Rabu, 23 Desember 2015

KITAB AL AIMAN WAN NUDZUR ( At-Tadzhib Fi Adillati Matni Ghayah Wa Taqrib )

KITAB AL AIMAN WAN NUDZUR

(SUMPAH DAN NADZAR)

Sumpah itu tidak sah, kecuali dengan nama Allah Ta’alaa, atau dengan salah satu nama dari nama-nama-Nya, atau dengan salah satu sifat dari sifat-sifat-Nya.(1)

Barang siapa yang bersumpah untuk mnyedekahkan hartanya,(2) maka dia diberi hak memilih antara menyedekahkan hartanya,(3) atau dia membayar kafarat sumpahnya.(4) Dan tidak berarti apa-apa sumpah yang lagho (main-main).(5)

Barang siapa yang bersumpah, bahwa dia tidak akan melakukan sesuatu, kemudian dia menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu tersebut, maka dia tidak melanggar sumpahnya,(6) dan barang siapa bersumpah tidak akan melakukan dua hal, kemudian dia melakukan salah satu dari dua hal tersebut, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah.(7)

Kafarat sumpah(8) dia boleh memilih antara tiga macam alternatif: (a) memerdekakan budak yang mukmin, atau (b) memberi makan kepada sepuluh orang miskin masing-masing satu mud, atau pakaian masing-masing satu baju, atau (c) bila tidak mampu, maka berpuasa selama tiga hari.(9)

(Fasal): Nadzar itu menjadi wajib sebagai imbalan (kompensasi) atas keberhasilan suatu perbuatan, baik yang mubah atau ibadah,(10) misalnya seorang menyatakan: “Apabila Allah menyembuhkan saya dari sakit, maka hak Allah berada pada saya, yakni saya akan akan melakukan sholat, atau puasa, atau bersedekah. Dan wajib bagi dia untuk melakukan jenis perbuatan yang diucapkan.(11)

Tidak diperbolehkan bernadzar dalam hal perbuatan ma’siyat, misalnya orang menyatakan: Apabila saya dapat membunuh si Fulan, maka hak Allah pada saya demikian”.(12) Dan tidak shah (tidak wajib dipenuhi) nadzar akan meninggalkan perbuatan mubah, seperti pernyataan: “Saya tidak makan daging dan tidak minum susu”, dan yang sejenisnya.(13)



(1)  Kata:   "اليمين"  sama dengan "الحلف" artinya: sumpah, dinamakan demikian karena mereka apabila bersumpah masing-masing pihak saling berpegang tangan kanan pihak lainnya. Pengertian tidak shah adalah: tidak menghasilkan bekas apa-apa  menurut syara’, kecuali bila menunjukkan yang bersangkut paut dengan dzat Allaah Ta’alaa, misalnya dengan ucapan:  "والله" (demi Allah), atau dengan nama khusus dari Allah, misalnya mengucapkan:  "والإلـه" (demi Tuhan), atau: "ومالك يوم الدين" (demi penguasa pada hari pembalasan), atau dengan salah sifat Allah, seperti mengucapkan:  "والرحمن" (demi Yang Maha Pengasih), atau:  "والحي الذى لا يموت" (demi Yang Maha Hdiup dan tidak mati), dan sebagainya. Sumpah tidak sebagaimana yang disebutkan di muka hukumnya haram dan  dianggap bermaksiyat kepada Allah. Dasarnya adalah hadits riwayat al Bukhary (6270), dan Muslim (1646), dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw. mendapati Umar Ibnul Khothob ketika dia sedang berkendaraan, dia bersumpah dengan menyebut nama bapaknya. Maka beliau bersabda: “Ketahuilah sesunguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan nama bapakmu, barang siapa yang bersumpah, hendaklan bersumpah dengan nama Allah, atau diam”. Hadits riwayat al Bukhary (6253), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Sumpah Nabi saw.:  "لا ومقلب القلوب"  (tidak, demi yang membolak balikkan hati). Dan cukup banyak hadits dalam riwayat al Bukhary (6254, 6255), dan lainnay, bahwasanya Rasululah saw. dalam sumpah, beliau mengucapkan:   "والذى نفسى بيده, والذى نفس محمد بيده" (Demi Dzat di mana diriku berada dalam genggaman-Nya atau Demi Dzat di mana diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya). Dimakruhkan bersumpah tanpa ada keperluan apa-apa, firman Allah Ta’alaa: “Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertaqwa dan mengadakan islah di antara manusia”. (al Baqoroh: 224). Hadits riwayat al Bukahry (1981), dan Muslim (1606), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sumpah untuk mempromosikan dagangan, menghilangkan barokah”
(2)  Misalnya dia menyatakan: “Milik Allah padaku aku akan menyedakahkan hartaku, apabila saya sampai berbuat demikian”, misal lain: “Saya akan berpuasa satu hari” dan sebagainya. Yang demikian itu disebut sumpah:  "اللجاج والغضب" (larangan dan kemurkaan) juga dinamakan dengan nadzar lajaj wal ghodlob, karena sumpah ini serupa dengan nadzar, yakni mewajibkan dirinya untuk berkurban, serupa dengan sumpah dari sisi penguatan dalam hal melarang perbuatan atau untuk meninggalkannya. Dan hal ini lebih dekat dengan nadzar, karean disandarkan kepada larangan, - yakni secara terus menerus dalam pertentangan – dan disandarkan pula dengan kemurkaan, oleh karena pada umumnya menghasilkan kedua-duanya.
(3)  Yakni menyedekahkan hartanya, atau memenuhi apa yang wajib ia lakukan dari ibadah yang ia janjikan.
(4)  Berdasarkan hadits riwayat Muslim (1645), dari Uqbah bin Amir ra., dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Kafarat nadzar sama dengan kafarat sumpah”. An Nawawy rohimahullah menyatakan: Ulama berbeda pendapat tentang maksudnya. Jumhur ulama  golongan kami membawanya sebagai nadzar lajjaj (larangan), di melarang dirinya untuk berbicara kepada Zaid misalnya: “Apabila saya berbicara dengan Zaid – misalnya – maka milik Allah berada pada saya yakni ibadah haji” atau   lainnya. Ternyata dia pada suatu ketika berbicara dengan Zaid, maka dia boleh memilih antara  membayar kafarat sumpahnya atau melaksanakan janji dalam sumpahnya. Ini yang benar menurut madzhab kami (Syarah Muslim: XI/104).
(5)  Yakni sumpaah yang terucap di oleh lidah (mulut) tetapi tidak ada niyat untuk bersumpah, atau berniyat sumpah terhadap sesuatu, tetapi yang terucap oleh lidahnya (mulutnya) terhadap yang lain. Maka sumpah semacam ini tidak wajib membayar kafarat dan tidak berdosa, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan oleh sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hatimu”. (al Baqoroh: 225). Pengertian disengaja di sini adalah: diniyatkan dalam hati. A’isyah ra. berkata: Ayat tersebut diturunkan karena sabda beliau:   "لا والله, بلى والله" (Tidak, demi Allah atau Benar, demi Allah), diriwayatkan oleh al Bukhary (6276). Hadits riwayat Abu Dawud (3254), dan Ibnu Majah (1187), dari Athok tentang sumpah yang main-main, ia berkata: A’isyah ra. berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Yaitu ucapan seorang laki-laki di rumahnya:  "كلا والله, وبلى والله" (Tidak, demi Allah, atau ya, demi Allah).
(6)  Kata :  "يحنث" berasal dari  "الحنث" artinya: tidak memenuhi apa yang diwajibkan atas sumpahnya,  "الحنث"  pada  asalanya berarti dosa. Tidak berdosa  dalam bentuk sebagaimana yang dijelaskan, oleh karena dia tidak melaksanakan sesuatu itu secara langsung, perbuatan itu disandarkan kepada pelaku langsungnya (orang yang disuruh), sebab dia bersumpah tidak melakukan sesuatu sebagai perbuatan dirinya sendiri, maka tidak berdosa bil;a menggunkan tenaga orang lain.
(7)  Seperti bila orang bersumpah: “Tidak akan memakai dua pakain ini”, atau “tidak akan berbicara dengan Zaid dan Umar”, ternyata pada satu saat diamemakai salah satu dari baju tersebut, atau dia berbicara dengan Zaid saja”, maak dia tidak melanggar sumpah, oleh karena sumpahnya satu untuk bersatunya dua hal. Tetapi apabila dia menyatakan: “Saya tidak akan memaki baju ini dan tidak pula baju ini”, atau “Saya tidak akan berbicara dengan Zaid , dan tidak pula dengan Umar”, maka dia dianggap melanggar sumpah bila ternyata memakai salah satu dari dua baju tersebut, atau berbicara dengan salah satu dari dua orang tersebut, oleh karena diulangnya kata “tidak” (nafi), berarti yang dimaksudkan adalah masing-masing dari keduanya, bahwa yang dimaksudkan oleh sumpah adalah satu persatu.
(8)  Artinya sumpah yang shah, yakni yang diucapkan oleh lisannya, dan diniyatkan dalam hati, apabila ternyata tidak dilakukannya, maka dia wajib membayar kafarat (sangsi denda), berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja”. (al Maidah: 89). Pengertian:  "عقدتم الأيمان" (sumpah yang kamu sengaja, atau sumpah yang kamu perkuat), bersarkan firman Allah Ta’alaa: “Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah kamu yang disengaja dalam hatimu”. (al Baqoroh: 225). Hal ini bisa berlaku di amsa lampau atau yang akan datang, apabila berlaku untuk masa lampau berarti dia bohong, dan itu disebut dengan sumpah  "الغموس" (al ghomus) atau sumpah malapetaka dan itu termasuk dosa besar, di dalmnya terdapat dosa yang berkaitan dengan kewajiban membayar kafarat. Dinamakan dengan al ghomus oleh karena yang bersumpah diancam akan dimasukkan ke dalam neraka, apabila dia tidak bertaubat dari sumpah bohong itu. Hadits riwayat al Bukahry (6298) dari Abdullah bin Amru ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Dosa besar adalah: menyekutukan Allah, melawan kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah ghomus”.
(9)  Mud adalah takaran berbentuk kubus yang sisi-sisinya 9,2 cm, kira-kira isinya 600 gram. Pakaian adalah yang biasa dipakai masyarakat umum, bila tidak  mampu memerdekakan budak atau memberi pakaian, maka berpuasa selama tiga hari, tanpa dituntut secara berturut-turut. Dasar dari kafarat ini adalah firman Allah Ta’alaa: “Maka kafarat pelanggaran sumpah itu, ialah memberi makan kepada sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafaratnya berpuasa selama tiga  hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpahmu  bila kamu melanggar sumpah. Memerdekakan budak artinya memmebasakan seorang dari perbudakan baik laki-laki atau wanita. Terkait  pula dengan sumpah ketika membahas kafarat pembunuhan dan dhihar, perhatikan CK. No: 58 Kitab Nikah, dan CK. no: 29 Kitab Jinayat. Pengertian: "اذا حلفتم" : apabila tidak bisa memenuhi sumpahkamu.
(10)  Artinya shah suatu nadzar dan menjadi wajib atas segala konsekwensinya, dan wajib dipenuhi. Apabila seorang mewajibkan dirinya untuk berbuat ibadah, sebagai imbalan (rasa terima kasih) atas keberhasilannya dalam melakukan hal-hal yang mubah, atau yang menyenangkan dengan mendapatkan kenikmatan atau terbebasnya dari kejahatan. Nadzar menurut bahasa: janji, baik atau buruk, sedang menurut syara’: janji berbuat kebaikan tertentu, atau  keharusan berbuat ibadah yang tidak ada asal-usulnya dalam syara’. Nadzar ada dua macam: (1) nadzar lajaj wa ghodlob (mencegah diri dari berbuat sesuatu) sebagaimana yang telah dijelaskan pada CK. no: 1, dan  (2) nadzar tabarrur (akan berbuat baik), yakni dituntut sebab nadzar itu untuk melakukan kebaikan atau pendekatan diri kepada Tuhan (ibadah). Nadzar tabarrur ada dua macam: (a) dalam keadaan bergantung, wajib melakukan sesuatu kebaikan apabila berhasilnya suatu nikmat (kebahagiaan) atau hilangnya suatu niqmat (bencana), ini dinamakan: nadzar al mujaazah  atau nadzar al mukaf-ah (perwujudan rasa terima kasih) sebagaimana yang dijelaskan oleh Mushonnif (penyusun kitab) beserta contohnya, (b) tidak bergantung: misalnya dia mengucapkan: “Hak Allah pada saya, puasa, atau haji, atau lainnya”, maka dia wajib melakukan apa yang diikrarkan. Dasar disyari’atkannya nadzar serta wajib untuk dilaksanakannya adalah firman Allah Ta’alaa tentang sifat orang yang baik: “Mereka menunaikan nadzar dan tajut akan suatu hari yang adzabnya (siksanya) merata di mana-mana”. (ad Dahr/al Insan: 7), dan firman Allah Ta’alaa: “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka” (al haj: 29). Dan Rasulullah saw. mencela orang-orang yang tidak memenuhi sumpah mereka, sebagaimana hadits riwayat al Bukhary (2508), dan Muslim (2535), dari Umron bin Hushoin ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sesudah kamu nanti ada kaum (sekelompok masyarakat) yang berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bersaksi tetapi tidak dapat dipertanggung jawabkan persaksiannya, mereka bernadzar tetapi mereka tidak memenuhinya, yang tampak di kalangan mereka adalah manusia yang gemuk-gemuk, disebabkan terlalu banyak makan serta cukup istirahat, tetapi meninggalkan berjihad”. Ada yang menyatakan: itu sebagai simbul kemewahan kehidupan duniawi. Hadits riwayat al Bukahry (6318), dari A’isyah ra. dari Nabi saw.: “Barang siapa yang bernadzar akan berbuat taat kepada Allah, maka hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan barang siapa yang bernadzar akan berma’siyat kepada Allah, maka janganlah berma’siyat kepada-Nya”.
(11)  Yakni: nama perbuatannya: sholat, atau puasa, atau sedekah sesuai dengan syara’. Paling sedikit untuk sholat adalah dua roka’at, puasa paling sedikit satu hari, dan sedekah paling sedikit adalah yang pantas dianggap sebagai harta menurut syara’, hal ini apabila nadzar itu dengan kalimat mutlak (tanpa batas ketentuan), apabila dalam nadzar ditentukan jumlahnya, maka wajib dipenuhi sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
(12)  Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Dan barang siapa yang bernadzar akan berma’siyat kepada Allah, maka janganlah berma’siyat kepada-Nya”. Dan sabda beliau saw.: “Tidak shah nadzar dalam hal berma’siyat kepada Allah”, diriwayatkan oleh Muslim (1641). Artinya tidak diperhitungkan dan tidak berakibat apa-apa sumpah tersebut, kecuali apabila diniyatkan dalam hati bahwa itu sebagai sumpah, maka dia wajib membayar kafarat sumpah, perhatikan CK> no: 4).
(13)  Contoh meninggalkan perbuatan: bila orang bernadzar: akan makan, atau minum, atau memakai sesuatu. Yang menunjukkan demikian adalah hadits riwayat al Bukhary (6326), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Ketika Rasulullah saw. berkhotbah, ternyata beliau melihat seorang lelaki berdiri, maka beliau bertanya tentang dia. Para  sahabat menjawab: Dia adalah Abu Isroil, dia bernadzar akan berdiri terus tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan berpausa. Maka Nabi saw. bersabda: “Pewrintahkan dia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan menyempurnakan puasanya”. Yang demikian itu sebab berpuasa adalah sebagai ibadah, maka wajib dipenuhi bila dinadzarkan.