Rabu, 23 Desember 2015

KITAB AL ITHQI ( At-Tadzhib Fi Adillati Matni Ghayah Wa Taqrib )

KITAB AL ITHQI
(MEMERDEKAKAN BUDAK)(1)

Dianggap shah memerdekakan budak miliknya, oleh pemiliknya yang berhak membelanjakan harta bendanya.(2)
Memerdekakan budak itu berlaku menggunakan kalimat jelas atau kinayah (kalimat tidak terang-terangan)(3)

Apabila memerdekakan sebagian dari seorang budak, maka berarti dia merdeka secara keseluruhan. Apabila seorang anggota persekutuannya memerdekakan sebagian budak milik bersama (dua orang), sedang dia dalam keadaan kaya, maka berlaku kemerdekaan itu untuk sisanya, dia wajib membayar harga yang menjadi hak teman serikatnya.(4)
Barang siapa yang memiliki budak, budak adalah salah seorang dari orang tuanya, atau anaknya, maka dia memerdekakannya dari perbudakan.(5)

(Fasal): Walak adalah hak bagi orang yang telah memerdekakan.(6) Hukumnya sebagai ashobah, bila tidak ada ashobah di sisinya.(7) Hak walak itu bisa dipindahkan kepada ahli waris orang yang memerdekakannya dari kaum lelaki sebagai ashobah.(8) Tata urutan ashobah dalam walak sama dengan tata urutan ashobah menurut nasab dalam waris.(9) Walak itu tidak boleh diperjual belikan dan tidak boleh pula dihibahkan.(10)

(Fasal): Barang siapa yang menyatakan kepada budaknya: “apabila saya sudah mati, maka engkau merdeka”, maka dia (budak) dinamakan mudabbar.(11) Dia merdeka setelah tuannya mati, dengan nilai sepertiga dari harta peninggalannya.(12) Dan diperbolehkan bagi pemilik menjualnya pada saat ia masih hidup, dan gugurlah janji untuk menjadikannya mudabbar.(13) Mudabbar itu hukumnya masih sebagai budak selama tuannya masih hidup.(14)

(Fasal): Kitabah hukumnya sunnat: apabila hal itu diminta oleh budak. Dan kondisi budak itu terpercaya dan mampu bekerja.(15) Dan tidak shah akad kitabah itu kecuali dengan imbalan harta yang ditentukan, dapat dilaksanakan dengan cara mengansur dengan waktu angsuran yang  ditentukan, paling sedikit dua kali angsunran.(16)
Akad kitabah itu ditinjau dari pihak tuan (pemilik budak) hukumnya tetap (tidak bisa diralat), sedangkan dari pihak mukatab, hukumnya jaiz (bebas), ia boleh membatalkannya kapan saja dia mau.(17) Bagi mukatab diberikan hak untuk mengelola harta yang ada ditangannya.
Wajib bagi tuannya untuk menyimpan harta mukatab, agar mukatab mampu membayar angsuran akad kitabahnya.(18) Mukatab tidak bisa merdeka kecuali setelah melunasi seluruh angsuran yang harus dibayar.(19)

(Fasal): Apabila seorang tuan (pemilik) menyetubuhi amatnya (budak wanita), lalu hamil secara jelas janin sudah berbetuk manusia, maka haram bagi tuannya untuk menjual, mengadaikan atau menghibahkannya. Dia hanya diperbolehkan memperlakukannya sebagai pelayan dan untuk disetubuhi. Apabila tuan mati, maka amat tersebut menjadi merdeka diperhitungkan dari harta  peninggalan  kotor sebelum dipergunakan membayar hutang dan menunaikan wasiyat.(20) Dan anak-anaknya yang dari bapak lain akan berstatus sama dengan kedudukannya (merdeka).(21)

Barang siapa yang menyetubuhi amat orang lain tanpa melalui pernikahan yang shah, maka anak dari amat tersebut tetap menajdi budak pemiliknya,(22) apabila persetubuhan itu terjadi karena syubhat,(23) maka anak yang dilahirkan amat orang lain itu menjadi merdeka, dan orang yang menyetubuhinya wajib membayar uang pengganti kepada tuan amat yang melahirkannya. Apabila seorang memiliki amat yang sudah dicerai sesudah itu,(24) maka amat tersebut tidak menjadi ummul walad karena persetubuhan dalam ikatan pernikahan. Dan bisa menjadi ummul walad baginya dengan persetubuhan yang syubhat, menurut salah satu dari dua pendapat.(25) Wallaahu a’lam.(26)

الحمد لله رب العالمين.


                               Malang, Jum’at : 10 Januari 2006/10 Dzulhijjah 1427.
                                                  
                                                                Penerjemah,
                                                            
                                                        
                                                     DRS. H. K U S N A N  A.




(1)  Yakni melepaskan hak kepemilikannya terhada manusia, dan membebaskannya dari perbudakan, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’alaa. Telah jelas dianjurkannya perbuatan itu, dan dianggap sebagai perbuatan sunnat oleh banyak nash baik dari al Qur’an maupun hadits. Adapun nash dari  al Qur’an, contohnya firman Allah ta’alaa: “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu   apakah jalan yang mendaki  lagi sukar itu?Uaitu memeredkakan budak” (al Balad: 11 – 13). Antara lain juga ayat tentang kafarat: seperti kafarat pemnbunuhan,  dhihar, sumpah, sebagaimana yang telah anda ketahui. Adapun banyak hadits, antara lain: hadits riwayat al Bukahry (2381)), dan Msulim (1509), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang memerdekakan budak yang mukmin, maka bagi dia suatu kebebasan dari siksa neraka”. Pengertian budak termasuk laki-laki dan wanita. Dan Rasulullah memerintahkan memerdekakan budak ketika terjadi bencana. Hadits riwayat al Bukhary (2383), dari Asmak bin Abi Bakar ra. ia berkata: Nabi saw. memerintahkan untuk memerdekakan budak   ketika terjadi gerhana matahari.
(2)  Artinya dia memiliki hak mutlak mengelola harta miliknya, yakni setiap orang yang baligh, berakal sehat, tidak mahjur (dibatasi hak-haknya), karena bodoh, atau karena bangkrut, oleh karena memerdekan budak itu merupakan perbuatan sunnat. Dan tidak sah berbuat ibadah sunnat, kecuali oleh orang yang memenuhi sifat tersebut (mukallaf).
(3)  Semua ungkapan yang mengandung pengertian pelepasan kepemilikan, atau munculnya isyarat perpisahan. Misalnya menyatakan: “Saya sudah bukan lagi penguasa atas kamu” atau “engkau merdeka” atau “Sudah tidak kewajiban atasmu melayani aku” dan sebagainya.
(4)  Apabila orang yang memerdekakan sebagian budak sebagai ahknya tadi tidak mampu untuk memerdekakan sisanya, maka budak tersebut diberi kesempatan untuk bekerja agar mampu menebus separo harga dirinya yang belum merdeka, untuk diserahkan kepada teman perserikatannya, sehingga budak tersebut dapat merdeka secara sempurna. Hadits riwayat al Bukhary (2386), dan Muslim (1501), dan lainnya, dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw.bersabda: “Barang siapa yang memerdekakan budak dalam persekutuan, dan dia memiliki harta cukup untuk membeli budak tersebut, maka hendaklah ahrga budak tersebut ditaksir dengan secara obyektif (adil), kemudian dia memberikan bagian teman sarikatnya, maka budak tersebut menjadi merdeka. Bila tidak demikian, maka budak tersebut merdeka sebatas hak orang yang memerdekaknnay (mungkin hanya setengah merdeka). Hadits riwayat al Bukahry (2360), dan Muslim (1503), dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang memerdekakan yang menjadi hak miliknya dari seorang budak, maka dia wajib membebaskan dengan hartanya, bila tidak mampu, maka ditaksir harga budak tersebut dengan adil, lalu budak tersebut diberi kesempatan bekerja yang tidak memberatkan untuk menebus separo dirinya”. Apabila memerdekakan sebagian (separo) dari budak,    maka berlaku secara  keseluruhan, oleh karena pemerdekaan secara keseluruhan bila mampu adalah lebih afdlol.
(5)  Artinya barang siapa yang memiliki salah satu dari asal-usulnya (orang tuanya), bahkan sampai kakek dan nenek, atau cabangnya (anaknya), bahkan sampai cucu, maka langsung menjadi merdeka, berdasarkan kepemilikan. Dasarnya adalah hadits riwayat Muslim (1510), dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak kebaikan anak terhadap bapaknya, kecuali bila dia mendapati ayahnya menjadi budak lalu dia membelinya dan kemudian memerdekakannya”. Artinya pembelian terhadap ayahnya yang menjadi budak, sebagai sebab ayahnya menjadi merdeka, maka ayahnya menjadi merdeka sebab pembelian tersebut, dan tidak memerlukan penjelasan baru lagi. Dan  diqiyaskan kepada pembelian, sebab kepemilikan yang lain, seperti hibah, warisan dan sebagainya.
(6)  Hak miliknya. Tetap berada pada orang yang memerdekakan budak, tidak ada yang berhak menggugurkannya atau memindahkan dari padanya.  "الولاء" berasal dari kata: "الموالاة"  artinya: tolong menolong, atau pertolongan. Yang dimaksudkan hadk waris apabila tidak didapati ashobah dari hubungan nasab (keturunan). Hadits riwayat al Bukahry (444), dan Muslim (1504), dari A’isyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya walak itu adalah hak orang yang memerdekakan”. (Penerjemah: Misalnya Ahmad memerdekakan budak bernama Ali, kemudian Ali meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka Ahmad memiliki hak walak, yakni menjadi ashobah, apabila Ali tidak mempunyai ashobah berdasar nasab).
(7)  Menjadi hak orang yang memerdekakannya, apabila tidak ada ashobah dari nasab, seperti anak, ayah, atau saudara laki-laki. Dialah yang berhak memiliki harta warisan, serta kekuasaan  menerima diyat, serta hak menuntut dan sabagainya. Hadits riwayat al hakim (IV/341), dan dinyatakan shohih sanadnya: Rasulullah saw. bersabda: “Walak itu merupakan hubungan kekerabatan seperti hubungan kekerabatan karena nasab”.
(8)  Yakni ashobah dari al Mu’tiq (orang yang memerdekakan), setelah dia (mu’tiq) mati.
(9)  Mana yang paling dekat dari ashobah mu’tiq, itulah yang didahulukan dari yang lain.
(10)  Hadits riwayat al Bukahry (2398), dan Muslim (1506), dari Ibnu Umar ra. ai berkata: Rasulullah saw. melarangmenjual walak atau menghibahkannya.
(11)  Berasal dari kata:  "التدبير" yaitu: suatu ta’liq (pernytaan bersyarat) dari pemilik budak, untuk memerdekakan budaknya setelah dia mati, dinamakan mudabbar karena kematian merupakan dubur (dibelakang/sesudah kehidupan), atau kematian adalah akhir hayat atau penghabisan hayat.
(12)  Sepertiga dari harta peninggalan tuannya, setelah diambil untuk membayar hutang-hutangnya, oleh karena mudabbar  adalah ibadah sunnat yang bergantung kepada kematian, maka disamakan dengan wasiyat, yakni hanya sepertiganya. Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Umar ra. berkata: Mudabbar itu sepertiga dari harta peninggalan, riwayat ad Daroquthny (IV/138), dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya, maka menjadi hukum ijmak (Nihayah: III/116).
(13)  Hadits riwayat al Bukhary (2034), dan Muslim (997), dari Jabir bin Abdullah ra., bahwasanya seorang lelaki memerdekakan budaknya dengan cara menjadikannya mudabbar, lalu dia sangat membutuhkan, maka Rasulullah mengambilnya, dan bersabda: “Siapakah ayng mau membelinya dariku”. Maka Nu’aim bin Abdullah membeli budak tersebut, demikian … demikian. Maka uangnya dikembalikan kepadanya.
(14)  Tuannya masih memiliki hak untuk mengelolanya, menjualnya, menghibahkannya dan sebagainya, berdasarkan hadits di muka.
(15)   "الكتابة"  menurut bahasa: menyusun dan menyepakati, menurut syara’: suatu akad (perjanjian) untuk memerdekakan dengan suatu imbalan (kompensasi), dengan sayarat-syarat tertentu. Dengan lafadh tertulis. Dinamakan kitabah oleh karena budak itu termasuk bagian dari harta, untuk dipisahkan sampai merdeka. (Budak yang melakukan perjanjian tersebut disebut budak mukatab). Allah Ta’alaa berfirman: “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (menjadi mukatab), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui adanya kebaikan pada mereka” (an Nuur: 33). Maksud kebaikan pada mereka adalah: mereka mampu bekerja serta dapat dipercaya.
(16)  Kata:  "نجمان" adalah mutsanna (kata dua) dari  "نجم" (satu kali) atau bintang, "نجمان" (dua kali angsuran), yang menunjukkan waktu. Karena orang Arab menentukan waktu dengan   terbutnya bintang. Dengan memastikan jumlah harta yang harus diserahkan setiap waktu yang telah ditentukan.
(17)  Pengertian: "لازمة" (tetap), dia wajib meneruskan  akad kitabah tersebut,  tidak boleh membatalkannya atau menarik diri dari perjanian tersebut. Sedangkan:  "جائزة" (relatif/bebas), artinya bahwa bagi mukatab tidak wajib memeprtahankan perjanjian tersebut, dia berhak menarik kembali dan membatalkan akadnya, baik karena tidak mampu membayar angsuran atau tidak. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kebaikan mukatab, oleh karana akad kitabah itu disyari’atkan pada dasarnya untuk kemaslahatan budak.
(18)  Merelakan kepada budaknya sebagian harta (tuan) yang disepakati, untuk memudahkan bagi mukatab membayar angsuran. Allah Ta’alaa berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kamu” (an Nuur: 33).
(19)  Hadits riwayat Abu Dawud (3926), dari  Abdullah bin Amru ra. dari Nabi saw. beliau bersabda; “Budak mukatab adalah budak murni selama masih ada sisan angusran kitabahnya walaupun hanya satu dirham saja”.
(20)  Setelah melahirkan anaknya, maka  amat tersebut “ummul  walad”, dasarnya sebagaimana dijelaskan di dalam  hadits riwayat ad Daroquthny (IV/134),  dan al Baihaqy (X/348) dan dinyatakan shohih, terhenti   pada perkataan Umar ra. : Ummal walad  tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwaris, tuannya boleh menyetubuhinya selama dia masih hidup. Apabila dia (tuan) sudah mati, maka ummul walad menajdi merdeka. Dinyatakan shohih oleh Ibnul Qoththon, dan dinyatakan hadits ini marfu’. (Nihayah: III/121). Menurut Malik di dalam al Muwathok: II/776), bahwasanya Umar Ibnul Khothob ra. berkata: Semua ummmul walad yang melahirkan anak dari  tuannya, maka sesungguhnya tuannya tidak boleh menjualnya, atau menghibahkannya, atau mewariskannya, dia (tuan) boleh menyetubuhinya, apabila dia (tuan) mati, maka otomatis dia (amat) merdeka.
(21)  Sesudah ummul walad merdeka, apabila datang anak yang berasal dari ayah lainnya, maka anaknya menjadi merdeka seperti ibunya sesudah tuannya mati, oleh karena anak mengikuti status ibunya dalam hal kemerdekaan.
(22)  Oleh karena amat tersebut milik orang lain dan anaknya mengikuti ibunya.
(23)  Dikira dia amatnya sendiri, atau isterinya yang merdeka.
(24)  Sesudah disetubuhi karean hubungan pernikahan, misalnya: Dia menikahi seorang wanita budak, lalu menyetubuhinya, kemudian budak wanita itu melahirkan anaknya dari orang yang menikahinya, lalu budak itu dicerai (kembali ke tuannya), kemudian budak wanita yang mantan isterinya tersebut menjadi miliknya secara penuh, dengan cara membeli, atau hibah dan sebagainya.
(25)  Ini yang benar, dan yang paling benar adalah tidak menjadi ummul walad, selama dia tidak menyetubuhinya dan amat tersebut tidak mengandung, setelah menjadi miliknya secara penuh.
(26)  Sempurnalah kitab ini dengan fadlilah dari Allah Ta’alaa. Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. dan kepada seluruh keluarga beliau dan para sahabat beliau serta mendapatkan keselamatan.  "الحمد للـه رب العالمين" .