DOKTOR MUSTHOFA DIIB
AL BAGHO
Doktor
di bidang Syari’ah (hukum) Islam.
AT TADZHIIB
Fii Adillati
MATNI AL GHOYAH WAT TAQRIIB
Yang
terkenal dengan nama:
MATNU ABI SUJAK
Fil Fiqhi As-Syafi’ie
Alih
bahasa oleh:
Drs.
H. K U S N A N A.
PRAKATA PENERJEMAH
بسم اللـه الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, sholawat
serta salam semoga terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. termasuk
keluarga beserta para sahabat beliau.
Remaja Masjid Da’watul Khoirot Sumbersari Malang
mendesak saya untuk membina mereka di bidang keagamaan khususnya dan
kemasyarakatan Islam pada umumnya. Saya memilih salah kitab ad Tadzhiib sebagai
bahan kajian utama, karena saya pandang kitab ini cukup lengkap padat dan
disertai dengan dalil-dalil dari al Qur’an, as Sunnah dan beberapa syarah dari
ahlinya.
Setelah berjalan beberapa kali pertemuan, maka
terlintas di benak saya untuk menerjemahkan kitab ini agar dimanfaatkan oleh
lebih banyak kalangan ummat Islam terutama generasi mudanya.
Penerjemahan ini secara keseluruhan berbahasa
Indonesia, keculi istilah fiqih yang baku tetap saya tampilkan dalam bahasa
aselinya agar ummat Islam terbiasa dengan istilah-istilah fiqih yang berlaku
umum. Di samping itu juga tetap saya tampilkan teks aselinya terhadap bacaan
atau do’a yang dipergunakan sehari-hari disertai dengan terjemahnya. Pada kitab
aselinya catatan kaki dibuat perhalaman, sedang dalam terjemahan ini catatan
kaki saya buat per-bab (kitab) dengan satu urutan nomor catatan kaki dengan
tetap memperhatikan urutan catatan kaki kitab aselinya, sehingga mudah untuk
mencocokkan kembali kepada kitab aselinya.
Saya menyadari sepenuhnya, bahwa penerjemahan ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kepada semua pemerhati saya mohon
kiranya berkenan memberikan kritik dan saran demi sempurnanya tulisan ini, dan
atas perkenannya saya ucapkan terima kasih.
Semoga usaha ini mendapatkan ridlo dari Allah swt.
Aamiin.
Malang, 10 Januari 2006/10 Dzulhijjah 1427.
Drs. H. Kusnan A.
بسم
اللـه الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah yang Maha Essa. Allah
berfirman dalam kitab-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin pergi semuanya ke medan persang, menagapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan dari mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama? (at Taubah: 122).
Sholawat dan salam terlimpah kepada orang yang
tiada Nabi sesudahnya (Muhammad saw.) yang bersabda: Barang siapa yang
dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik, niscaya akan diberikan faqih
(kefahaman) dalam hal agama. Muttafaq alaihi (disepakati oleh al Bukhary
dan Muslim). Dan semoga terlimpah kepada seluruh keluarga dan para sahabat
beliau, serta kepada siapapun mereka yang mengikuti dengan baik. Maka akan
diverikan kefahaman dalam soal agama oleh Allah, maka dia akan mengerti dan
mengajarkannya.
Waba’du (selanjutnya): Sesungguhnya kitab Matni al
Ghoyah wat Taqriib adalah diantara kitab fiqih as Syafi’ie yang baik penampilan
maupun isi kandungannya, dalam ukuran kecil sungguh mengandung seluruh bab
tentang fiqih yang penting hukumnya dan permasalahannya dalam peribadatan,
mu’amalat (kehidupan sehari-hari) dan lain-lain. Serta menggunakan gaya bahasa
yang mudah, serta susunan kalimat serta tata bahasa yang baik, sangat istimewa
dalam hal pembagian topik-topiknya. Memudahkan bagi orang yang berusaha
memahami agama Allah (tafaqquh fiddiin) untuk menguasai serta mengungkapkannya
kembali.
Keistimewaan kitab ini, mendapatkan sambutan yang
luas, karena anda akan mendapati pertemuan antara pencari ilmu dan ulama’, baik
ulama’ kuno maupun modern, mereka terangsang untuk menelaah, mempelajari,
memahami, menguasai, menjelaskan dan mensyarahnya (meperluas pembahasan).
Ketika ikhtisar yang ringkas ini mengedepankan hukum
fiqih tanpa adanya pertentangan pada dalil-dalinya (dasar hukumnya), dan
pencari ilmu zaman ini jiwanya kering dari pengambilan hukum syara’ yang
diperkuat dengan dalil-dalinya. Dan saya berharap untuk menjadi pelayan Agama
Allah untuk memajukan pemuda-pemuda muslim yang berbudaya tinggi. Dan setiap
seorang faqih berarti dia adalah menguasai ilmu fiqih. Kitab ini dicintai oleh
banyak orang dilengkapi dengan dalil-dalil yang mampu membuat mereka terbuka
mata hatinya terhadap agama mereka, menambah yakin terhadap kebenaran syari’at
mereka, memperkuat aqidah mereka, membuat tumakninah (tenang) dalam ibadah
mereka, istiqomah (tekun) untuk menyebarluaskan serta mengamalkannya.
Keutamaan yang diberikan oleh Allah kepadaku teramat
besar, ketika Allah memberikan taufiq kepadaku untuk melakukan amal perbuatan
ini, setelah saya bermusyawarah dengan para guru-guru saya yang mulya, di
bidang fiqih khususnya dan syari’at Islam pada umumnya, dan mereka memberikan
motivasi, dan memberikan harapan serta keberanian kepadaku untuk melakukannya.
Perbuatan saya terbatas pada memberikan dalil-dalil
naqli (dalil dari al Qur’an atau as Sunnah), terambil dari kitab-kitab hadits, atsarus
sahabat (perbuatan sahabat Nabi), sedikit sekali saya mengemukakan komentar
berdasarkan akal atau qiyash (analogi), kecuali hanya sesekali waktu saja. Dan
pada umumnya saya mengambil dalil-dalil dari kitab-kitab Madzhab, kecuali
apabila saya mendapati dalil yang lebih kuat dan lebih jelas, maka saya
menggantikan dengannya dan menjelaskannya.
Saya berusaha dalam diri saya, bahwa dalam
pengambilan dalil-dalil mnerujuk kepada sumber-sumber yang aseli, selama
memungkinkan dan khusus kitab-kitab hadits, untuk saya ambil ketentuan hukum
dari padanya. Dan saya berusaha menuliskan nomor hadits yang bersilisilah apabila saya dapatkan, atau
halaman serta juz di mana hadits tersbut terdapat. Jarang sekali saya berpegang
kepada sumber yang lain dalam mentakhrij (memilih) hadits. Adapun ayat-ayat al
Qur’an, maka saya jelaskan nomor serta nama suratnya, kemudian memperjelas
ketentuan yang ada dalilnya dengan memberikan komentar terhadadap lafadh yang
ghorib (asing), untuk mempermudah pemehamannya, serta memperjelas arah dari
pada dalilil dimaksud. Dalam hal ini kadang-kadang saya mengemukakan komentar
terhadap lafadh dari matan (naskah), atau menjelaskan sebagian ta’rif
(definisi/formula) apabila diperlukan, tetapi hal itu tidak secara terus
menerus, oleh karena saya tidak bermaksud mensyarah (mengomentari) kitab ini,
hanya sekedar untuk memperkaya pensyarahan.
Apabila saya jumpai pendapat yang dloif (lemah)
dalam matan ini, maka saya menjelaskan mana yang lebih shohih (benar dan lebih
kuat berdasarkan petunjuk kitab Madzhab yang terkenal. Sesekali waktu saya juga
mewmberikan isyarat kepada sumber sebagai rujukan
Saya menempatkan teks aselinya di lembaran bagian
atas, dan menempatkan hasil pekerjaan saya dalam catatan kakai yang bernomor di
halaman bagian bawah, dan saya namai dengan: At Tadzhiib fii adillati matni al
Ghoyatuh wat Taqriib.
Semoga Allah Ta’ala berkenan menjadikan amalanku ini
ikhlas semata-mata kerena-Nya, dan diterima sebagai amal jariyah bagiku dan
anak-anakku dan bagi siapa saja yang memiliki hubungan erat denganku,
sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu dan pantas untuk dikabulkan.
Musthofa Diib al Baghoo.
Malam Ahad: 21 Muharom 1398 H/ 1Januari 1978.
بسم اللـه الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga
Allah memberikan rahmat kepada penghulu kami Nabi Muhammad saw. dan kepada
seluruh keluarga beliau yang suci, dan kepada selururuh sahabat beliau.
Al Qodly Abu Syujak Ahmad bin al Husain bin Ahmad al
Ashfahaany rohimahullaah Ta’alaa berkata: Sebagian teman-temanku semoga mereka
dijaga oleh Allah Ta’alaa meminta kepadaku agar aku membuat ikhtisar tentang
fiqih berdasarkan madzhab Imam As Syafi’ie rohimahullahu Ta’alaa waridlwaanuhu
(semoga dirahmati dan diridloi oleh Allah Ta’alaa), dalam suatu ikhtisar yang
singkat dan padat, untuk mempermudah bagi penuntut ilmu untuk mempelajarinya, dan
untuk mempermudah bagi pemula untuk menghafalnya. Dan memperbanyak permasalahan
yang sangat dibutuhkan oleh orang banyak. Maka permintaan tersebut saya penuhi
sekaligus untuk mengharapkan pahala,
serta mengharapkan taufiq dari Allah untuk memncapai kebenaran, sesungguhnya
Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Dia Maha lemah lembut serta Maha mengetahui.
KITAB THOHAROH (BERSUCI)
Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci ada
tujuh macam: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air dari mata air, air
es dan air dingin(1)
Kemudian air itu terbagi menjadi empat kategori: (a).
air yang suci dan mensucikan tidak makruh, disebut dengan: air mutlak (aseli) (2)(b). air yang suci dan mensucikan
tetapi makruh, yakni air yang terjemur di panas matahari(3),
(c). air yang suci tetapi tidak mensucikan, yakni air bekas dipakai untuk
bersuci (4) atau air yang sudah berobah sifatnya
karena bercampur dengan zat suci lainnya(5), (d) air najis, yakni air yang di dalamnya terdapat
najis, di mana air tersebut volumenya kurang dari dua qullah(6), atau dua qullah tetapi air tersebut
berubah sifatnya. (7) Yang dimaksud dengan
dua qullah ialah kurang lebih sebanyak 500 rithil Bagdad.) (8)
(Fasal): Kulit bangkai hewan
dapat disucikan dengan cara disamak, (9)kecuali
kulit anjing dan babi (10), dan hewan hasil peranakan
dari keduanya atau salah satunya. Tulang bangkai dan rambut bangkai adalah
najis, kecuali tulang dan rambut manusia. (11)
(Fasal): Tidak diperbolehkan mempergunakan bejana
yang terbuat dari emas dan perak (12), dan
diperbolehkan mempergunakan bejana yang dibuat dari bahan dari keduanya. (13)
(Fasal): Bersiwak
(membersihkan mulut atau gigi) merupakan perbuatan yang disukai di setiap saat,
(14) kecuali sesudah saat tergelencirnya
matahari bagi orang yang sedang berpuasa. Ada tiga waktu yang sangat dianjurkan
bersiwa, yaitu: (a) ketika bau mulut berubah tidak enak disebabkan al azmu
(lama tidak berbicara) dan sebagainya, (15)
(b) ketika bangun dari tidur, (16) (c)
ketika akan melaksanakan sholat.(17) dan (d) ketika berdiri akan sholat. (18)
(Fasal): Fardlunya
(rukunnya) wudlu ada enam: Niyat ketika membasuh muka, membasuh muka, membasuh
kedua belah tangan sampai dengan siku-siku, mengusap sebagian kepala, membasuh
kedua belah kaki sampai dengan kedua matakaki, dan tertib sebagaimana urutan
penyebutan di atas(19). Dan
sunnatnya berwudlu ada sepuluh macam: membaca tasmiyah atau basmalah
(Bismillaahir Rohmaanir Rohiim)(20),
membasuh dua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana, berkumur,
istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali),
mengusap kepala secara keseluruhan (21),
mengusap dua telinga bagian luar maupun dalam dengan air yang baru(22), membasahi sela-sela janggot yang
tebal (23), membersihkan sela-sela jari dua
tangan beliau (takhlil) dan jari-jari kaki (24),
mendahulukan anggota wudlu sebelah kanan dari yang sebelh kiri (25), bersuci/membasuh anggota wudlu
tigakali tigakali (26), dan
muwalat (berturut-turut/kontinyu) (27)
(Fasal): Istinjak (bersuci)
sesudah buang air besar dan buang air kecil hukumnya wajib, yang afdlol
istinjak menggunakan bebatuan kemudian disusul dengan penggunaan air, dan
diperbolehkan bila hanya mencukupkan hanya dengan air saja atau dengan tiga
buah batu saja yang mampu membersihkan tempat keluarnya kotoran. Apabila orang
dalam istinjak hanya mencukupkan dengan salah satu dari keduanya, maka
menggunakan air lebih afdlol (28).
Ketika berhajat besar atau kecil hendaknya menjauhkan diri dari menghadap ke
arah qiblat atau membelakanginya bila berada di lapangan terbuka (29), dan hendaknya menjauhkan diri
berhajat besar atau kecil di air yang menggenang (tidak mengalir) (30), di bawah pohon yang berbuah, di
jalanan umum dan tempat berteduh (31), di
lobang (32),jangan berbicara ketika dalam
keadaan buang air kecil atau besar (33,dan
jangan menghadap ke arah matahari dan bulan atau membelakanginya (34).
(Fasal): Yang dapat
membatalkan wudlu ada enam hal: apa saja yang keluar dari dua jalan
(kubul/kemaluan dan dubur/pelepasan) (35),
tidur dalam posisi tidak tetap, hilang akal disebabkan mabuk atau sakit (36), bersentuhan kulit antara lelaki
dengan wanita ajnabiyah (bukan mahrom) tanpa ada penghalang (37), menyentuh kemaluan manusia
menggunakan telapak tangan bagian dalam (38),
menyentuh lingkaran lubang pelepasan, menurut qaul jadid. (39)
(Fasal): Hal-hal yang
mewajibkan mandi ada enam macam: tiga berada secara bersama antara laki-laki
dan wanita, yakni: karena terjadinya
pertemuan dua kemaluan antara laki-laki dan wanita (persetubuhan) (40), keluarnya mani (41), mati (42). Dan tiga hal yang khusus hanya bagi
wanita saja, yakni: haid (menstruasi) (43),
nifas (44), dan wiladah (persalinan) (45).
(Fasal): Fardlunya
(rukunnya) mandi ada tiga macam: niyat (46),
menghilangkan najis yang melekat di badan (47),
membasahi dengan air seluruh rambut dan rambutnya.(48)Yang disunnat ketika mandi
ada empat hal: membaca basmalah(49),
berwudlu sebelum mandi(50),
menggosok badan menggunakan tangan(51),
dilakukan secara kontnyu(52), dan
mendahulukan anggota badan bagian kanan kemudian disusul bagian kiri.(53)
(Fasal): Mandi yang
disunnatkan ada 17 macam: mandi jum’at,(54)
dua hari raya,(55) sholat istisqok
(meminta hujan), gerhana bulan dan gerhana matahari,(56) mandi sesudah memandikan jenazah,(57) orang kafir yang masuk Islam,(58) orang yang gila atau pingsan apabila
sudah sadar kembali,(59)
mandi ketika akan ihrom,(60) akan
memasuki kota Makkah,(61) akan
wuquf di padang Arofah,(62) akan
bermalam di Muzdalifah, (63) akan
melontar tiga Jumrah, akan thowaf,(64)
dan akan sa’ie, ketika akan masuk kota Madinah.
(Fasal): Mengusap pada dua
sepatu diperbolehkan(65)
dengan tiga syarat: pemakaian sepatu dilakukan sesudah bersuci secara sempurna,(66) hendaknya dua sepatu tersebut dapat
menutup seluruh bagian kaki yang wajib dibasuh ketika berwudlu, hendaknya dua
sepatu tersebut memungkinkan bagi pemakainya untuk berjalan secara terus
menerus. Bagi orang yang mukim (tinggal di rumah) berhak mengusap dua sepatu
selama satu hari satu malam, sedang bagi orang ayng bepergian selama tiga hari
tiga malam,(67) dimulai perhitungan
waktunya sejak ia berhadats sesudah pemakaian dua sepatu, apanila mengusap
sepatu dalam keadaan hadir (dirumah) lalu dia pergi, atau mengusap sepatu dalam
keadaan bepergian kemudian dia mukim (dirumah), maka dianggap dia mengusap
dalam keadaan mukim.
Hal-hal yang membatalkan hak
mengusap sepatu ada tiga macam: karena melepas sepatunya, karena sudah habis
waktunya, dan terjadinya sesuatu yang mewajibkan dia mandi.(68)
(Fasal): Syarat-syarat
bertayammum ada lima macam: karena adanya udzur (halangan) yakni: karena
bepergian atau karena sakit,(69)
sudah masuk waktu sholat,(70)
sudah mencari air, berhalangan untuk memakai air, dan waktunya sudah sangat
mendesak sesudah berusaha mencari air. Mengunakan tanah yang berdebu, apabila
tercampur dengan kapur/gips atau pasir, maka tidak diperbolehkan.
Fardlu (rukun) tayammum ada
empat macam: niyat, mengusap muka, mengusap dua tangan sampai ke siku-siku, dan
tertib.(71)
Hal-hal yang disunnatkan
dalam tayammum adal tiga macam: membaca basmalah, mendahulukan bagian kanan
dari pada yang kiri, dan muwalat (berturut-turut).(72) Yang dapat membatalkan tayammum ada
tiga macam: semua hal yang membatalkan wudlu, melihat air di luar waktu sholat,(73) dan murtad.
pada pembalutnya, lalu bertayammum dan selanjutnya sholat, tidak wajib
mengulangi sholatnya selama ketika memakai pembalut dalam keadaan suci.(74)Bertayammum untuk setiap
kali sholat fardlu,(75)
diperbolehkan dengan satu kali tayammum untuk
sholat sunnat berapa kali saja dia mau.
(Fasal): Semua zat cair
(kental) yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) hukumnya najis,(76) kecuali mani.(77)
Membasuh semua air seni dan
kotoran hukumnya wajib,(78)
kecuali kencing bayi lelaki yang belum diberi makanan selain air susu ibunya,
sesungguhnya pensuciannya cukup dengan memercikkan air di atasnya.(79)
Tidak dimaafkan sesuatu
najis kecuali darah atau muntah yang sangat sedikit, dan bangkai hewan yang
tidak mengalirkan darah (serangga). Apabila hewan tersebut jatuh ke dalam suatu
bejana dan mati di dalamnya maka tidak menajiskan bejana tersebut.(80)
Hewan itu secara keseluruhan
suci,(81) kecuali anjing dan babi dan semua
hewan ayng diperanakkan dari kedua hewan tersebut atau salah satunya.(82) Bangkai seluruhnya najis, kecuali
bangkai ikan, dan belalang dan bangkai manusia.(83)
Dibasuh bejana yang terkena
air liur (jilatan) anjing dan babi sebanyak tujuh kali salah satunya mengunakan
tanah.(84) Dan semua najis yang lain dibasuh
cukup satu kali,(85)
Apabila khomer (arak)
berubah dengan sendirinya menjadi cuka, maka menjadi suci,(86) apabila perubahan menjadi cuka itu
diusahakan dengan cara memasukkan sesuatu zat kedalam khomer, maka khomer yang
sudah berubah tersebut tidak suci.(87)
(fasal): Darah yang keluar
dari farji wanita ada tiga macam: darah haid, darah nifas dan darah
istihaadloh. Darah haid adalah darah yang keluar dari farji wanita dalam
keadaan sehat bukan sebab wiladah (persalinan).(88)
Warna darah haid adalah merah kehitam-hitaman.(89) Nifas adalah darah yang keluar sesudah
wiladah (persalinan). Dan darah istihadloh adalah darah yang keluar bukan pada
saat-saat haid dan nifas.(90)
Paling sedikit waktu hadi
adalah satu hari satu malam, dan paling lama 15 hari, apda umumnya enam atau tujuh
hari. Dan paling sedikit nifas adalah sebentar saja, paling lama 60 hari, dan
pada umumnya selama 40 hari.
Paling sedikit masa wanita
suci antara du haid 15 hari, dan paling lama tidak ada batasan tertentu. Paling
sedikit usia wanita haid adalah umur sembilan tahun.(91)
Paling sedikit waktu wanita
hamil adalah enam bulan, dan paling lama empat tahun, pada umumnya sembilan
bulan.(92)
Diharamkan bagi wanita haid
dan nifas dalam delapan hal: melakukan sholat,(93)
berpuasa,(94) membaca al Qur’an,(95) menyentuh mus-haf (kitab al Qur’an)
dan membawanya, (96) masuk masjid,(97) thowaf,(98) bersetubuh,(99) bermesra-mesraan pada bagian antara
pusat dan lutut.(100)
Diharamkan bagi orang yang
sedang junub lima hal: melakukan sholat,(101)
membaca al Qur’an, menyentuh dan membawa al Qur’an, thowaf, dan diam di dalam
masjid.(102)
Bagi orang yang dalam
keadaan hadats diharam terhadap tiga hal: melakukan sholat, melkukan thowaf,
menyentuh mus-haf atau membawanya.(103)
(1) Kiranya dapat dinyatakan secara ringkas: Orang
bisa bersuci menggunakan air yang keluar dari bumi, atau yang turun dari
langit. Dan sebagai dasar diperbolehkannya bersuci dengan air tersebut adalah
ayat-ayat al Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’alaa: “Dia yang menurunkan
air dari langit kepadamu, agar kamu bersuci dengannya”. (al Anfaal: 11). Dan
banyak hadits, antara lain: hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra. ia
berkata: Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw. dengan ucapannya:
Wahai Rasulallah, kami naik sebuah perahu di lautan, dan kami hanya membawa
sedikit air. Apabila kami berwudlu menggunakan air tersebut, maka kami akan
kehausan. Apakah boleh kami berwudlu menggunakan air laut? Maka Rasulullah saw.
menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”, diriwayatakn oleh lima
perowi. At Tirmidzy menyatakan: Hadits ini Hasan. (Halal bangkainya: artinya
dapat dimakan apa yang mati dilautan, baik berupa ikan dan sejenisnya, tanpa
disembelih secara syar’ie).
(2) Dasar tentang kesucian air mutlak adalah hadits
yang diriwayatkan oleh al Bukhary (217) dan lainnya, dari Abu Hurairah ra. ia
berkata: Ada seorang Arab gunung berdiri dan kencing didalam masjid, maka orang
sama berdiri untuk memarahinya/mencelanya, maka Nabi saw. bersabda: “Biarkanlah
dia, dan tuangkan seember air di atas bekas temapt kencingnya. Sesungguhnya
kalian diutus agar mempermudah bukan diutus untuk mempersulit”.
(3) Dipanaskan dalam bejana terbuat dari logam di
terik panas matahari. Kemakruhannya berdasarkan suatu pendapat bahwa hal itu menyebabkan
penyakit lepra atau lebih berat dari itu, dan tidak dimakruhkan keculai apabila
dipergunakan untuk membersihkan badan, karena tetesan panasnya bagikan
pengikat.
(4) Untuk menghilangkan hadats, dan sebagai
dasar bahwa air tersebut masih suci adalah hadits yang diriwayatkan oleh al
Bukhary (191) dan Muslim (1616) dari Jabir
bin Abdullah ra. ia berkata: “Rasulullah saw. datang mengunjungi saya,
sedangkan saya dalam keadaan sakit tidak sadarkan diri, maka beliau berwudlu
dan menuangkan air bekas wudlu beliau”. Kalu air tersebut tidak suci, tentu
tidak mungkin disiramkan kepadanya. Adapun dasar yang menyatakan, bahwa air
tersebut tidak mensucikan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (283)
dan lainnya, dari Abi Hurairaoh ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Janganlah
seseorang di antara kamu mandi di air yang menggenang (tidak mengalir), padahal
dia dalam keadaan junub. Mereka bertanya: Wahai Abu Hurairaoh: Bagaimana cara
mandinya? Ia menjawab: Mengambil air menggunakan gayung. Faedah hadits tersebut:
bahwa mandi di dalam air tersebut
menghilangkan kesuciannya, bila tidak demikian, maka tidak mungkin beliau
melarangnya. Hal ini mengandung pengertian, bahwa air tersebut hanya sedikit.
Hukum berwudlu sama dengan hukum mandi, oleh karena maksudnya sama, yakni
menghilangkan hadats.
(5) Sesuatu yang suci yang biasanya air bisa
berobah karenanya, dan tidak mungkin untuk dipishkan kembali sesudah tercampur,
seperti: minyak wangi, garam dan sebagainya. Keberadaannya menjadi tidak
mensucikan, karena sudah dinamakan air dalam keadaan itu.
(6) Lima ahli perowi hadits meriwayatkan dari
Abdullah bin Umar ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. , ketika
beliau ditanya tentang air yang berada di tanah lapang, dan yang sering di
datangi oleh hewan buas (minum dll)? Maka beliau bersabda: “Apabila air
tersebut ada dua qullah, maka tidak menjadikan air tersebut najis”. Berdasarkan
hadits lafadh dari Abu Dawud (65): Maka sesungguhnya hal itu tidak membuat
menjadi najis. Maksud dari hadits di atas: bahwa apabila air tersebut kurang
dari dua qullah, maka manjadi najis sekalipun sifatnya tidak berubah. Yang
menunjukkan pemahaman tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
(278) dari Abu Hurairoh ra. bahwasannya Nabi saw. bersabda: “Apabila seseorang
dari kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah langusng memasukkan tangannya ke
dalam bejana yang berisi air sebelum dibersihkan terlebih dahulu, oleh karena
dia tidak tahu di mana tangannya ketika dia tertidur”. Beliau melarang orang
yang bangun dari tidur untuk memasukkan tangan ke dalam bejana karena
dikhawatirkan tangannya terkena najis
yang tidak terlihat secara jelas. Dan dimaklumi bahwa najis yang tidak tampak
tidak akan merubah sifat air. Apabila tidak karena menajiskan disebabkan
bertemunya tangan dengan air, mengapa beliau melarangnya berbuat demikian.
(7) Dasarnya adalah Ijmak (kesepakatan) ulama.
Dalam kitab al Majmuk Ibnul Mundzir menyatakan: Ulama sepakat bahwa air sedikit
atau banyak, apabila kejatuhan najis kemudian berubah rasa atau warna atau baunya,
maka air tersebut menjadi najis. Adapun hadits yang menyatakan bahwa: “Air suci
tidak bisa menjadi najis oleh sebab sesuatu zat, kecuali apabila berubah rasa
atau baunya”, adalah hadits dloif sanadnya> An Nawawi berbicara tentang hali
itu: Tidak sah berhujjah menggunakan hadits tersebut. Ia juga menyatakan: Imam
As Syafi’ie menukil tentang kedloifan hadits tersebut dari ahli ilmu hadits (al
Majmuk: 1/160).
(8) Yakni kira-kira sama dengan 190 liter, atau
sama dengan vule bejana kubus yang sisi-sisinya 58 cm. (dibulatkan 60 cm).
(9) Diriwayatkan
oleh Muslim (306) dari Abdullah bin Abbas ra. ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “Kulit bangkai apabila disamak, maka menjadi suci”.
Penyamakan berfungsi menghilangkan cairan yang bisa merusak kulit bila
didiamkan. Dan apabila sudah disamak kemudian terkena air, maka bakterinya
pembusuk tidak akan kembali lagi.
(10) Oleh karena kedua hewan tersebut najis sejak
masih hidup, maka bagian organ tubuhnya tidak dapat disucikan lagi setelah
menjadi bangkai adalah lebih tepat.
(11) Berdasarkan
firman Allah: Diharamkan bagi kami bangkai (al Maidah: 3). Yang dinamakan
bangkai adalah semua hewan yang hilang nyawanya tanpa disembelih menurut
syara’. Berdasarkan firman Allah: Diharamkan bagi kami bangkai (al Maidah: 3).
Yang dinamakan bangkai adalah semua hewan yang hilang nyawanya tanpa disembelih
menurut syara’. Termasuk dalam kategori ini ialah hewan tidak halal dimakan
dagingnya sekalipun sudah disembelih, seperti himar piaraan atau hewan yang
halal dimakan dagingnya tetapi penyembelihannya tidak
memenuhi syarat syar’ie, seperti hasil sembelihan orang yang murtad, selama
orang tidak dalam keadaan dlarurat. Menurut As Syafi’ie: Keharaman bangkai
sebagai dasar hukum kenajisannya. Oleh karena haram karena bukan berbahaya atau
karena pengormatan (pemulyaan) sebagai dalil (dasar) kenajisannya, dan kenajisannya meliputi seluruh bagian dari
organ tubuhnya. Adapun bangkai manusia tidak najis hukumnya, demikian pula
bagian dari organ tubuh bangkai manusia, berdasarkan firman Allah: “Dan sungguh
kami telah memulyakan anak keturunan Adam” (al Isrok: 70). Ayat ini
menghilangkan menolak pendapat yang menyatakan bahwa manusia menjadi najis sesudah mati. Dan
menunjukkan bahwa haram hukumnya memakan daging bangkai manusia, karena
kemulyaannya.
(12) Diriwayatkan oleh al Bukhary (5110) dan Muslim
(2067) dari Hudzaifah ibnul Yaman ra. ia berkata: saya mendengar Rasulullah
saw. bersabda: “Jangan kalian memakai pakain dari bahan sutera dan sutera
tinggi, dan jangan minum menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak,
dan jangan makan menggunakan piring terbuat dari emas atau perak, oleh karena
bejana emas dan perak itu bagi mereka didunai, dan bagi kita di akhirat nanti”.
Keharaman tersebut mencakup kaum lelaki dan wanita.
(13) Suci, oleh karena pada dasarnya segala sesuatu
itu mubah (diperbolehkan) kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya.
(14) Diriwayatkan oleh an Nasaie (101/1) dan
lainnya dari A’isyah ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Bersiwak itu mensucikan
(membersihkan) mulut, dan diridloi oleh Tuhan”, dan diriwayatkan oleh al
Bukhary muallaq. Siwak adalah alat yang dimasukkan ke dalam mulut untuk
menggosok gigi, dan mutlak untuk dilakukan. Disunnatkan menggunakan semua benda
keras yang mampu menghilangkan kotoran pada gigi, atau ranting kayu arok
sebagaimana yang telah dikenal untuk sebagi siwak dan itu lebih afdlol.
(15) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al
Bukhary (1795) dan Muslim (1151) dari
Abu Hurairoh ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Sungguh al khuluf
(bau yang tidak sedap) dari mulut orang yang sedang berpuasa itu di sisi Allah
lebih harum dibandingkan dengan bau minyak wangi. Dan pada umumnya bau tersebut
muncul sesudah tergelincirnya matahari, dan bersiwak berarti menghilangkan bau
tak sedap tersebut, dan yang demikian itu hukumnya makruh.
(16) Al azmu (tidak bicara): berdiam diri cukup
lama, atau meninggalkan makan. Pengertian dan lainnya: seperti mengalami bau
mulut yang tidak disukai.
(17) Hadits diriwayatkan oleh al Bukhary (242) dan
Muslim (255) dan lainnya dari Hudzaifah ra. ia berkata: “Rasulullah saw.
apabila akan melaksanakan sholat malam, beliau memasukkan siwak ke dalam mulut
beliau”. Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud (57) dan lainnya dari A’isyah ra.:
“Bahwasanya Nabi saw. beliau tidak tidur baik siang atau malam, lalu beliau
bangun, kecuali beliau bersiwak sebelum berwudlu”.
(18) Demikian pula ketika beliau berwudlu, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh al Bukhary (847) dan Muslim (252) dan lainnya dari Abi Hurairoh
ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “ Seandainya tidak akan memberatkan bagi
ummatku niscaya saya perintahkan mereka untuk bersiwa setiap kali akan sholat”.
Dalam riwayat Ahmad (325/6): “Niscaya saya perintahkan mereka untuk bersiwak
setiap kali berwudlu”. Perintah ini mengandung hukum sunnat muakkad.
(19) Asal usul disyari’atkannya
berwudlu serta keterangan difardlukannya berwudlu: firman Allah: “Wahai
orang-orang yang berimanapabila kalian hendak mendirikan sholat maka basuhlah
muka kamu dan tangan kamu sampai dengan siku-siku dan usaplah pada bagian
kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai dengan dua matakaki” (al Maidah: 6).
Siku-siku dan matakaki termasuk wajib dibasuh, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim (246) dari Abi Hurairoh ra. bahwasanya ketika dia
berwudlu, dia membasuh mukanya dengan sempurna, lalu membasuh tangannya yang
kanan termasuk lengan bagian atas, lalu tangannya yang kiri termasuk lengan
bagian atas, lalu dia mengusap kepalanya, lalu dia membasuh kaki kanannya
termasuk betis, lalu membasuh kaki kirinya termasuk betis, kemudian dia
berkata: Demikianlah saya melihat Rasulullah saw. berwudlu. Pengertian “bi
ru-usikum” artinya cukup bila hanya sebagian dari kepala saja, dasarnya
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (274) dan lainnya dari al Mughiroh ra.,
bahwasanya Nabi saw. berwudlu mengusap pada bagian ubun-ubun beliau dan di atas
surban beliau. Ubun-ubun adalah bagian depan kepala, dan merupakan sebagian
dari kepala, dan mencukupkan hanya mengusap pada ubun-ubun menjadi dasar hukum
bahwa membasuh sebagian dari kepala hukumnya fardlu, dibagian kepala yang mana
saja. Dasar yang menunjukkan wajibnya berniyat di awal ketika berwudlu, dan di
mana saja dituntut adanya niyat adalah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary
(1) dan Muslim (1907) dari Unar Ibnul Khothob ra. ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang dianggap sebagai amal ibadah
adalah yang disertai dengan niyat”, artinya tidak dihitung sebagai amalan
menurut syara’ kecuali apabila disertai dengan niyat. Dasar tentang
difardlukannya tertib adalah perbuatan Nabi saw. yang terdapat dalam hadits
yang shohih, antara lain hadita Abu
Hurairoh ra. di atas. As Syafiie berkata di dalam kitab al Majmuk: sebagian
golongan kami berhujjah dari perbuatan Nabi saw. dengan hadits-hadits shohih,
dan terinci dari sejumlah sahabat Nabi
saw. tentang tatacara berwudlu Nabi saw. Mereka secara keseluruhan mencirikan
dengan tertib, dengan banyaknya sahabat dan banyaknyapula negeri yang
mengbetahui tentang hal itu, serta banyakan perbedaan tentang tatacara Nabi saw. berwudlu tentang
satu atau dua atau tiga kali dalam membasuh/mengusap, tetapi tidak ada
penjelasan yang bahwa Nabi berwudlu tidak secara tertib. Perbuatan Nabi saw.
sebagai penjelasan tentang bagaimana berwudlu yang diperintahkannya. Apabila
orang dalam berwudlu diperbolehkan meninggalkan tertib, niscaya di suatu
kesempatan beliau berwudlu tidak tertib, sebagai dasar bahwa boleh berwudlu
dengan tidak tertib, sebagai beliau meninggalkan pengulangan dalam membasuh di
sesekali waktu (Juz I/484).
(20) Hadits diriwayatkan oleh an
Nasaie (61/1) dangan sanad yang bagus, dari Annas ra. ia berkata: Sebagian
sahabat Nabi saw. mencari air untuk berwudlu, tetapi mereka tidak mendapatkan
air, maka Nabi saw. bersabda: “Apaqkah di antara kalian ada yang memiliki
persediaan air?”. Maka beliau di beri air oleh seorang sahabat. Maka beliau
meletakkan tangan beliau ke dalam bejana berisi air, lalu beliau bersabda:
“Berwudlulah kalian semua dengan membaca basmalah”. Maksudnya dengan
mengucapkan Bismillaahir Rohmaanir Rohiim. Saya menyaksikan bahwa air memancar
dari sela-sela jari-jari beliau, sampai yang berwudlu mencapai kurang labih 70
orang.
(21) Dasar hukum dari emapt macam
sunnat di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (173) dan Muslim
(235) dari Abdullah bin Zaid ra. dia ditanya tentang tatacara berwudlunya
Rasulullah saw. , maka dia meminta seember air, kemudian dia berwudlu untuk
memberikan contoh kepada mereka seperti cara wudlu Nabi saw. Dia mengalirkan air di tangannya dari ember,
lalu dia membasuh tangannya tiga kali, lalu dia memasukkan tangannya ke dalam
ember lalu dia berkumur dan istinsyaq dan istinstsar
(mengeluarkan air dari hidung) dengan tiga gayung menggunakan tangan, lalu
memasukkan tangannya lalu dia membasuh muka tiga kali, lalu membasuh dua
tangannya dua kali sampai dengan siku-siku, lalu memasukkan tangannya dan
mengusap kepalanya, dimulai dari muka ke belakang kemudian kembali dari
belakang ke muka sat kali, lalu membasuh dua kakinya sampai dengan dua
matakaki.
(22) Hadits diriwayatkan oleh at
Tirmidzy dan dinyatakan shohih (36) dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Nabi saw.
mengusap pada bagian kepala beliau, dan telinga beliau bagian luar dan dalam.
Dan berdasarkan hadits an Nasaie (74/1): Beliau mengusap kepala dan telinga
beliau, bagian dlam menggunakan jari telunjuk sedangkan bagian luar menggunakan
ibu jari beliau. Dan diriwayatkan oleh al Hakim (151) dari Abdullah bin Zaid
ra. tentang tatacara berwudlunya Nabi saw.: “Bahwa beliau berwudlu, mengusap
dua telinga beliau dengan air bukan air yang dipergunakan untuk mengusap kepala
beliau. Al Hafidh adz Dahbie menyatakan: hadits tersebut shohih.
(23) Hadits riwayat Abu Dawud
dari Annas ra. bahwasanya Nabi saw. apabila berwudlu, beliau mengambil air
sepenuh telapak tangan beliau, lalu memasukkannya ke bawah rahang bawah lalu membasahi janggot beliau
dengan tangan (takhlil), beliau bersabda: Demikian Tuhanku memerintahkan
aku”.
(24) Hadits dari Laqith bin Shobroh ia berkata:
saya berkata kepada Rasulullah saw.: beritahukanlah kepadaku tentang tatacara
berwudlu? Beliau menjawab: “Sempurnakanlah olehmu dalam berwudlu (baik fardlu
dan sunnatnya), dan bersihkanlah sela-sela jari-jarimu, dan sempurnakanlah
dalam beristinsyaq, keculai bila anda dalam keadaan berpuasa”, diriwayatkan
oleh Abu Dawud (142) dan dishohihkan oleh at Tirmidzy (38) dan lainnya.
(25) Hadits diriwayatkan oleh al Bukhary (140) dari
Ibnu Abbas ra. bahwasanya dia berwudlu dalam berwudlu tersebut antara lain
berbuat: lalu dia mengambil dengan telapak tangannya lalu membasuh tangannya
sebelah kanan, lalu mengambil (menggayung) air lagi dengan telapak tangan untuk
membasuh tangannya sebelah kiri, lalu mengusap kepalanya, lalu mengayung air
untuk disiramkan pada kakinya sebelah kanan dan membasuhnya, lalu menggayung
lagi untuk membasuh kakinya sebelah kiri, lalu ia berkata: “Demikianlah saya
menyaksikan Rasulullah saw. berwudlu”. Perhatikan cat6atan kaki nomor: 19.
(26) Hadits diriwayatkan oleh
Muslim (230) bahwasanya Utsman ra. berkata: Maukah kamu saya tunjukkan tatacara
wudlunya Rasulullah saw.? Lalu dia berwudlu dengan tigakali-tigakali.
(27) Artinya secara kontinyu
dalam hal membersihkan antara anggota yang satu dengan berikutnya, tidak sampai
anggota yang sudah dibasuh menjadi kering sebelum membasuh anggota berikutnya.
Dalilnya tentang harus kontinyu dapat diketahui dari hadits tersebut di
atas. Perhatian: Semua
yang dijelaskan dalam hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa perbuatan
tersebut wajib dilakukan, adapun dalil yang menunjukkan bahwa hal itu tidak
wajib adalah ayat firman Allah tentang berwudlu, yang menetapkan tentang hal
yang fardlu dalam berwudlu, dan dalil yang lain, yang tidak disebutkan di sini
karena akan memperpanjang pembahasan. Anjuran: Sangat disukai sesudah
selesai berwudlu membaca do’a sebagai berikut: أشهد
أن لا اله الا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله, اللهم اجعلنى من
التوابين واجعلنى من المتطهرين, سبحانك اللهم وبحمدك, أشهد أن لا اله الا أنت,
أستغفرك واتوب اليك. (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan utusan Allah. Yaa Allah,
jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku termasuk
orang-orang yang suci. Maha Suci Engkau. Ya Allah dengan segala puji bagi-Mu. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan
bertaubat kepada-Mu). Semua hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim (234), at
Tirmidzy (55) dan an Nasaie tentang amalan sehari-hari.
(28) Hadits diriwayatkan oleh al
Bukhary (149) dan Muslim (271) dari Annas bin Malik ra. ia berkata: Rasulullah
saw.masuk ke kamar kecil, lalu saya bersama seorang anak membawakan membawakan
bejana berisi air dan sebuah bayonet (tongkat besi), maka beliau beristinjak
menggunakan air. Dan hadits diriwayatkan oleh al Bukhary (155) dan lainnya dari
Ibnu Mas’ud ra. ia berkata: Nabi saw. datang ke kamar kecil untuk berhajat,
beliau memerintahkan saya untuk mencarikan tiga buah batu. Dan hadits
diriwayatkan oleh Abu Dawud (40) dan lainnya dari A’isyah ra. Bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu pergi ke kamar kecil
untuk berhajat, maka hendaklah sambil
membawa tiga buah batu, untuk bersuci dengan batu tersebut, karena bersuci
dengan batu itu sudah mencukupi”. Dan disamakan dengan batu semua benda yang
kering dan suci, misalnya dedaunan dan sebagainya. Dan diriwayatkan oleh Abu
Dawud (44) dan at Tirmidzy (3099) dan Ibnu Majah (357) dari Abu Hurairoh ra.
dari Nabi saw. beliau bersabda: “Ayat ini diturunkan kepada penduduk Qubak: Didalamnya
banyak kaum lelaki yang suka bersuci dan Allah sangat suka kepada orang suka
bersuci” (at Taubah: 108) Beliau bersabda: Mereka itu suka bersuci (istinjak)
menggunakan air, maka ayat ini diturunkan tentang mereka.
(29) Hadits diriwayatkan oleh al
Bukhary (386) dan Muslim (264) dari Abi Ayyub al Anshory ra. dari Nabi saw.
beliau bersabda: “Apabila kamu berhajat besar, maka janganlah menghadap ke arah
qiblat dan jangan pula membelakanginya. Tetapi hendaklah menghadap ke arah
timur atau ke arah barat (dalam kontek beliau di Madinah). Hal itu dikhususkan
apabila berhajat di tanah lapang atau tempat yang sejenis itu yang tanpa ada
tabir yang menghalangi dari pandangan orang lain. Sedangkan dalil yang khusus
adalah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (148), Muslim (266) dan lainnya
dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Saya sedang naik ke atas atap rumah Hafshoh
karena saya ada satu keperluan, saya melihat Nabi saw. berhajat membelakangi
qiblat dan menghadap ke arah negeri Syam. Hadits yang pertama dimaksudkan
ditempat yang bukan disediakan untuk berhajat atau yang sejenisnya yang tidak
ada tabirnya, sedangkan hadits kedua menunjukkan bahwa berhajat ditempat yang
semestinya atau yang sejenisnya, mempertemukan antara dua hadits di atas, dan
hal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hukumnya makruh berhajat yang bukan pada
tempatnya sekalipun bertabir.
(30) Hadits diriwayatkan oleh Muslim (281) dan
lainnya dari Jabir ra. dari Nabi saw.: “Bahwasanya beliau melarang orang
kencing di air yang tidak mengalir, sedangkan buang air besar lebih jelek, maka
lebih tepat bila dilarang. Larangan di sini berarti makruh, dan dinukil dari an
Nawawie, bahwa hal itu hukumnya haram (perhatikan syarah Muslim III/187).
(31) Hadits diriwayatkan oleh Muslim (269) dan
lainnya dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Takutlah kalian
terhadap dua perbuatan yang menimbulkan laknat, mereka bertanya: Apakah dua
perbuatan yang menimbulkan laknat wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Yaitu
orang yang buang air (berhajat) di jalanan umum dan di tempat orang berteduh”.
(32) Hadits diriwayatkan Abu Dawud (29) dan
lainnya, dari Abdullah bin Sarjis ra. ia berkata: “Rasulullah saw. melarang
kencing di sebuah lobang, yakni lobang di tanah”.
(33) Hadits riwayat Muslim (370) dan lainnya, dari
Ibnu Umar ra.: Bahwa ada seorang berjalan melewati Rasulullah yang saat itu
sedang buang air kecil, maka orang tersebut mengucapkan salam kepada beliau,
beliau tidak menjawab salamnya” Dan hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud (15) dan
lainnya, dari Abu Said ra. ia berkata: Saya mendengar Nabi saw. bersabda:
“Janganlah dua orang keluar untuk sama-sama buang air besar, di satu tempat
dalam keadaan terbuka auratnya dan bercakap-cakap, sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla akan murka karena perbuatan
seperti itu”.
(34) An Nawawy menjelaskan dalam kitab al Majmuk
(I/103) bahwa hadits yang menjelaskan larangan membelakangi matahari dan bulan
adalah dloif, bahkan batal, bahwa yang benar dan terkenal adalah dimakruhkan
menghadap tidak dimakruhkan membelakanginya. Al Khothib dalam kitab al Iqnak
(I/46) menyatakan: Ini yang paling kuat. Anjuran: Disunnatkan
bagi orang yang berhajat besar atau kecil untuk membaca do’a yang berasal dari
Nabi saw. sebelum dan sesudah masuk ke kamar kecil. Sebelum masuk: باسم الله, اللهم إنى أعوذ بك من الخبث
والخبائث (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari
kotornya/godaan syaitan) diriwayatkan oleh al Bukhar (142), Muslim (375) dan at
Tirmidzy (606). Dan setelah keluar dari kamar kecil: غفرانك,
الحمد لله الذى أذهب عنى الأذى وعافنى, الحمد لله الذى أذاقنى لذته وأبقى فى قوته
ودفع عنى أذاه (Dengan ampunan-Mu, segala puji bagi Allah
yang telah menjauhkan dariku penyakit dan telah menyehatkanku. Segala puji bagi
Allah yang telah memberikan kepadaku kelezatan (lega) dan mengekalkanku dalam
kekuatan-Nya, dan yang telah menjauhkan dariku segala penyakit), diriwayatkan
oleh Abu Dawud (30), at Tirmidzy (7) Ibnu Majah (301) dan at Thobarony.
(35) Firman Allah Ta’alaa: “Atau seseorang di
antara kamu buang air besar” (al maidah: 6). Hadits yang diriwayatkan oleh al
Bukhary (135) dan Muslim (225), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah
saw. bersabda: “Tidak diterima sholat seseorang dalam keadaan hadats, sampai
dia berwudlu”. Seorang Arab Hadramaut bertanya: Wahai Abu Hurairah: apakah yang
disebut hadats itu? Abu Hurairah menjawab: “kentut”. Dan kentut ini sedagai
rujukan untuk menganalogikan (qiyas) semua yang keluar baik dari qubul maupun
dubur, sekalipun yang keluar itu benda suci.
(36) Hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud (203) dari Ali ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “tali
pengikat dubur adalah mata, barang siapa yang tertidur, maka hendaklah dia
berwudlu”. Maksudnya ialah bahwa orang yang dalam keadaan bangun (jaga) mampu
menahan angin dalam perut yang akan keluar, oleh karena dia dapat merasakannya
hal itu, apabila orang tertidur, maka oleh sebab tidurnya itu diduga keras akan
keluarnya sesuat dari dalam perut. Yang dimaksudkan dengan posisi tetap ketika
tidur adalah orang yang tidur dengan meletakkan kedua pantatnya di lantai (tempat
duduk), di mana dia tidak akan jatuh sekalipun tidak bersandar kepada sesuatu
sandaran. Hal demikian itu tdiak membatalkan wudlunya, oleh karena dia akan
merasa apabila ada angin keluar dari perutnya. Dan hilangnya akal diqiyaskan
(dianalogikan) dengan orang yang tertidur, oleh karena hilang akal itu lebih
berat dibanding dengan sekedar tidur dalam arti sebenarnya.
(37) Berdasarkan firman Allah:
“Atau kamu menyentuh wanita” (an Nisak: 43). Yang dimaksudkan “haail”
penghalang, misalnya baju dan sebaginya.
(38) Rowahul khomsah dan dinyatakan shohih oleh at
Tirmidzy (82), dari Bisroh binti Shofwan ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka jangan melakukan sholat sebelum
dia berwudlu lebih dulu”. Dalam salah satu riwayat oleh an Nasaie (I/100):
“Harus berwudlu disebabkan menyentuh kemaluan”. Baik kemaluan sendiri atau
kemaluan orang lain. Menurut riwayat Ibnu Majah (481) dari Ummi Habibah ra.:
“Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudlu”, hal ini
meliputi baik wanita atau lelaki, yang dimaksud kemaluan di sini termasuk dubur
dan qubul.
(39) Madzhab qaul jadid ialah pendapat Imam As
Syafi’ie rohimahullah sesudah di Mesir, baik yang terbukukan atau dalam bentuk
fatwa lisan, dan qaul jadid itu berlaku seterusnya, kecuali beberapa masalah
yang sudah dianggap benar dalam qaul qodim, dan sudah ada nash tenatng hal itu.
(40) Bagian yang dikhitan bagi anak laki-laki
adalah kulit yang menutup kepala dzakar (kemaluan) sebelun di khitan, sedangkan
bagi anak wanita adalah kulit di atas kemaluan berdekatan dengan tempat
keluarnya air seni, yang dimaksudkan pertemuan dua kemaluan di sini adalah
dimasukkannya dzakar ke dalam farji (kemaluan wanita), sebagai kiasan dari
persetubuhan. Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (287) dan Muslim (348)
dari Abi Hurairoh ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Apabila apabila lelaki
sudah duduk di atas empat anggota tubuh wanita (dua paha dan dua betis) lalu
dia menimbulkan gairah kuat”, yakni sebagai kiasan dari masuknya dzakar
lelaki ke farji wanita. Dan hadits tersebut sebagai dalil untuk mewajibkannya
mandi apabila terjadi persetubuhan, sekalipun tidak mengeluarkan mani (sperma),
sebagaimana dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
(41) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (278)
dan Muslim (313) dari Ummi Salamah ra. ia berkata: Ummi Sulain menghadap kepada
Rasulullah saw. bertanya: Wahai Rasulullah,m sesungguhnya tidak perlu malu
bertanya tentang kebenaran, apakah bagi wanita apabila bermimpi (bermimpi
bersetubuh) wajib mandi? Rasulullah saw. menjawab: “Benar, apabila engkau
melihat air. Yang dimaksud melihat air di sini adalah keluar mani atau cairan
dari wanita ketika bersetubuh. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ( 236)
dan lainnya, dari A’isyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. ditanya tentang
seorang lelaki yang mendapat basah-basah, tetapi dia tidak ingat bahwa dia
bermimpi? Maka beliau menjawab: “wajib mandi”. Dan tentang seorang lelaki yang
merasa bahwa dia bermimpi, tetapi tidak mendapati basah-basah? Beliau menjawab:
“Tidak wajib mandi”. Ummi Sulaim bertanya lagi: Apabila wanita juga mengalami
basah-basah seperti itu, apakah da juga wajib mandi? Be;iau menjawab:
“Ya/benra, karena wanita itu lawan pandang bagi kaum lelaki”. Seolah-olah wanita
itu berasal dari kaum lelaki.
(42) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary
(1195) dan Muslim (939), dari Ummi Athiyah ra. seorang wanita Anshor, ia
berkata: Rasulullah saw. masuk kerumah kami ketika puteri beliau meninggal
dunia, beliau bersabda: “Mandikanlah dia tiga kali….. Dan hadits yang
diriwayatkan oleh al Bukhary (1208) dan Muslim (1206) dari Ibnu Abbas ra.
bahwasanya seorang lelaki yang terjatuh dari ontanya dan terinjak lehernya,
sedangkan kami bersama Rasulullah saw. dan beliau sedang melaksanakan ihrom,
beliuau bersabda: “Mandikanlah dengan air dan dedaunan, kafanilah menggunakan
dua lemabr kain ihromnya.
(43) Allah berfirman: Jauhilah wanita dalam keadaan
haid, dan janganlah kamu menyetubuhinya sampai mereka suci, apabila mereka
telah bersuci, maka datangilah (setubuhilah) sesuai dengan perintah Allah,
sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan orang yang suci (al
Baqoroh: 222). Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (314) dari A’isyah ra.
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepada Fathimah binti Hubaisy ra.: “Apabila
kamu sedang haid, maka tinggalkanlah sholat, dan apabila haid sudah selesai,
maka mandilah dan sholatlah kamu”.
(44) Diqiyaskan (dianalogikan) kepada haid, oleh
karena darah nifas itu adalah darah haid yang terakomulasi.
(45) Oleh karena anak yang keluar sebagai hasil
proses pemebekuan dari mani, pada umunya keluarnya bayi itu bersamaan dengan
darah.
(46) Berdasarkan hadits: “Semua amal itu dihitung
berdasarkan niyatnya…”, perhatikan catatan kaki No. 19 tentang niyat.
(47) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al
Bukhary (246) dari Maimunah ra. tentang cara mandi Rasulullah saw.: Beliau
membersihkan kemaluan beliau yang terkena najis dengan air. An Nawawy
membenarkan di dalam kitabnya, bahwa beliau mencukupkan dalam menghilangkan
najis bersamaan dengan pelaksanaan mandi, dan itu yang kuat, sedangkan
menghilangkan kotoran sebelum mandi lebih afdlol (kitab al Iqnak).
(48) Hadits ayng diriwayatkan oleh al Bukhary (245)
dan Muslim (316) dari A’isyah ra. bahwasanya Nabi saw. apabila mandi jinabat,
dimulai membasuh kedua tangan,lalu berwudlu sebagaimana berwudlu ketika akan
sholat, lalu memasukkan jari-jari tangan beliau ke dalam air lalu
menyela-nyelai pangkal rambut beliau dengan air, lalu beliau menyiramkan air
keseluruh tubuh sebanyak tiga gayung menggunakan tangan beliau, lalu meratakan
air keseluruh kulit beliau. Hadits Riwayat Abu Dawud (249) dan lainnya, dari
Ali ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang
meninggalkan sebagian rambutnya dari jinabat, sehingga tidak terkena air, maka
Allah akan berbuat demikian … demikian, dari siksa neraka”. Dari itu maka saya
mengulangi lagi untuk membasuh rambutku. Dan dia mencukur rambutnya.
(49) Berdasarkan hadits : “Setiap sesuatu yang
dianggap pentung menurut syara’ (mengandung nilai ibadah) tidak didahului
dengan membaca Bismillaahir Rohmaanir Rohiim, maka terputus” (kitab Kasyful
khofaak 1964). Pengertian terputus ialah: kurang dan tidak barokah.
(50) Berdasarkan hadits A’isyah ra. di muka,
sebagaimana tersebut dalam catatan kaki nomor: 48.
(51) Keluar dari perbedaan pendapat dengan mereka
yang mewajibkannya, mereka itu adalah madzhab Maliki.
(52) Sebagaimana ketika orang berwudlu, perhatikan
catatan kaki no.: 27. Karena hal itu wajib dalam madzhab Maliki.
(53) Bagian badan sebelah kanan, baik bagian luar
maupun dalam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (166) dan
Muslim (268) dari A’isyah ra. ia berkata: Nabi saw. sangat mengagumkan dalam
hal selalu mendahulukan anggota tubuh bagian kanan dalam memakai teromaph,
menata rambut, dan bersuci beliau dan dalam segala tingkah laku beliau.
(54) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (837)
dan Muslim (844) dan lainnya, dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw.
bersabda: “Apabila seseorang dari kamu akan datang untuk melaksanakan sholat
jumu’ah, maka hendaklah mandi”. Menurut lafadh Muslim: “Apabila seseorang dari
kamu bermaksud untuk datang ke sholat jumu’ah”. Yang meminadahkan dari wajib
menjadi sunnat adalah hadits ayng diriwayatkan oleh at Tirmidzy (497): “Barang
siapa yang berwudlu pada hari Jum’ah maka sudah melaksanakn dan mengamalkan
sunnah Rasul, dan barang siapa yang mandi lebih dulu itu lebih afdlol”.
(55) Hadits yang diriwayatkan oleh Malik di dalam
kitab al Muwathok (I/177) bahwa Abdullah bin Umar ra. mandi pada hari raya Idul
Fitri sebelum berangkat pagi-pagi ke musholla. Hari raya idul adl-ha diqiyaskan
kepada idul fitri.
(56) Saya tidak mendapatkan dalil naqli (al Qur’an
atau hadits) disunnatkannya mandi untuk tiga macam sholat tersebut, boleh jadi
ulama mengqiyaskannya kepada mandi untuk sholat Jumu’ah dan hari raya, oleh
karena sama-sama disyari’atkan dilakukan secara berjama’ah, dan berkumpulnya
banyak orang pada saat itu.
(57) Dari Abi Hurairoh ra. dari nabi saw. beliau
bersabda: “Barang siapa yang memandikan mayit (jenazah), maka dia harus mandi,
dan barang siapa yang membawa janazah hendaklah dia berwudlu” diriwayatkan
diriwayatkan al khomsah, dan dinyatakan hasan oleh at Tirmidzy (993), yang
memindahkan menjadi dari wajib menjadi sunnat adalah hadits al Hakim (I/386):
“Tidak wajib bagi kamu sesudah memandikan mayit untuk mandi”.
(58) Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (355)
dan at Tirmidzy (605) dari Qois bin Ashim ra. ia berkata: Saya datang kepada
Nabi saw. bermaksud masuk Islam, maka beliau memerintahkan saya untuk mandi
dengan air dicampur dengan dedaunan jenis tertentu yang digiling. At Tirmidzy
menyatakan sesudah meriwayatkan hadits: Ahli ilmu mengamalkan yang demikian
itu, dan sangat dianjurkan bagi orang yang masuk Islam untuk mandi dan mencuci
pakaiannya, dan tidak wajib, karena tidak adanya peprintah dari Rasulullah saw.
untuk setiap yang masuk Islam harus mandi.
(59) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al
Bukhary (655) dan Muslim (418) dari A’isyah ra. ia berkata: Rasulullah saw.
dalam keadaan sakit parah, maka beliau bertanya: “ Apakah orang-orang sholat?”.
Kami menjawab: tidak, mereka menunggu engkau wahai Rasulullah, maka beliau
bersabda: “Siapkan untukku air di bak (tempat mencuci baju)”. A’isyah berkata:
Kami melakukannya, lalu beliau mandi, lalu berusaha bangun dengan susah poayah,
maka bilau pingsan, kemudian beliau sadar kembali dan bertanya: “Apakah
orang-orang sholat?”. Kami menjawab: Tidak, mereka menunggu engkau wahai Rasulullah.
Maka beliau bersabda: “Siapkan air di bak”. A’isyah berkata: Kami melakukannya,
kemudian beliau mandi, lalu beliau berusaha untuk bangun dengan susah payah,
kemudian beliau pingsan lagi, kemudian beliau sadar kembali ….. Gila diqiyaskan
kepada pingsan, oleh karena semakna (identik), bahkan gila lebih berat lagi.
(60) Hadits yang diriwayatkan oleh at Tirmidzy
(830) dari Zaid bin Tsabit ra. bahwasanya dia menyaksikan Nabi saw. melepas baju beliau dan mandi untuk ihrom.
(61) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary
(1478) dan Muslim (1259) sesuai dengan lafadh Muslim, dari Ibnu Umar ra.
bahwasanya dia tidak datang di kota Makkah kecuali terlebih dahulu bermalam di
Dzi Thuwaa, pada pagi harinya dia mandi, lalu masuk ke kota Makkah di siang
hari. Dia menjeceritakn hal itu berasal dari Nabi saw. , bahwa beliau berbuat
demikian.
(62) Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam
kitab al Muwathok (I/322) dari Ibnu Umar ra. Dia mandi untuk melakukan ihrom,
untuk memasuki kota Makkah dan untuk wuquf sore hari di Arofah.
(63) Yang benar tidak disunnatkan untuk mandi
sebelum bermalam di Muzdalifah (Kitab Nihayah).
(64) Yang jelas kuat, bahwa tidak disunnatkan mandi
sebelum thowaf (al Iqnak).
(65) Dalil yang memperbolehkan mengusap dua sepatu
(sebagai penganti membasuh kaki dalam berwudlu) adalah cukup banyak hadits,
diantaranya: hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (380) dan Muslim (272)
sesuai dengan lafadh Muslim, dari Jabir ra. bahwasanya dia kencing lalu
berwudlu dalam berwudlu tersebut dia mengusap dua sepatunya (tanpa dilepas),
maka ada orang bertanya kepadanya: Mengapa engkau berbuat demikian? Dia
menjawab: yaa, saya telah melihat Rasulullah saw. kencing, lalu beliau
berwudlu, dan mengusap pada dua sepatu beliau. Al Hasan al Bashry menyatakan:
yang meriwayatkan tentang mengusap sepatu ada kurang lebih 70 orang, baik daalm
bentuk perbuatan atau perkataan.
(66) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (203)
dan Muslim (274), dari al Mughiroh bin Syu’bah ra. ia berkata: Saya bersama
dengan Nabi saw. pada suatu malam dalam perjalanan, saya menyiapkan untuk
beliau satu tempat berisi air, maka beliau membasuh muka, lalu membasuh tangan
, lalu mengusap kepala, lalu saya berjongkok untuk melepas dua sepatu beliau,
maka beliau bersabda: Biarkanlah, sesungguhnya saya memakai dua sepatu itu
dalam keadaan suci, lalu beliau mengusap bagia atas sepatu tersebut.
(67) Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (276) dan
lainnya dari Syuraih bin Hanik ia berkata: Saya datang kepada A’isyah ra.
bertanya kepadanya tentang tatacara mengusap dua sepatu, A’isyah menjawab:
Datanglah kepada Ali, dia lebih tahu tentang hal itu dari pada saya. Dia
bersama Rasulullah saw. maka saya bertanya kepadanya. Ali menjawab: Rasulullah
saw. menjadikan bagi orang yang bepergian selama tiga hari tiga malam, dan bai
orang yang mukim satu hari satu malam.
(68) Hadits yang diriwayatkan oleh at Tirmidzy
(96), an Nasaie (I/83) menurut lafadh an Nasaie, dari Shofwan bin Uasal ra. ia
berkata: Rasulullah saw. memerintahkan kepada kami ketika kami dalam bepergian,
untuk mengusap pada sepatu kami tanpa melepasnya selama tiga har, baik dalam
keadaan buang air besar atau kecil, kecuali bila junub.
(69) Firman Allah: “Apabila kamu dalam keadaan
sakit atau bepergian atau berhajat besar, atau menyentuh wanita, dan tidak
mendapatkan air, maka hendaklah kamu bertayammum” (al Maidah:6). Hadits yang
diriwayatkan oleh al Bukhary (341) dan Muslim (682) dari Amron bin Hushoin ra.
ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw. dalam bepergian, beliau sholat bersama
dengan banyak orang, tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang
menyingkirkan diri, maka beliau bertanya: “Apa yang menghalangi engkau untuk
melakukan sholat?” Ia menjawab: Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air
untuk mandi. Beliau bersabda: “Bagimu bisa bersuci menggunakan tanah/debu,
karena hal itu sudah mencukupi bagimu”.
(70) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary
(328), dari Jabir ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Dan dijadikan bagiku bumi
sebagai masjid dan suci. Di mana saja seseorang dari ummatku yang menjumpai
waktu sholat, hendaklah dia sholat”. Menurut riwayat Ahmad (II/222): “Di mana
saja saya menjumpai waktu sholat, maka saya mengusap (bertayammum) lalu
sholat”. Dua periwayatan tersebut
menunjukkan, bahwa beliau bertayammum dan sholat apabila tidak
mendapatkan air, sesudah masuk waktu sholat.
(71) Berdasarkan firman Allah: “Hendaklah kamu
bertayammum menggunakan tanah yang suci, maka usaplah mukamu dan kedua belah
tanganmu” (al Maidah:6).
(72) Mengambil ibarat dengan berwudlu, karena
tayammum adalah pengganti berwudlu, perhatikan catatan kaki no: 27.
(73) Artinya tidak dalam keadaan sholat, atau
sebelum melakukan sholat. Hadits yang diriwayatkan oleh at Tirmidzy (124) dan
lainnya, dari Abi Dzar ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
tanah yang suci sebagai alat bersuci bagi ummat Islam, sekalipun tidak
mendapatkan air selama sepuluh tahun, apabila telah mendapatkan air, maka
hendaklah membasahi kulitnya dengan air (berwudlu), sesungguhnya yang demikian
itu lebih baik”. Ini sebagai dalil bahwa tayammumnya sudah batal.
(74) Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ( 336)
dan lainnya, dari Jabir ra. ia berkata: Kami keluar dalam bepergian, tiba-tiba
ada seorang lelaki di antara kami tertimpa batu dan pecah di bagian kepalanya,
lalu ketika tidur dia bermimpi, maka dia bertanya kepada temannya: Apakah kemu
tahu bahwa saya diberikan kemurahan untuk bertayammum? Mereka menjawab: Kami
tidak menemukan dasar hukum yang meringankan bagimu, dan kamu kan mampu
menggunakan air. Maka lelaki tersebut mandi jinabat, matilah dia. Ketika kami
sampai di hadapan Rasulullah saw. memberitahukan tentang kasus tersebut. Maka
beliau bersabda: “Mereka membunuhnya, akan dibunuh mereka oleh Allah, mengapa
mereka tidak bertanya apabila tidak tahu? Sesungguhnya obat ketidak tahuan
(kebingunan) itu adalah bertanya, dan sesungguhnya dia cukup bertayammum dan
memabalut lukanya, lalu dia mengusap dengan air pada pembalutnya, dan kemudian
membasuh seluruh tubuhnya”.
(75) Hadits yang diriwayatkan oleh al Baihaqy dengan
sanad shohih (I/221) dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Bertayammum untuk setiap
satu kali sholat, sekalipun tidak batal.
(76) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukahry (214)
dari Annas ra. ia berkata: Nabi saw. apabila keluar untuk menunaikan hajat (buang
air), saya menyiapkan untuk beliau air, maka beliau membasuh bekas kotoran di
qubul atau dubur dengan air. Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (176),
dan Muslim (303) dari Ali ra. ia berkata:
Saya adala lelaki yang sering mengeluarkan madzi, dan saya malu untuk
bertanya kepada Rasulullah saw. maka
saya memnita tolong kepada al Miqdad bin al Aswad untuk menanyakannya. Maka
beliau bersabda: “Dalam hal ini cukup berwudlu”. Menurut Muslim: “Ia membasuh
kemaluannya kemudian berwudlu”. Madzi adalah cairan kekuning-kuningan lembek
yang keluar dari dzakar pada umumnya ketika kuatnya rasa syahwat. Dan hadits
yang diriwayatkan oleh al Bukhary (155) dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia
berkata: Nabi saw. berhajat besar, beliau memerintahkan saya untuk mencarikan tiga
buah batu, maka saya hanya mendapatkan dua buah saja dan saya mencari yang
ketiga dan tidak mendapatkannya, maka saya mengambil kotoran hewan dan saya
serahkan kepada beliau, maka beliau mengambil dua buah batu dan melemparkan
kotoran hewan dimaksud, dan bersabda: “Ini adalah najis”. Hadits-hadits ini
sebagai dalil kenajisan sesuatu yang disebutkan di atas, didasarkan beliau
membasuhnya, atau beliau memerintahkan membasuhnya atau menghilangkan
kenajisannya. Dan hal-hal yang tidak disebutkan di sini diqiyaskan dengan hukum
di atas, yang berkaitan dengan semua zat yang keluar dari qubul atau dubur
sebagaimana disebutkan di atas.
(77) Mani manusia dan semua hewan selain anjing dan
babi. Adapun mani manusia, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (288)
dan lainnya, dari A’isyah ra. ia berkata: Saya menggosok (mengerok) mani dari
baju Rasulullah saw., kemudian beliau keluar untuk sholat memakai baju
tersebut, kalau mani itu najis niscaya tidak cukup bila hanya dikerok saja.
Adapun mani hewan, pada dasarnya hewan itu suci, maka mani hewan disamakan
dengan mani manusia, kecuali mani anjing dan babi.
(78) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al
Bukhary dan Muslin dan lainnya, dari perintah Rasulullah saw. untuk menuangkan
seember air pada bekas kencing seorang Arab gunung di masjid. Perhatikan catatan kaki nomor: 2 dan 76.
(79) Hadits ayng diriwayatkan oleh al Bukhary (221)
dan Muslim (227) dan lainnya, dari Ummi Qois binti Muhashin ra. bahwasanya dia
menghadap kepada Rasulullah saw. dengan membawa bayinya yang masih belum diberi
makanan apa-pa, bayi itu didudukkan di dekat beliau kemudian bayi itu
mengencingi baju beliau. Maka beliau meminta air kemudian memercikkannya dan
tidak membasuhnya. Memercikkan air sekedar air merata tidak sampai mengalir.
(80) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary
(5445) dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila ada lalat terjatuh ke dalam bejana seorang di antara kamu, maka
benamkanlah secara keseluruhan, kemudian buanglah, sesungguhnya pada salah satu
sayapnya sebagai obat sedang di sayap lainnya ada penyakit”. Arah dari dalil
ini: bahwa apabila lalat tersebut menajiskan bejana, niscaya beliau tidak
memerintahkan untuk membenamkannya. Dan diqiyaskan dengan lalat ini semua hewan
yang sejenisnya dari seluruh bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya.
(81) Artinya semua hewan pada dasarnya suci zatnya
ketika masih hidup.
(82) Oleh karena keduanya adalah najis zatnya,
berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Atau daging babi, sesungguhnya itu adalah
kotor atau najis (al An’am: 145. Dan berdasarkan hadits yang memerintahkan
untuk mesucikan air liur (jilatan) anjing yang akan dijelaskan berikutnya.
(83) Artinya semua bangkai hukumnya najis kecuali
yang dikecualikan. Perhatikan catatan kaki no:11. Kesucian bangkai ikan dan
belalang berdasarkan sabda Rasulullah
saw.: “Dihalalkan bagi kita dua bangkai”, akan dijelaskan kemudian pada kitab
yang membicarakan berburu dan penyembelihan.
(84) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (170)
dan Muslim (279), dari Abi Hurairoh ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila ada anjing yang minum dibejana kamu, maka basuhlah sebanyak tujuh
kali”. Dalam riwayat Muslim: “Pensucian bejana kamu apabila dijilat anjing,
hendaklah dibasuh sebanyak tujuh kali, yang pertama menggunakan tanah”.
Diqiyaskan kepada anjing babi, oleh karena babi lebih berat kenajisannya
dibanding dengan anjing.
(85) Berdasarkan hadits Ibnu Umar ra. Sholat fardlu
itu asalnya 50 kali, mandi jinabat itu tujuh kali, membersihkan kencing tujuh
kali, Rasulullah senantiasa mememohon keringan kepada Allah, sampai sholat
dijadikan lima kali, mandi jinabat satu kali, membasuh kencing satu kali.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (247) dia tidak menyatakan bahwa hadits ini dloif.
Dan diqiyaskan untuk kencing orang lain.
(86) Oleh karena illat (alasan) kenajisan khomer
adalah kerana memabukkan, dan sifat memabukkan sudah hilang dengan perubahan
tersebut.
(87) Oleh karena zat yang dimasukkan ke dalam
khomer tersebut menjadi najis karana terjadinya pertemuan dengan khomer, dan
zat yang dimasukkan tersebut menjadi mutanajjis (terkena najis). Apabila
berubah menjadi cuka, maka zat yang di dalamnya menjadikan najis.
(88) Hadits ayng diriwayatkan oleh al Bukhary (290)
dan Muslim (1211, dari A’isyah ra. ia berkata: Kami keluar rumah dan tidak lain
adalah untuk ibadah haji, ketika kami sampai di Sarof (daerah dekat Makkah)
saya haid, maka Rasulullah saw. masuk ke tempat say sedang saya sedang menagis,
beliau bertanya: Ada apa engkau, apakah engkau haid? Saya menjawab: Ya. Beliau
bersabda: “Sesungguhnya itu adalah perkara/kejadian yang telah ditetapkan oleh
Allah terhadap wanita, tunaikanlah semua manasik haji, selain thowaf di
Baitullah”. Dalam riwayat lain: “sampai engkau suci”.
(89) Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (276)
dan lainnya, dari Fathimah binti Abi Hubaisy: bahwasanya dia seorang menderita
istihadloh, maka Nabi saw. bersabda kepadanya: “Apabila darah itu darah haid,
maka warnya merah kehitam-hitaman dan cukup dikenal, apabila demikian halnya,
maka tinggalkanlah sholat, apabila warna darahnya lain, maka berwudlulah dan
sholatlah, sesungguhnya darah itu adalah suatu penyakit”
(90) Hadits ayng diriwayatkan oleh al Bukary (226)
dan Muslim (333) dari A’isyah ra. ia berkata: Fathimah binti Abi Hubaisy datang
menghadap Nabi saw. dan bertanya: Wahai Rasulullah, saya seorang wanita
mengalami istihadloh, maka tidak suci, apakah saya harus meninggalkan sholat? Rasulullah saw.
menjawab: “Itu adalah suatu penyakit dan bukan haid, apabila datang haid, maka
tinggalkanlah sholat, dan apabila sudah habis perkiraan waktu haid, maka
mandilah dan sholatlah”.
(91) Batasan tentang haid, nifas, dan suci bagi
wanita ditentukan berdasarkan istiqrok (catatan penglaman manusia di beberapa
tempat atau negara, mengiktui peristiwa yang terjadi, dan telah ditemukan
kejadian yang tertentu pada waktu tertentu. Dan hadits yang yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud (311) dan lainnya dari Ummi Salamah ra. ia berkata: Ada orang
yang sedang nifas pada zaman Rasulullah saw. selama 40 hari, hal ini mengandung
pengertian pada umumnya wanita nifas, dan hal itu tidak menafikan tambahan
waktu.
(92) Waktu hamil yang paling sedikit berdasarkan
firman Allah: “Mengandung dan melepaskan dari susuan selama 30 bulan” (al
Ahqof: 15) dan firman Allah: “Dan melepaskan dari susuannya dalam dua tahun”
(Luqman:14). Apabila akomulasi waktu antara hamil dan sampai dengan melepas
susuan ada 30 bulan, sedang melepas susuan setelah umur dua tahu, maka
kehamilan selama enam bulan, sebagai dasar: tentang lamanya orang hamil pada
umumnya dan paling lama masa hamil, menggunakan istiqrok (berdasaar
hasil penelitian).
(93) Lihat catatan kaki nomor: 89 dan 90.
(94) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (298)
dan Muslim (80), dari Abi Sa’id ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda tentang
wanita, dan beliau telah ditanya tentangkekurangan wanita di bidang agamanya:
“Tidakkah apabila wanita sedang haid tidak sholat dan tidak berpuasa”, orang
yang haid atau nifas wajib mengqodlok puasanya tidak mengqodlok untuk sholat.
Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukahry (315) dan Muslim (335) sesuai dengan
lafadh dari Muslim, dari Mu’adzah ia berkata: Saya bertanya kepada A’isyah ra.
maka saya berkata: Apakah alasannya, maka orang yang haid harus mengqodlok
puasanya dan tidak mengqodlok sholat? A’isyah menjawab: Hal itu menimpa kami
wanita ketika bersama Rasulullah saw. kami diperintahkan untuk mengqodlok puasa
dan tidak diperintah untuk mengqodlok sholat.
(95) Hadits ayng diriwayatkan oleh Ibnu majah (596)
dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah orang yang
sedang junub membaca sedikitpun dari al Qur’an”.
(96) Berdasarkan firman Alah Ta’alaa: Janganlah
menyentuh al Qur’an keculai orang ayng dalam keadaan suci (al Waqi’ah:79), dan
sabda Rasulullah saw.: “Janganlah hendaknya menyentuh al Qur’an kecuali dalam
keadaan suci”, diriwayatkan oleh ad Daroquthny marfu’ (I/121) dan oleh malik
dalam kitab al Muwathok secara mursal (I/199).
(97) Apabila dikhawatirkan akan menetes darahnya di
masjid, bila tidak demikian, maka diharamkan diam lama di masjid dan mondar
mandir di dalamnya, bukan semata-mata sebab masuk. Berdasarkan hadits ayng
diriwayatkan oleh Abu Dawud (232) dari A’isyah ra. dari Rasulullah saw. beliau
bersabda: “Tidak dihalalkan masjid bagi wanita haid dan junub”. Hadits ini
mengandung apa yang dijelaskan dan menunjukkan yang demikian sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim (298) dan lainnya, dari A’isyah ra. ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda kepadaku: “Berikanlah kepadaku sajadah dari masjid”,
lalu saya berkata: Sesungguhnya saya sedang haid. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya haidmu tidak berada di tanganmu”. Menurut riwayat an Nasaie
(I/147) dari maimunah ra. ia berkata: Salah seorang dari kami berdiri di masjid
dengan membawa sajadah, kemudian membentangkannya, pada hal dia sedang haid.
(98) Hadits diriwayatkan oleh al Hakim (I/459) dan
dinyatakan shohih, dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya thowaf di baitullah itu seperti sholat, kecuali dalam thowaf kamu
diperbolehkan berbicara, barang siapa yang berbicara, janganlah berbicara
kecuali pembicaraan yang baik”. Dan lihat catatan kaki no:88.
(99) Berdasarkan firman Allah: “jauhilah olehmu
isteri yang sedang haid, dan janganlah kamu setubuhi dia sampai dia suci,
apabila dia sudah bersuci, maka datangilah sesuai dengan perintah Allah,
sesungguhnya Allah amat menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang
yang suci” (al Baqoroh:222).
(100) Hadits diriwayatkan oleh Abu dawud (212) dari
Abdullah bin Sa’id ra. bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah saw.: Apa saja
yang halal bagiku dari isteriku yang sedang ahid? Beliau menjawab: “Halal
bagimu apa-apa yang di atas sarung”, artinya di atas bagian yang ditutup dengan
sarung, sarung adalah pakaian yang menutup bagian tengah badan, yakni antara
pusat dengan lutut pada umumnya. Perhatian: Ulama sepakat, bahwa
nifas disamakan dengan haid, dalam semua yang dihalalkan atau diharamkan, yang
dimakruhkan dan yang disunnatkan.
(101) Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Jangan
mendekati sholat padahal kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu menyadari apa
yang kamu ucapkan, dan jangan pula kamu dalam keadaan junub sampai kamu mandi
(an Niasak:43). Maksud dari kata sholat di sini adalah tempat sholat, oleh
akrena menyeberang bukanlah dalam keadaan sholat, dan ini larangan bagi yang
sedang junub untuk melakukan sholat lebih tepat. Dan hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim (224) dan lainnya dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “Tidak diterima sholat tanpa dalam keadaan suci”, hal
ini meliputi suci dari hadat maupun
junub, dan yang menunjukkan demikian adalah diharamkannya sholat sebab junub.
(102) Lihat catatan kaki nomor: 93, 95, 96, 97 dan
98.
(103) Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary
(6554) dan Muslim (225), dari Abi Hurairoh ra. dari Nabi saw. beliau bersabda:
“Allah tidak menrima sholat seseorang dari kamu apabila berhadats, sampai dia
berwudlu”. Lihat catatan kaki no:96 dan 98.