentangan.
(8) Hukum yang sudah disepakati , sehingga tidak
akan terjadi perbedan dalam pengambilan keputusan hukum. Ijmak menurut
istilah ahli fiqih dan ahli ushul (tauhid) adalah kesepakatan seluruh mujtahid
ummah (ahli ijtihad) pada suatu zaman tertentu, terhadap satu hukum syara’,
yang terjadi dan tidak ditetapkan hukumnya oleh al Qur’an dan Hadits. Apabila
dihasilkan suatu kesepakatan mujtahid, maka hukum dimaksud menjadi hukum yang
disepakati secara syar’ie dan berlaku tetap, dan tidak boleh seorangpun dari
ummat Islam untuk menentangnya, termasuk para mujtahid berikutnya sampai
mujtahid modern nanti, sehingga akan menetukan hukum baru berdasarkan ijtihad
mereka.
(9) Hal yang terjadi pada zaman sahabat, atau
sesudah sahabat dari kalangan Tabiian dan para tokoh mujtahid, tentang
permasalahan yang mereka putuskan hukumnya, agar lebih arif dalam hal mengambil
keputusan hukum atas masalah yang dihadapinya.
(10) Atau jalan untuk beristhinbath hukum
berdasarkan dalil-dalilnya, dan tatacara mengambil atau memilih dasar-dasar
hukum yang ada.
(11) Memahami bahasa Arab, asal-usual lafadhnya,
tashrifnya, I’robnya, oleh karena bahasa Arab adalah bahasa Syari’ah Islam dari
al Qur’an dan Hadits.
(12) Dasar dari enam sayarat di atas adalah hadits
riwayat Abu Dawud (3573), dan lainnya, dari Buraidah ra. dari Nabi saw. beliau
bersabda: “Qodlie (hakim) itu ada tiga kategori: satu yang masuk surga dan dua
masuk neraka. Adapun hakim ayng masuk surga adalah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan
memutuskan dengan kebenaran itu. Sedangkan seorang yang tahu kebenaran tetapi
dalam memutuskan perkara dengan melanggar hukum, maka dia itu amsuk neraka, dan
seorang yang menghakimi manusia atas kebodohannya, maka dia masuk neraka”,.
Pengertian atas kebodohannya: dia tidak memiliki alat yang dapat mengantarkan
dia untuk mengambil keputusan dengan
benar yang diridloi oleh Allah Azza wa Jalla. Di dalam kitab al Iqnak ia
menyatakan: Hakim yang hukumnya berlaku adalah hakim pertama, sedangkan hakim
kedua dan ketiga tidak dapat dipegang keputusan hukumnya. Hadits riwayat al
Bukhary (6919), dan Muslim (1716), dari Abdullah bin Amru ibnul Ash ra. , bahwasanya
dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila hakim mengadilil suatu perkara
dia berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala.
Apabila mengadili perkara dan berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka dia
mendapatkan satu pahala”. Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan diri
untuk mengetahui tentang ketetapan hukum, serta mengetahui kebenaran di
dalamnya. Hal ini menunjukan bahwa seorang hakim yang mengadili antara manusia
dan dan ketetapan hukumnya harus merupakan hasil dari kemampuannya berijtihad
dan tidak terkumpul kemampuan berijtihad keculai memiliki semua syarat ini. An
Nawawie rohimahullah menyatakan di dalam Syarah Muslim (XII/13): Ulama berpendapat,
bahwa ummat Islam telah sepakat bahwa hadits ini membahas tentang hakim yang
berilmu dan ahli di bidang peradilan, apabila keputusannya benar, maka dia mendapat dua pahala, satu pahala ijtihadnya
dan satu pahala dari kebenaran keputusannya, apabila salah maka dia mendapat
satu pahal dari ijtihadnya. Adapun orang yang tidak tidak ahli di bidang hukum,
maka tidak halal abginya menjadi hakim, apabila dia menetapkan hukum, maka
tidak mendapatkan pahala, bahkan dia berdosa, dan keputusan hukumnya tidak
dapat diberlakukan, apakah keputusannya bertepatan dengan kebenaran atau tidak,
oleh karena kebenarannya hanya sekedar kebetulan saja – bukan disengaja – tidak
berdasarkan kepada dasar hukum syara’, berarti dia bermaksiyat di semua
keputusan hukumnya, baik benar atau salah, hasilnya tertolak keseluruhannya,
tanpa alasan apapun juga. Telah terdapat dalam hadits: “Hakim itu adatiga
kategori ……”, kemudian kita hubungkan dengan hadits Abu Dawud di muka.
(13) Tidak lupa, sehingga tidak mudah tertipu, ini
syarat apabila terdapat cacat dalam bidang pemimikiran dan pendapat, bila rtidak
demikian, maka hukumnya sunnat. Dipersyaratkannya baik pendengaran, agar mampu
membedakan antara ikrar (pengakuan) dan inkar (penolakan). Baik
penglihatan, agar mampu membedakan antara lawan dengan saksi, dan membedakan
antara penuntut dengan yang dituntut, oleh karena orang yang buta tidak mampu
mebedakan antara keduanya, kecuali hanya melalui suara, yang kadang-kadang
hampir sama. Yang paling benar bahwa kemampuan menulis bukanlah sebagai syarat,
kecuali apabila tidak didapati pada persidangan itu juru tulis (panitera) yang
mampu untuk melakukan tugas itu.
(14) Memungkinkan diketahui secara mudah, baik bagi
penduduk aseli atau orang asing.
(15) Misalnya penjaga pintu dan sebagainya, yang
menghalangi orang karenanya, ketika hakim sedang duduk untuk mengadili perkara, dan menghalangi
orang yang akan masuk/menuju kepadanya. Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud
(2948), dan at Tirmidzy (1332), dan lainnya, dari Abi Maryam al Azdie ra. ia
berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang diberi
kepercayaan suatu urusan ummat Islam, kemudian dia menutup kebutuhan
mereka, hajat mereka, kesusahan mereka,
maka Allah akan menutup hajatnya, kebutuhannya, dan dan kesusahannya”. Hal ini
apabila kondisinya tidak penuh sesah, sehingga membutuhkan pembatas untuk
menertibkan urusan.
(16) Untuk menjaga halhal yang tidak sepantasnya di
masjid antara lain: terjadinya teriakan, kegaduhan serta pertengkaran, dan
kadang-kadang diperlukan untuk menghadirkan ke majelis perdilan orang-orang
yang tidak boleh tinggal diam di dalam masjid, misalnya orang yang sedang haid,
dan orang-orang yang tidak patut masuk ke dalam masjid, misalnya anak kecil,
orang gila, orang kafir dan lain-lain.
(17) Yakni pandangan, jnganlah hakim hanya menujukan pandangannya hepada salah
satu pihak yang berperkara, atau
menghadapkan wajah kepada satu [ihak lebih banyak dari pada kepada pihak ayng
lain, sebagaimana halnya, bahwa dia tidak hanya mengkhususkan pembicaraan atau
memberi salam hanya kepada salah satu pihak, dan semua bentuk penghormatan
lainnya. Dasar hal ini adalah hadits
riwayat ad Daroquthny (IV/205), dari Ummi Salamah ra. ia berkata: Rasululah
saw. bersabda: “Barang siapa yang diuji untuk mengadili di antara manusia, maka
hendaklah berlaku adil antara mereka, dalam hal perhatian, isyarat, dan tempat
duduk. Janganlah mengeraskan suara kepada salah satu dari dua pihak yang
berperkara, dan tidak demikian terhadap
pihak lainnya.
(18) Yakni orang-orang yang bertanggung jawab
kepadanya dalam menyelesaikan permusuhanmereka, serta memutuskan hukum dalam
hal pertengkaran mereka.. Dasar dari hal ini adalah hadits riwayat al Bukhary
(6260), dan Muslim (1832), dari Abi Humaidie as Sa’idie ra. bahwasanya
Rasulullah saw. menugaskan seorang amil
(pengumpul zakat). Kemudian amili tersebut datang sesudah selesai melaksanakan tugasnya, dan
berkata: Wahai Rasulullah, ini untuk tuan, dan ini hadiah untukku. Maka beliau
bertanya kepadanya: “Apakah bila engkau duduk di rumah bapakmu dan ibumu:
apakah orang tuamu memberimu hadiah atau tidak?” Lalu Rasulullah saw. berdiri
pada malam hari sesudah sholat, beliau mengucapkan syahadat dan memuji kepada
Allah, dengan pujian yang patut bagi Allah, lalu bersabda: “Amma ba’du:
Bagaimanakah seorang amil kami tunjuk, dia datang kepada kami dan berkata: Ini
hasil kerjamu, dan ini hadiah untukku, apakah bila dia duduk di rumah ayahnya
dan ibunya, lalu memperhatikan: Apakah dia akan diberi hadiah atau tidak? Demi
Dzat di mana diri Muhammad berada di genggaman-Nya, tidak seorangpun di antara
kamu yang melakukan suatu penipuan, kecuali nanti akan datang pada hari qiyamat membawa hasil penipuan itu pada
lehernya : apabila itu berupa onta, maka dia akan datang dengannya dan dia
bersuara seperti suara onta, apabila sapi, maka akan datang dengannya dan dia
akan bersuara seperti suara sapi, dan apabila berupa kambing, maka akan datang
dengannya dan dia akan bersuara seperti suara kambing, dan hal ini sudah saya
sampaikan kepadamu”. Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangan beliau,
sampai kami melihat putihnya kedua ketiak beliau. Dalam riwayat lain menurut
Ahmad (V/424): “Tingkah laku para amil yang menjadi penipu”. Ini semua apabila
hadiah berasal dari orang yang sedang berperkara, dan hakim mengetahui hal itu,
atau berasal dari orang yang tidak biasanya memberikan hadiah sebelum dia
menjadi hakim. Apabila hadiah berasal dari orang yang pada biasanya memberi dan
tidak ada hubungannya dengan perkara, maka boleh diterima, selama tidak lebih
dari kebiasaan jenis atau caranya. Apabila lebih, maka perlu diperhatikan:
apabila hal itu akan menimbulkan dampak negatif, jangan diterima, bila tidak
menimbulkan dampak negatif, maka boleh diterima.
(19) Ingin melakukan hubungan seksual.
(20) Menahan buang besar atau menahan buang air
kecil.
(21) Dan hal-hal lain yang mengakibatkan
terganggunya stabilitas jiwa (emosi), atau jeleknya perilaku, atau hilangnya
kemampuan berfikir sehat. Dasar hal ini adalah hadits riwayat al Bukhary
(6739), dan Muslim (1717), dari Abi Bakroh ra. ia berkata: Saya mendengar
Rasululah saw. bersabda: “Janganlah hakim mengdili dua orang yang berperkara
ketika dia dalam keadaan marah”. Menurut riwayat Ibnu Majah (2316): “Hakim
tidak boleh mengadili …..”. Dalam riwayat lain: “Tidak patut bagi hakim
mengadili ketika …….” Marah akan membuat perobahan dalam berfikir, dan keluar
dari tabiat profesionalisme dalam berfikir berijthad untuk mengetahui hukum
sebenarnya. Larangan di sini menunjukan makruh, sebaba sekalipun dalam kondisi
sepereti itu, keputusan hakim tetap berlaku.
(22) Sesudah selesainya penuduh menjelaskan semua
tuduhannya.
(23) Artinya sesudah diminta oleh penuduh agar
hakim menyumpah tertuduh. Oleh karena sumpah tertuduh adalah hak penuduh, maka
harus melalui izin penuduh. Maka tergantung kepada izin atau pemintaan penuduh.
(24) Sehingga orang tahu bagaimana cara untuk
memperkuat dakwaan, atau memberikan jawaban, atau tahu bagaimana cara
menyetujui atau menolak, karena adanya indikasi keberpihakan kepada salah satu
pihak dan melawan pihak lainnya, yang demikian itu hukumnya haram.
(25) Artinya janganlah mempersulit mereka serta
menyakiti hati mereka, dan sebagainya, misalnya: mengejek, atau menyerang pembicaraan mereka, atau menekan
mereka dalam upayanya untuk mengetahui tatacara menyiapkan diri untuk menjadi
saksi, padahal sebenarnya dia adalah benar serta sehat akalnya, oleh karena
sikap hakim yang tidak kooperatif akibatnya mereka lari tidak mau menajdi
saksi, padahal manusia sangat membutuhkan kesaksian mereka. Allah Ta’alaa
berfirman: “dan janganlah saling mempersulit antara penulis (katib/panitera)
dengan saksi, jika kamu lakukan yang demikian itu, maka sesungguhnya hal itu
suatu kefasikan (dosa) pada dirimu sendiri”. (al Baqoroh: 282).
(26) Keadilan yang pasti dengan pengetahauan hakim
terhadap saksi, atau berdasarkan rekomendasi dua orang yang adil di dekat
hakim, akan dijelaskan tenatng keadilan beserta dalilnya sesudah ini.
(27) Adanya dugaan akan berbuat dholim terhadap
musuhnya, dan karenba rasa cinta anak terhadap orang tuanya atau sebaliknya. Dasarnya ditolaknya
persaksian itu, sebab adanya dugaan tidak akan adil. Sebagaimana haits riwayat
Abu Dawud (3601), dan lainnya, dari Abdullah bin Amru ibnul Ash ra., ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh diterima kesaksian pengkhianat,
dan begitu pula kesaksian pezina, dan kesaksian penipu terhadap saudaranya”
Dalam satu riwayat: “Tidak dapat diterima kesaksian orang yang diduga tidak
baik, dan tidak pula kesaksian kerabat”
(28) Apabila hakim memutus perkara terhadap orang
yang tidak ada di tempat (in absentia), lalu dia mengirim surat keputusan itu
kepada hakim di mana terdakwa berada, untuk dilaksanakan ketetapan hukum
tersebut, maka dipersyaratkan agar surat tersebut disaksikan oleh dua orang
saksi, di hadapan hakim penerima surat tentang apa isi surat dimaksud.
(29) Orang yang diberi tugas oleh hakim untuk
membagi suatu benda milik bersama antara beberapa orang, serta memisahkan
antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dasar disayri’atkannya
pembagian adalah firman Allah Ta’alaa tentang harta waris: “Apabila pada waktu
pembagian waris hadir sanak kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka itu dari harta waris sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka dengan
ucapan yang baik” (an Niasak: 8). Dan sabda Rasulullah saw.: “Hak syuf’ah
itu terhadap harta yang belum dibagi”, perhatikan CK. no: 55 Kitab Jual beli.
Dan sudah ada ketetapan dari Rasulullah saw. dalam hal membagi ghonimah kepada
yang berhak, perhatikan CJK. no: 12 Kitab Jihad.
(30) Adapun enam syarat yang pertama: sebab seorang
pembagi adalah memiliki kekuasaan terhadap orang yang berhak menerima bagian,
oleh karena pembagian itu merupakan suatu keharusan, dan orang yang tidak
memiliki secara lengkap enam persyaratan tersebut, maka tidak berhak memegang
suatu kekuasaan. Adapun kemampuan berhitung, demikian pula di bidang ukur
mengukur, dan semua kemampuan yang diperlukan untuk menghitung pembagian harta.
Oleha karena kesemuanya itu merupakan alat (sarana) untuk pembagian,
sebagaimana kemampuan di bidang hukum syar’ie sebagai sarana untuk
menjabat sebagai hakim.
(31) Atau semua persyaratan di atas, karena cukup
dengan syarat sudah mukallaf, yakni: Islam, baligh, dan berakal sehat. Oleh
karena dia tidak memegang kekuasaan dalam hal ini, tetapi bertindak sebagai
wakil dari masing-masing pihak.
(32) Oleh karena penaksiran tersebut merupakan
perkiraan harga barang yang dibagi, diperlukan adanya saksi dalam nilai
harganya, oleh karenanya diperlukan penaksir lebih dari satu orang.
(33) Dalam hal harganya, seperti sebuah rumah
besar, atau sejumlah pakaian, dan sebagainya.
(34) Sepakat untuk membaginya, sebab dimungkinkan
dengan diteruskannya persekutuan tersebut akan membuat kerugian baginya. Tetapi
apabila dengan pembagian itu akan menimbulkan kerugian atau masalah), maka dia
pihak kedua tidak wajib mengabulkannya. Dasar permasalahan ini adalah sabda
Rasulullah saw. (Janganlah menyulitkan orang dan jangan dipersulit oleh orang”,
riwayat Ibnu Majah (2340), dan Malik dalam al Muwathok: (II/745, 805).
(35) "البينة" adalah
saksi yang menyaksikan apa yang dituduhkannya, maka pernyataan saksi ahrus
didengar dan diterima. Dasar masalah ini adalah banyak ahdits, antara lain:
hadits riwayat al Baukahry (4277), dan Muslim (1711), lafadh Muslim, dari Ibnu
abbas ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Kalau manusia dipenuhi tuntutannya,
niscaya akan menuntut darah dan harta
manusia lain, tetapi sumpah adalah hak orang yang dituduh. Hadits riwayat
Muslim (138), dari al Asy’ats bin Qois ra. ia berkata: Nabi saw. dengan seorang
lelaki di Yaman, Saya memperkarakan dia kepada Nabi saw., maka beliau bertanya:
“Apakah engkau mempunayi saksi”, saya jawab: Tidak. Beliau bersabda: “Maka
minta dia bersumpah”. Dalam riwayat lain: “Dua orang saksimu ataukah sumpah
dia”.
(36) Dia berhak atas apa ia tuntut. Berdasarkan
hadits riwayat al Hakim (IV/100), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Sesungguhnya
Nabi saw. mengembalikan sumpah kepada pihak penuntut hak. Ia menyatakan: Hadits
ini shohih sanadnya.
(37) Berpengan kepada dasar, dan berdasarkan realitas, apabila keberadaannya
di tangannya, maka bahwa benda itu miliknya, selama tidak ada saksi yang
menyatakan lain, oleh karena pada dasarnya tidak mungkin benda itu berada di
tangannya kecuali adanya sebab-sebab yang sah sesuai dengan syri’at.
(38) Kata: "تحالفا"
artimya masing-masing pihak bersumpah, yang menyatakan bahwa benda itu bukan
milik pihak lain tetapi miliknya. Hadits riwayat Abu dawud (3613), dan lainnya,
dari Abi Musa al Asy’ary ra. bahwasanya ada dua orang laki-lakisaling berebut
hak terhadap seekor onta atau hewan, kepada Nabi saw. masing-masing tidak memiliki saksi, maka Nabi
saw. menjadikan onta tersebut milik
berdua. Al Hakim menyatakan: hadits ini shohih.
(39) Oleh karena dirinya lebih tahu terhadap
dirinya sendiri serta menguasai hal ihwal dirinya sendiri.
(40) Karena mudahnya untuk membuktikan kejadian
tersebut dan mudah diketahui kejadian itu. Sebagaimana bila seorang yang
mendakwa harta warisannya berada di tangan si Fulan demikian, maka si Fulan
mengingkarinya, tetapi dia tidak berani bersumpah, maka sumpah dikembalikan
kepada pendakwa.
(41) Apabila sumpah itu menunjukkan sesuatu yang
tidak terjadi pada orang lain, maka jangan bersumpah dengan kalimat pasti, oleh
karena tidak ada jalan baginya untuk memastikannya terhadap sesuatu yang tidak
ada pada orang lain, tetapi hendaklah dia menyatakan dalam sumpahnya: “Demi
Allah saya tidak tahu, bahwa Fulan melakukan demikian”.
(42) Adapun syarat Islam berdasarkan firman Allahj
Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di
antara kamu” (al Baqoroh: 282). Orang kafir tidak termasuk orang laki-laki di
antara kita, dan berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil di antara kamu” (at Tholaq: 2). Orang kafir tidak
termasuk orang adil di antara kita. Juga perlu dikathui, bahwa persaksian itu
suatu kekuasaan, dan tidak ada kekuasaan bagi orang kafir, sebagaimana telah
anda ketahui, perhatikan CK. no: 4). Adapun baligh dan sehat akal dan merdeka ;
karena anak-anak, orang gila, dan budak tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya
sendiri, maka tidak pula memiliki kekuasan terhadap orang lain. Oleh karena itu
tidak dapat diterima persaksiaanya. Adapun tenatng adil, berdasarkan firman
Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu” (at Tholaq: 2). Dan ayat ini cukup jelas
tentang dipersyaratkannya saksi harus adil.Dan firman Allah Ta’alaa:
“dari saksi-saksi yang kamu ridloi” (al Baqoroh: 282). Tidak dianggap adil
orang yang tidak diridloi.
(43) "الكبائر" kata
jamak (plural) dari: "كبيرة" (dosa
besar), yakni semua yang dijelaskan dengan ancaman siksa yang berat di dalam al
Qur’an dan hadits, pelanggaran tersebut menunjukkan sikap meremehkan agama,
seperti minum khomer, bergelimang dalam usaha riba, menuduh orang mukmin
berbuat zina. Allah Ta’alaa berfirman: “Tidak dapat diterima persaksian mereka
selamanya, mereka itu adalah orang-orang fasiq” (an Nuur: 4). "الصغائر" kata jamak (plural) dari: "صغيرة" (dosa
kecil), yakni dosa yang tidak termasuk ke dalam dosa besar, seperti melihat
sesuatu yang haram, berseteru dengan sesama muslim lebih dari tiga hari, dan
sebagainya. "سليم السريرة" (hatinya selamat) artinya aqidahnya benar. Tidak dapat diterima
persaksian orang yang berkeyakinan bahwa diperbolehkan memaki-maki sahabat Nabi
ra. "مأمونا" (aman,
terpercaya), aman dari sikap melampaui batas di dalam mengelola sesuatu, serta
aman dari terjatuh ke dalam kebatilan dan hal-hal kotor. "مروءة مثله"
(perwira), artinya berakhlaq dengan akhlaq yang sesuai dengan masyarakat
setempat pada zamannya, yang senantiasa menjaga sopan santun sesuai dengan
syari’at Islam dan semua prosedurnya, di segala zaman dan tempat, dan
kesemuanya itu tetap dipadukan dengan uruf (adat kebiasaan masyarakat
setempat.
(44) Seperti persoalan pernikahan, perceraian,
wasiyat dan lain-lain, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Wahai orang-orang
yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiyat disaksikan oleh dua orang saksi yang adil di antara kamu” (al
Maidah: 106). Dan firman Allah Ta’alaa: “maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik pula, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”
(at Tholaq: 2). Dan Sabda Rasulullah saw.: “Tidak shah nikah, kecuali dengan
wali yang pandai dan dua orang saksi yang adil”, perhatikan CK.no: 13 Kitab
Nikah). Di dalam ketentuan nash tiga (dua ayat dan satu hadits), menjelaskan
bahwa saki itu kaum lelaki, dan diqiyaskan hak-hak sejenis yang tidak disebutkan
di sini.
(45) Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan
sebagainya. Dasar masalah ini adalah firman Allah Ta’alaa: “Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kamu, jka tidak ada dua
orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita dari
saksi-saksi yang kamu ridloi, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi
mengingatkannya” (al Baqoroh: 282). Hadits riwayat Muslim (1712), dari Ibnu
Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw. memutuskan perkara dengan sumpah dan
seorang saksi. Di dalam kitab Musnad as Syafi’ie: Amru – Ibnu Dinar
meriwayatkan dari Ibnu Abbas – dia berkata dalam urusan harta. (al Um: VI/156)
Hamasy). Bahwasanya Rasulullah saw. memutuskan perkara dengan sumpah dan
seorang saksi dalam urusan harta.
(46) Pada umumnya; dari hal-hal yang berkaitan
dengan rahasia wanita. Demikian puila dalam hal persusuan anak, persalinan dan
sebagainya. Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abi Saibah, dari az Zuhrie
rohimahullah Ta’alaa, ia berkata: Telah berjalan sunnah, bahwa diperbolehkan
kesaksian wanita dalam urusan yang tidak diketahui oelh kaum lelaki, antara
lain urusan wiladah (persalinan), rahasia wanita dan sebagainya (al Iqnak:
II/297). Seperti pendapat ini terdapat pendapat dari Tabiin sebagai hujjah
(dasar hukum), karena dianggap hadits marfu’, selamatidak dianggap pendapat
ahli rokyu dan bukan pula hasil ijtihad. Dan diqiyaskan apa yang tidak
disebutkan di sini kepada apa yang sudah dijelaskan. Dipersyaratkannya saksi
lebih dari satu, oleh karena Pembuat syara’ (Allah) menjadikan dua saksi wanita
sama dengan satu saksi laki-laki. Apabila dapat diterima persaksian hanya dari
wanita tentang urusan kewanitaan, maka dapat diterimanya kesaksian seorang
laki-laki dan dua orang wanita lebih tepat, oleh karena pada asalnya saksi itu
harus laki-laki, demikian pula apabila saksi hanya dari laki-lakai saja.
(47) Karena persaksian wanita dalam hal ini adalah
dianggap syubhat (meragukan), dan hak Allah ini harus dilakukan secara
hati-hati. Demikian pula penerimaan saksi hanya untuk kaum lelaki saja,
tertutup bagi wanita. Hadits riwayat Malik dari az Zuhry, ia berkata: Telah
berlaku sunnah, bahwasanya tidak diperbolehkan persaksian dari kaum wanita
dalam hal hudud (hukuman zina) (al Iqnak: II/296).
(48) Dasar yang menunjukkan demikian adalah banyak
Ayat, antara lain firman Allah Ta’alaa: ‘Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak dapat mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah (cambuklah) mereka delapan puluh kali dera” (an
Nuur: 4). Telah ditetapkan bahwa wajibnya cambuk adalah karena tidak adanya
saksi empat orang, hal ini menunjukkan bahwa perzinaan tidak dianggap terbukti
terjadi, kecuali dengan empat saksi. Allah Ta’alaa berfirman: “Dan terhadap
wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi
di antara kamu “ ( an Nisak: 15). Rasulullah saw. bersabda dalam hadits ifqi (kebohongan), suatu tuduhan
terhadap A’isyah ra. berbuat keji; Allah berfirman: Mengapa mereka tidak
menghadirkan empat orang saksi, apabila tidak dapat menghadirkan empat orang
saksi, meka mereka itu di sisi Allah sebagai
pendusta” (an Nur: 13). Ayat-ayat ini kesemuanya menunjukkan bahwa nisab
(batas minimal) saksi dalam urusan perzinan harus empat orang laki-laki. Dan
dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim (1498), bahwsanya Sa’id bin Ubadah ra.
berkata: Ya Rasulullah, kalau saya menjumpai isteri saya bersma dengan seorang
laki-laki. Saya tidak terburu-buru, sampai saya dapat mendatangkan empat orang
saksi? Rasulullah saw. menjawab: “Ya benar”. Ia berkata: Tidak demikian, demi
Dzat yang telah mengutus engkau dengan benar, apabila saya mendahului dengan
pedang sebelum itu. Rasulullah saw.
bersabda: “oleh kalian semua apa yang dikatakan oleh tuanmu: Sesungguhnya itu
adalah karena rasa cemburu, dan saya lebih cemburu dari dia, dan Allah lebih
dari saya”. Hadits ini terjadi ketika turunnya ayat: "والذين
يرمون المحصنات ……." Lalu turun ayat tentang sumpah li’an,
sebagai kelonggaran bagi suami, perhattikan CK. no: 59 dan 60 Kitab Nikah).
(50) Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2342),
dan lainnya, dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Manusia sama-sama melihat hilal,
maka saya memberitahukan kepada Rasulullah saw. bahwa saya telah melihat hilal,
maka beliau langsung berpuasa dan memerintahkan manusia agar melaksanakan puasa Romadlon. Hikmah dari
penerimaan satu saksi dalam hal hilal ini, adalah sebagai sikap berhati-hati
terhadap urusan puasa. Apabila ternyata salah dalam melakukan ibadah, maka
sedikit sekali mafsadahnya, bila dibandingkan dengan kerusakan karena meninggalkannya. Oleh karena itu tidak dapat
diterima perseksian hilal pada bulan syawal kurang dari dua orang saksi.
(51) Misalnya seorang mengakui benda itu miliknya,
dan tidak ada pihak lain yang mengakuinya, lalu orang buta menjadi saksi: bahwa
barang itu ada pemiliknya, tanpa menyandarkan kepemilikan kepada seseorang
tertentu. Maka persaksiannya dapat
diterima dalam urusan ini, oleh karena tidak emmerlukan penglihatan serta
pendengaran secara khusus, oleh karena hal itu sudah tersebur luas sejak waktu
yang lama, yang sulit untuk mendatangkan saksi permulaanm karena sudah tidak
adanya yang mengetahui apda umumnya.
(52) Yakni penjelasan tenatng kalimat yang
dipertentangkan, serta menyaksikan serta menjelaskannya, oleh karena yang
demikian itu berkaitan erat dengan bentuk lafadh (penuturan), yang tidak
memerlukan penglihatan.
(53) Dia membawakan persaksian terhadap apa yang
dilihat sebelum dia buta, apabila yang dipersaksikan itu dia ketahui nama dan
nasabnya.
(54) Sudah dipegangnya, misalnya seorang menyatakan
tentang diizinkannya orang buta menjadi saksi berupa pendapat, dalam kaitnannya
dengan penetapan atau tholak dan sebagainya, dan kesemuanya itu sangat
tergantung kepada hakim, dia bersaksi berdasarkan pernyataannya tentang
diizinkannya menjadi saksi.
(55) Contah kepentingan pertama: bila seorang ahli
waris bersaksi, bahwa orang yang berhak diwarisi hartanya meninggal sebelum
sembuh dari lukanya, agar dia berhak menerima diyat atas kematian pewarisnya.
Contoh kedua: Orang yang berkewajiban membayar diyat bersaksi dalam hal
pembunuhan khotho’ (tak sengaja), bahwa pembunuhan adalah orang fasiq, sehingga
tidak mengakibatkan kewajiban membayar diyat pembunuhan. Dasar penolakan saksi
yang demikian adalah adanya kecurigaan.