KITAB AL ITHQI
(MEMERDEKAKAN
BUDAK)(1)
Dianggap shah memerdekakan budak miliknya, oleh pemiliknya yang berhak
membelanjakan harta bendanya.(2)
Memerdekakan budak itu
berlaku menggunakan kalimat jelas atau kinayah (kalimat tidak
terang-terangan)(3)
Apabila memerdekakan sebagian dari seorang budak, maka berarti dia
merdeka secara keseluruhan. Apabila seorang anggota persekutuannya memerdekakan
sebagian budak milik bersama (dua orang), sedang dia dalam keadaan kaya,
maka berlaku kemerdekaan itu untuk sisanya, dia wajib membayar harga yang
menjadi hak teman serikatnya.(4)
Barang siapa yang memiliki budak, budak adalah salah seorang dari orang
tuanya, atau anaknya, maka dia memerdekakannya dari perbudakan.(5)
(Fasal): Walak adalah hak bagi orang yang telah
memerdekakan.(6) Hukumnya sebagai
ashobah, bila tidak ada ashobah di sisinya.(7)
Hak walak itu bisa dipindahkan kepada ahli waris orang yang memerdekakannya
dari kaum lelaki sebagai ashobah.(8) Tata
urutan ashobah dalam walak sama dengan tata urutan ashobah menurut nasab dalam
waris.(9) Walak itu tidak boleh diperjual
belikan dan tidak boleh pula dihibahkan.(10)
(Fasal): Barang siapa yang menyatakan kepada budaknya: “apabila saya
sudah mati, maka engkau merdeka”, maka dia (budak) dinamakan mudabbar.(11) Dia merdeka setelah tuannya mati,
dengan nilai sepertiga dari harta peninggalannya.(12) Dan diperbolehkan bagi pemilik
menjualnya pada saat ia masih hidup, dan gugurlah janji untuk menjadikannya
mudabbar.(13) Mudabbar itu hukumnya
masih sebagai budak selama tuannya masih hidup.(14)
(Fasal): Kitabah hukumnya sunnat: apabila hal itu diminta oleh
budak. Dan kondisi budak itu terpercaya dan mampu bekerja.(15) Dan tidak shah akad kitabah itu
kecuali dengan imbalan harta yang ditentukan, dapat dilaksanakan dengan cara
mengansur dengan waktu angsuran yang
ditentukan, paling sedikit dua kali angsunran.(16)
Akad kitabah itu ditinjau dari pihak tuan (pemilik budak) hukumnya
tetap (tidak bisa diralat), sedangkan dari pihak mukatab, hukumnya jaiz (bebas),
ia boleh membatalkannya kapan saja dia mau.(17)
Bagi mukatab diberikan hak untuk mengelola harta yang ada ditangannya.
(Fasal): Apabila seorang tuan (pemilik) menyetubuhi amatnya (budak
wanita), lalu hamil secara jelas janin sudah berbetuk manusia, maka haram bagi
tuannya untuk menjual, mengadaikan atau menghibahkannya. Dia hanya
diperbolehkan memperlakukannya sebagai pelayan dan untuk disetubuhi. Apabila
tuan mati, maka amat tersebut menjadi merdeka diperhitungkan dari harta peninggalan
kotor sebelum dipergunakan membayar hutang dan menunaikan wasiyat.(20) Dan anak-anaknya yang dari bapak
lain akan berstatus sama dengan kedudukannya (merdeka).(21)
Barang siapa yang menyetubuhi amat orang lain tanpa melalui pernikahan
yang shah, maka anak dari amat tersebut tetap menajdi budak pemiliknya,(22) apabila persetubuhan itu terjadi
karena syubhat,(23) maka anak yang
dilahirkan amat orang lain itu menjadi merdeka, dan orang yang menyetubuhinya
wajib membayar uang pengganti kepada tuan amat yang melahirkannya. Apabila
seorang memiliki amat yang sudah dicerai sesudah itu,(24) maka amat tersebut tidak menjadi
ummul walad karena persetubuhan dalam ikatan pernikahan. Dan bisa menjadi ummul
walad baginya dengan persetubuhan yang syubhat, menurut salah satu dari dua
pendapat.(25) Wallaahu a’lam.(26)
الحمد
لله رب العالمين.
Malang, Jum’at : 10 Januari 2006/10
Dzulhijjah 1427.
Penerjemah,
DRS. H. K U S N A N A.
(1) Yakni melepaskan hak kepemilikannya terhada
manusia, dan membebaskannya dari perbudakan, untuk mendekatkan diri kepada
Allah Ta’alaa. Telah jelas dianjurkannya perbuatan itu, dan dianggap sebagai
perbuatan sunnat oleh banyak nash baik dari al Qur’an maupun hadits. Adapun
nash dari al Qur’an, contohnya firman
Allah ta’alaa: “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu?Uaitu
memeredkakan budak” (al Balad: 11 – 13). Antara lain juga ayat tentang kafarat:
seperti kafarat pemnbunuhan, dhihar,
sumpah, sebagaimana yang telah anda ketahui. Adapun banyak hadits, antara lain:
hadits riwayat al Bukahry (2381)), dan Msulim (1509), dari Abi Hurairoh ra. ia
berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang
memerdekakan budak yang mukmin, maka bagi dia suatu kebebasan dari siksa neraka”.
Pengertian budak termasuk laki-laki dan wanita. Dan Rasulullah memerintahkan
memerdekakan budak ketika terjadi bencana. Hadits riwayat al Bukhary (2383),
dari Asmak bin Abi Bakar ra. ia berkata: Nabi saw. memerintahkan untuk
memerdekakan budak ketika terjadi
gerhana matahari.
(2) Artinya dia memiliki hak mutlak mengelola
harta miliknya, yakni setiap orang yang baligh, berakal sehat, tidak mahjur
(dibatasi hak-haknya), karena bodoh, atau karena bangkrut, oleh karena
memerdekan budak itu merupakan perbuatan sunnat. Dan tidak sah berbuat ibadah
sunnat, kecuali oleh orang yang memenuhi sifat tersebut (mukallaf).
(3) Semua ungkapan yang mengandung pengertian
pelepasan kepemilikan, atau munculnya isyarat perpisahan. Misalnya menyatakan:
“Saya sudah bukan lagi penguasa atas kamu” atau “engkau merdeka” atau “Sudah
tidak kewajiban atasmu melayani aku” dan sebagainya.
(4) Apabila orang yang memerdekakan sebagian budak
sebagai ahknya tadi tidak mampu untuk memerdekakan sisanya, maka budak tersebut
diberi kesempatan untuk bekerja agar mampu menebus separo harga dirinya yang
belum merdeka, untuk diserahkan kepada teman perserikatannya, sehingga budak
tersebut dapat merdeka secara sempurna. Hadits riwayat al Bukhary (2386), dan
Muslim (1501), dan lainnya, dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Rasulullah
saw.bersabda: “Barang siapa yang memerdekakan budak dalam persekutuan, dan dia
memiliki harta cukup untuk membeli budak tersebut, maka hendaklah ahrga budak
tersebut ditaksir dengan secara obyektif (adil), kemudian dia memberikan bagian
teman sarikatnya, maka budak tersebut menjadi merdeka. Bila tidak demikian,
maka budak tersebut merdeka sebatas hak orang yang memerdekaknnay (mungkin
hanya setengah merdeka). Hadits riwayat al Bukahry (2360), dan Muslim (1503),
dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barang
siapa yang memerdekakan yang menjadi hak miliknya dari seorang budak, maka dia
wajib membebaskan dengan hartanya, bila tidak mampu, maka ditaksir harga budak
tersebut dengan adil, lalu budak tersebut diberi kesempatan bekerja yang tidak
memberatkan untuk menebus separo dirinya”. Apabila memerdekakan sebagian
(separo) dari budak, maka berlaku
secara keseluruhan, oleh karena
pemerdekaan secara keseluruhan bila mampu adalah lebih afdlol.
(5) Artinya barang siapa yang memiliki salah satu
dari asal-usulnya (orang tuanya), bahkan sampai kakek dan nenek, atau cabangnya
(anaknya), bahkan sampai cucu, maka langsung menjadi merdeka, berdasarkan
kepemilikan. Dasarnya adalah hadits riwayat Muslim (1510), dan lainnya, dari
Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak kebaikan anak
terhadap bapaknya, kecuali bila dia mendapati ayahnya menjadi budak lalu dia
membelinya dan kemudian memerdekakannya”. Artinya pembelian terhadap ayahnya
yang menjadi budak, sebagai sebab ayahnya menjadi merdeka, maka ayahnya menjadi
merdeka sebab pembelian tersebut, dan tidak memerlukan penjelasan baru lagi.
Dan diqiyaskan kepada pembelian, sebab
kepemilikan yang lain, seperti hibah, warisan dan sebagainya.
(6) Hak miliknya. Tetap berada pada orang yang
memerdekakan budak, tidak ada yang berhak menggugurkannya atau memindahkan dari
padanya. "الولاء" berasal dari kata: "الموالاة" artinya: tolong menolong,
atau pertolongan. Yang dimaksudkan hadk waris apabila tidak didapati ashobah
dari hubungan nasab (keturunan). Hadits riwayat al Bukahry (444), dan Muslim
(1504), dari A’isyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
walak itu adalah hak orang yang memerdekakan”. (Penerjemah: Misalnya Ahmad
memerdekakan budak bernama Ali, kemudian Ali meninggal dunia dan meninggalkan
harta, maka Ahmad memiliki hak walak, yakni menjadi ashobah, apabila Ali tidak
mempunyai ashobah berdasar nasab).
(7) Menjadi hak orang yang memerdekakannya,
apabila tidak ada ashobah dari nasab, seperti anak, ayah, atau saudara
laki-laki. Dialah yang berhak memiliki harta warisan, serta kekuasaan menerima diyat, serta hak menuntut dan
sabagainya. Hadits riwayat al hakim (IV/341), dan dinyatakan shohih sanadnya:
Rasulullah saw. bersabda: “Walak itu merupakan hubungan kekerabatan seperti
hubungan kekerabatan karena nasab”.
(8) Yakni ashobah dari al Mu’tiq
(orang yang memerdekakan), setelah dia (mu’tiq) mati.
(9) Mana yang paling dekat dari ashobah mu’tiq,
itulah yang didahulukan dari yang lain.
(10) Hadits riwayat al Bukahry (2398), dan Muslim
(1506), dari Ibnu Umar ra. ai berkata: Rasulullah saw. melarangmenjual walak
atau menghibahkannya.
(11) Berasal dari kata: "التدبير" yaitu:
suatu ta’liq (pernytaan bersyarat) dari pemilik budak, untuk
memerdekakan budaknya setelah dia mati, dinamakan mudabbar karena kematian
merupakan dubur (dibelakang/sesudah kehidupan), atau kematian adalah akhir
hayat atau penghabisan hayat.
(12) Sepertiga dari harta peninggalan tuannya,
setelah diambil untuk membayar hutang-hutangnya, oleh karena mudabbar adalah ibadah sunnat yang bergantung kepada
kematian, maka disamakan dengan wasiyat, yakni hanya sepertiganya. Diriwayatkan
bahwasanya Ibnu Umar ra. berkata: Mudabbar itu sepertiga dari harta
peninggalan, riwayat ad Daroquthny (IV/138), dan tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya, maka menjadi hukum ijmak (Nihayah: III/116).
(13) Hadits riwayat al Bukhary (2034), dan Muslim
(997), dari Jabir bin Abdullah ra., bahwasanya seorang lelaki memerdekakan
budaknya dengan cara menjadikannya mudabbar, lalu dia sangat membutuhkan, maka
Rasulullah mengambilnya, dan bersabda: “Siapakah ayng mau membelinya dariku”.
Maka Nu’aim bin Abdullah membeli budak tersebut, demikian … demikian. Maka
uangnya dikembalikan kepadanya.
(14) Tuannya masih memiliki hak untuk mengelolanya,
menjualnya, menghibahkannya dan sebagainya, berdasarkan hadits di muka.
(15) "الكتابة" menurut bahasa: menyusun
dan menyepakati, menurut syara’: suatu akad (perjanjian) untuk memerdekakan
dengan suatu imbalan (kompensasi), dengan sayarat-syarat tertentu. Dengan
lafadh tertulis. Dinamakan kitabah oleh karena budak itu termasuk bagian dari
harta, untuk dipisahkan sampai merdeka. (Budak yang melakukan perjanjian
tersebut disebut budak mukatab). Allah Ta’alaa berfirman: “Dan budak-budak
yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (menjadi mukatab),
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui adanya
kebaikan pada mereka” (an Nuur: 33). Maksud kebaikan pada mereka adalah: mereka
mampu bekerja serta dapat dipercaya.
(16) Kata: "نجمان"
adalah mutsanna
(kata dua) dari "نجم" (satu kali) atau bintang, "نجمان" (dua kali angsuran), yang menunjukkan waktu. Karena orang Arab
menentukan waktu dengan terbutnya
bintang. Dengan memastikan jumlah harta yang harus diserahkan setiap waktu yang
telah ditentukan.
(17) Pengertian: "لازمة" (tetap), dia wajib meneruskan
akad kitabah tersebut, tidak
boleh membatalkannya atau menarik diri dari perjanian tersebut. Sedangkan: "جائزة"
(relatif/bebas), artinya bahwa bagi mukatab tidak wajib memeprtahankan
perjanjian tersebut, dia berhak menarik kembali dan membatalkan akadnya, baik
karena tidak mampu membayar angsuran atau tidak. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin kebaikan mukatab, oleh karana akad kitabah itu disyari’atkan pada
dasarnya untuk kemaslahatan budak.
(18) Merelakan kepada budaknya sebagian harta
(tuan) yang disepakati, untuk memudahkan bagi mukatab membayar angsuran. Allah
Ta’alaa berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepada kamu” (an Nuur: 33).
(19) Hadits riwayat Abu Dawud (3926), dari Abdullah bin Amru ra. dari Nabi saw. beliau
bersabda; “Budak mukatab adalah budak murni selama masih ada sisan angusran
kitabahnya walaupun hanya satu dirham saja”.
(20) Setelah melahirkan anaknya, maka amat tersebut “ummul walad”, dasarnya sebagaimana dijelaskan
di dalam hadits riwayat ad Daroquthny
(IV/134), dan al Baihaqy (X/348) dan
dinyatakan shohih, terhenti pada
perkataan Umar ra. : Ummal walad tidak
boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwaris, tuannya boleh
menyetubuhinya selama dia masih hidup. Apabila dia (tuan) sudah mati, maka
ummul walad menajdi merdeka. Dinyatakan shohih oleh Ibnul Qoththon, dan
dinyatakan hadits ini marfu’. (Nihayah: III/121). Menurut Malik di dalam al
Muwathok: II/776), bahwasanya Umar Ibnul Khothob ra. berkata: Semua ummmul
walad yang melahirkan anak dari tuannya,
maka sesungguhnya tuannya tidak boleh menjualnya, atau menghibahkannya, atau
mewariskannya, dia (tuan) boleh menyetubuhinya, apabila dia (tuan) mati, maka
otomatis dia (amat) merdeka.
(21) Sesudah ummul walad merdeka, apabila datang
anak yang berasal dari ayah lainnya, maka anaknya menjadi merdeka seperti
ibunya sesudah tuannya mati, oleh karena anak mengikuti status ibunya dalam hal
kemerdekaan.
(22) Oleh karena amat tersebut milik orang lain dan
anaknya mengikuti ibunya.
(23) Dikira dia amatnya sendiri, atau isterinya
yang merdeka.
(24) Sesudah disetubuhi karean hubungan pernikahan,
misalnya: Dia menikahi seorang wanita budak, lalu menyetubuhinya, kemudian
budak wanita itu melahirkan anaknya dari orang yang menikahinya, lalu budak itu
dicerai (kembali ke tuannya), kemudian budak wanita yang mantan isterinya
tersebut menjadi miliknya secara penuh, dengan cara membeli, atau hibah dan sebagainya.
(25) Ini yang benar, dan yang paling benar adalah
tidak menjadi ummul walad, selama dia tidak menyetubuhinya dan amat tersebut
tidak mengandung, setelah menjadi miliknya secara penuh.
(26) Sempurnalah kitab ini dengan fadlilah dari
Allah Ta’alaa. Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw. dan kepada seluruh keluarga beliau dan para sahabat beliau serta
mendapatkan keselamatan. "الحمد للـه رب
العالمين" .