KITAB AL AIMAN WAN NUDZUR
(SUMPAH
DAN NADZAR)
Sumpah itu tidak sah, kecuali dengan nama Allah Ta’alaa, atau dengan
salah satu nama dari nama-nama-Nya, atau dengan salah satu sifat dari
sifat-sifat-Nya.(1)
Barang siapa yang bersumpah untuk mnyedekahkan hartanya,(2) maka dia diberi hak memilih antara
menyedekahkan hartanya,(3) atau
dia membayar kafarat sumpahnya.(4) Dan
tidak berarti apa-apa sumpah yang lagho (main-main).(5)
Barang siapa yang bersumpah, bahwa dia tidak akan melakukan sesuatu,
kemudian dia menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu tersebut, maka dia
tidak melanggar sumpahnya,(6) dan
barang siapa bersumpah tidak akan melakukan dua hal, kemudian dia melakukan
salah satu dari dua hal tersebut, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah.(7)
Kafarat sumpah(8) dia
boleh memilih antara tiga macam alternatif: (a) memerdekakan budak yang mukmin,
atau (b) memberi makan kepada sepuluh orang miskin masing-masing satu mud, atau
pakaian masing-masing satu baju, atau (c) bila tidak mampu, maka berpuasa
selama tiga hari.(9)
(Fasal): Nadzar itu menjadi wajib sebagai imbalan (kompensasi) atas
keberhasilan suatu perbuatan, baik yang mubah atau ibadah,(10) misalnya seorang menyatakan:
“Apabila Allah menyembuhkan saya dari sakit, maka hak Allah berada pada saya,
yakni saya akan akan melakukan sholat, atau puasa, atau bersedekah. Dan wajib
bagi dia untuk melakukan jenis perbuatan yang diucapkan.(11)
Tidak diperbolehkan
bernadzar dalam hal perbuatan ma’siyat, misalnya orang menyatakan: Apabila saya
dapat membunuh si Fulan, maka hak Allah pada saya demikian”.(12) Dan tidak shah (tidak wajib
dipenuhi) nadzar akan meninggalkan perbuatan mubah, seperti pernyataan:
“Saya tidak makan daging dan tidak minum susu”, dan yang sejenisnya.(13)
(1) Kata: "اليمين" sama dengan "الحلف" artinya: sumpah, dinamakan demikian karena mereka apabila
bersumpah masing-masing pihak saling berpegang tangan kanan pihak lainnya.
Pengertian tidak shah adalah: tidak menghasilkan bekas apa-apa menurut syara’, kecuali bila menunjukkan yang
bersangkut paut dengan dzat Allaah Ta’alaa, misalnya dengan ucapan: "والله" (demi
Allah), atau dengan nama khusus dari Allah, misalnya mengucapkan: "والإلـه" (demi
Tuhan), atau: "ومالك يوم الدين" (demi
penguasa pada hari pembalasan), atau dengan salah sifat Allah, seperti
mengucapkan: "والرحمن" (demi Yang Maha Pengasih), atau: "والحي الذى لا يموت" (demi Yang Maha Hdiup dan tidak mati), dan sebagainya. Sumpah
tidak sebagaimana yang disebutkan di muka hukumnya haram dan dianggap bermaksiyat kepada Allah. Dasarnya
adalah hadits riwayat al Bukhary (6270), dan Muslim (1646), dari Abdullah bin
Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw. mendapati Umar Ibnul Khothob ketika dia
sedang berkendaraan, dia bersumpah dengan menyebut nama bapaknya. Maka beliau
bersabda: “Ketahuilah sesunguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan nama
bapakmu, barang siapa yang bersumpah, hendaklan bersumpah dengan nama Allah,
atau diam”. Hadits riwayat al Bukhary (6253), dari Ibnu Umar ra. ia berkata:
Sumpah Nabi saw.: "لا ومقلب
القلوب" (tidak, demi yang membolak balikkan hati).
Dan cukup banyak hadits dalam riwayat al Bukhary (6254, 6255), dan lainnay,
bahwasanya Rasululah saw. dalam sumpah, beliau mengucapkan: "والذى نفسى بيده,
والذى نفس محمد بيده" (Demi Dzat di mana
diriku berada dalam genggaman-Nya atau Demi Dzat di mana diri Muhammad berada
dalam genggaman-Nya). Dimakruhkan bersumpah tanpa ada keperluan apa-apa, firman
Allah Ta’alaa: “Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai
penghalang untuk berbuat kebajikan, bertaqwa dan mengadakan islah di antara
manusia”. (al Baqoroh: 224). Hadits riwayat al Bukahry (1981), dan Muslim
(1606), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Sumpah untuk mempromosikan dagangan, menghilangkan barokah”
(2) Misalnya dia menyatakan: “Milik Allah padaku
aku akan menyedakahkan hartaku, apabila saya sampai berbuat demikian”, misal
lain: “Saya akan berpuasa satu hari” dan sebagainya. Yang demikian itu disebut
sumpah: "اللجاج والغضب" (larangan dan kemurkaan) juga dinamakan dengan nadzar
lajaj wal ghodlob, karena sumpah ini serupa dengan nadzar, yakni mewajibkan
dirinya untuk berkurban, serupa dengan sumpah dari sisi penguatan dalam hal
melarang perbuatan atau untuk meninggalkannya. Dan hal ini lebih dekat dengan
nadzar, karean disandarkan kepada larangan, - yakni secara terus menerus dalam
pertentangan – dan disandarkan pula dengan kemurkaan, oleh karena pada umumnya
menghasilkan kedua-duanya.
(3) Yakni menyedekahkan hartanya, atau memenuhi
apa yang wajib ia lakukan dari ibadah yang ia janjikan.
(4) Berdasarkan hadits riwayat Muslim (1645), dari
Uqbah bin Amir ra., dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Kafarat nadzar sama
dengan kafarat sumpah”. An Nawawy rohimahullah menyatakan: Ulama berbeda
pendapat tentang maksudnya. Jumhur ulama
golongan kami membawanya sebagai nadzar lajjaj (larangan), di
melarang dirinya untuk berbicara kepada Zaid misalnya: “Apabila saya berbicara
dengan Zaid – misalnya – maka milik Allah berada pada saya yakni ibadah haji”
atau lainnya. Ternyata dia pada suatu
ketika berbicara dengan Zaid, maka dia boleh memilih antara membayar kafarat sumpahnya atau melaksanakan
janji dalam sumpahnya. Ini yang benar menurut madzhab kami (Syarah Muslim:
XI/104).
(5) Yakni sumpaah yang terucap di oleh lidah
(mulut) tetapi tidak ada niyat untuk bersumpah, atau berniyat sumpah terhadap
sesuatu, tetapi yang terucap oleh lidahnya (mulutnya) terhadap yang lain. Maka
sumpah semacam ini tidak wajib membayar kafarat dan tidak berdosa, berdasarkan
firman Allah Ta’alaa: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan oleh sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hatimu”. (al Baqoroh: 225).
Pengertian disengaja di sini adalah: diniyatkan dalam hati. A’isyah ra.
berkata: Ayat tersebut diturunkan karena sabda beliau: "لا والله, بلى والله" (Tidak, demi Allah atau Benar, demi Allah), diriwayatkan oleh
al Bukhary (6276). Hadits riwayat Abu Dawud (3254), dan Ibnu Majah (1187), dari
Athok tentang sumpah yang main-main, ia berkata: A’isyah ra. berkata:
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Yaitu ucapan seorang laki-laki di
rumahnya: "كلا والله, وبلى
والله" (Tidak, demi Allah,
atau ya, demi Allah).
(6) Kata : "يحنث" berasal dari "الحنث" artinya: tidak memenuhi apa yang diwajibkan atas sumpahnya, "الحنث" pada
asalanya berarti dosa. Tidak berdosa
dalam bentuk sebagaimana yang dijelaskan, oleh karena dia tidak
melaksanakan sesuatu itu secara langsung, perbuatan itu disandarkan kepada
pelaku langsungnya (orang yang disuruh), sebab dia bersumpah tidak melakukan
sesuatu sebagai perbuatan dirinya sendiri, maka tidak berdosa bil;a menggunkan
tenaga orang lain.
(7) Seperti bila orang bersumpah: “Tidak akan
memakai dua pakain ini”, atau “tidak akan berbicara dengan Zaid dan Umar”,
ternyata pada satu saat diamemakai salah satu dari baju tersebut, atau dia
berbicara dengan Zaid saja”, maak dia tidak melanggar sumpah, oleh karena
sumpahnya satu untuk bersatunya dua hal. Tetapi apabila dia menyatakan: “Saya
tidak akan memaki baju ini dan tidak pula baju ini”, atau “Saya tidak akan
berbicara dengan Zaid , dan tidak pula dengan Umar”, maka dia dianggap
melanggar sumpah bila ternyata memakai salah satu dari dua baju tersebut, atau
berbicara dengan salah satu dari dua orang tersebut, oleh karena diulangnya
kata “tidak” (nafi), berarti yang dimaksudkan adalah masing-masing dari
keduanya, bahwa yang dimaksudkan oleh sumpah adalah satu persatu.
(8) Artinya sumpah yang shah, yakni yang diucapkan
oleh lisannya, dan diniyatkan dalam hati, apabila ternyata tidak dilakukannya,
maka dia wajib membayar kafarat (sangsi denda), berdasarkan firman Allah
Ta’alaa: “Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja”. (al Maidah: 89). Pengertian: "عقدتم الأيمان"
(sumpah yang kamu sengaja, atau sumpah yang kamu perkuat), bersarkan firman
Allah Ta’alaa: “Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah kamu yang
disengaja dalam hatimu”. (al Baqoroh: 225). Hal ini bisa berlaku di amsa lampau
atau yang akan datang, apabila berlaku untuk masa lampau berarti dia bohong,
dan itu disebut dengan sumpah "الغموس" (al ghomus) atau sumpah malapetaka dan itu
termasuk dosa besar, di dalmnya terdapat dosa yang berkaitan dengan kewajiban
membayar kafarat. Dinamakan dengan al ghomus oleh karena yang bersumpah
diancam akan dimasukkan ke dalam neraka, apabila dia tidak bertaubat dari
sumpah bohong itu. Hadits riwayat al Bukahry (6298) dari Abdullah bin Amru ra.,
dari Nabi saw. beliau bersabda: “Dosa besar adalah: menyekutukan Allah, melawan
kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah ghomus”.
(9) Mud adalah takaran berbentuk kubus yang
sisi-sisinya 9,2 cm, kira-kira isinya 600 gram. Pakaian adalah yang biasa
dipakai masyarakat umum, bila tidak mampu
memerdekakan budak atau memberi pakaian, maka berpuasa selama tiga hari, tanpa
dituntut secara berturut-turut. Dasar dari kafarat ini adalah firman Allah
Ta’alaa: “Maka kafarat pelanggaran sumpah itu, ialah memberi makan kepada
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Barang
siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafaratnya berpuasa
selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kafarat sumpahmu bila kamu melanggar
sumpah. Memerdekakan budak artinya memmebasakan seorang dari perbudakan baik
laki-laki atau wanita. Terkait pula
dengan sumpah ketika membahas kafarat pembunuhan dan dhihar, perhatikan CK. No:
58 Kitab Nikah, dan CK. no: 29 Kitab Jinayat. Pengertian: "اذا حلفتم" : apabila tidak bisa memenuhi sumpahkamu.
(10) Artinya shah suatu nadzar dan menjadi wajib
atas segala konsekwensinya, dan wajib dipenuhi. Apabila seorang mewajibkan
dirinya untuk berbuat ibadah, sebagai imbalan (rasa terima kasih) atas keberhasilannya
dalam melakukan hal-hal yang mubah, atau yang menyenangkan dengan mendapatkan
kenikmatan atau terbebasnya dari kejahatan. Nadzar menurut bahasa: janji,
baik atau buruk, sedang menurut syara’: janji berbuat kebaikan tertentu,
atau keharusan berbuat ibadah yang tidak
ada asal-usulnya dalam syara’. Nadzar ada dua macam: (1) nadzar lajaj wa
ghodlob (mencegah diri dari berbuat sesuatu) sebagaimana yang telah
dijelaskan pada CK. no: 1, dan (2)
nadzar tabarrur (akan berbuat baik), yakni dituntut sebab nadzar itu
untuk melakukan kebaikan atau pendekatan diri kepada Tuhan (ibadah). Nadzar tabarrur
ada dua macam: (a) dalam keadaan bergantung, wajib melakukan sesuatu kebaikan
apabila berhasilnya suatu nikmat (kebahagiaan) atau hilangnya
suatu niqmat (bencana), ini dinamakan: nadzar al mujaazah atau nadzar al mukaf-ah (perwujudan
rasa terima kasih) sebagaimana yang dijelaskan oleh Mushonnif (penyusun
kitab) beserta contohnya, (b) tidak bergantung: misalnya dia mengucapkan: “Hak
Allah pada saya, puasa, atau haji, atau lainnya”, maka dia wajib melakukan apa
yang diikrarkan. Dasar disyari’atkannya nadzar serta wajib untuk
dilaksanakannya adalah firman Allah Ta’alaa tentang sifat orang yang baik:
“Mereka menunaikan nadzar dan tajut akan suatu hari yang adzabnya (siksanya)
merata di mana-mana”. (ad Dahr/al Insan: 7), dan firman Allah Ta’alaa: “Dan
hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka” (al haj: 29). Dan
Rasulullah saw. mencela orang-orang yang tidak memenuhi sumpah mereka,
sebagaimana hadits riwayat al Bukhary (2508), dan Muslim (2535), dari Umron bin
Hushoin ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sesudah kamu
nanti ada kaum (sekelompok masyarakat) yang berkhianat dan tidak dapat
dipercaya, mereka bersaksi tetapi tidak dapat dipertanggung jawabkan
persaksiannya, mereka bernadzar tetapi mereka tidak memenuhinya, yang tampak di
kalangan mereka adalah manusia yang gemuk-gemuk, disebabkan terlalu banyak
makan serta cukup istirahat, tetapi meninggalkan berjihad”. Ada yang menyatakan:
itu sebagai simbul kemewahan kehidupan duniawi. Hadits riwayat al Bukahry
(6318), dari A’isyah ra. dari Nabi saw.: “Barang siapa yang bernadzar akan
berbuat taat kepada Allah, maka hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan barang
siapa yang bernadzar akan berma’siyat kepada Allah, maka janganlah berma’siyat
kepada-Nya”.
(11) Yakni: nama perbuatannya: sholat, atau puasa, atau
sedekah sesuai dengan syara’. Paling sedikit untuk sholat adalah dua roka’at,
puasa paling sedikit satu hari, dan sedekah paling sedikit adalah yang pantas
dianggap sebagai harta menurut syara’, hal ini apabila nadzar itu dengan
kalimat mutlak (tanpa batas ketentuan), apabila dalam nadzar ditentukan
jumlahnya, maka wajib dipenuhi sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
(12) Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Dan barang
siapa yang bernadzar akan berma’siyat kepada Allah, maka janganlah berma’siyat
kepada-Nya”. Dan sabda beliau saw.: “Tidak shah nadzar dalam hal berma’siyat
kepada Allah”, diriwayatkan oleh Muslim (1641). Artinya tidak diperhitungkan
dan tidak berakibat apa-apa sumpah tersebut, kecuali apabila diniyatkan dalam
hati bahwa itu sebagai sumpah, maka dia wajib membayar kafarat sumpah,
perhatikan CK> no: 4).
(13) Contoh meninggalkan perbuatan: bila orang
bernadzar: akan makan, atau minum, atau memakai sesuatu. Yang menunjukkan
demikian adalah hadits riwayat al Bukhary (6326), dari Ibnu Abbas ra. ia
berkata: Ketika Rasulullah saw. berkhotbah, ternyata beliau melihat seorang
lelaki berdiri, maka beliau bertanya tentang dia. Para sahabat menjawab: Dia adalah Abu Isroil, dia
bernadzar akan berdiri terus tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan
berpausa. Maka Nabi saw. bersabda: “Pewrintahkan dia untuk berbicara, berteduh,
duduk, dan menyempurnakan puasanya”. Yang demikian itu sebab berpuasa adalah
sebagai ibadah, maka wajib dipenuhi bila dinadzarkan.